THE MULE (2014)
Saat sedang menonton film ini, salah seorang teman bertanya, "nonton apaan?" yang saya jawab singkat "The Mule, film Australia". Lalu teman saya kembali bertanya, "tentang apa?' Saya tidak langsung menjawab. Setelah terdiam beberapa detik barulah saya berkata "tentang nungguin orang buat boker selama dua minggu." Sebuah jawaban yang direspon olehnya dengan tawa, bercampur sumpah serapah plus ekspresi jijik. Respon seperti itu jugalah yang terjadi pada saya saat menonton film ini. Mungkin bakal lebih "mudah" jika saya menjawab bahwa film ini bercerita tentang usaha penyelundupan narkoba dari luar negeri yang berhasil diketahui kepolisian federal, tapi itu hanya awalan saja. Karena memang mayoritas durasi film garapan Tony Mahony dan Angus Sampson ini akan diisi proses menunggu dan memaksa karakter utamanya untuk buang air besar. Ray Jenkins (Angus Sampson) baru saja dinobatkan sebagai player of the year dalam klub rugby tempatnya bermain. Dengan gelar seperti itu dalam sebuah klub rugby, mungkin yang terbayang dari Ray adalah sosok pria gahar, kuat dan berbadan kekar. Namun dia amat terbalik dari deskripsi tersebut.
Ray adalah pria yang naif dan cenderung manja, terbukti dari fakta bahwa ia tidak bisa terlepas dari sang ibu. Bahkan untuk sekedar ikut dalam perjalanan tur timnya ke Thailand pun, Ray tidak diijinkan begitu saja. Disisi lain, Ray berteman cukup akrab dengan Gavin (Leigh Whannell) yang punya kepribadian berbanding terbalik dengannya. Gavin yang selalu bersikap baik dengan Ray pun terus membujuknya supaya ikut ke Thailand. Tapi usaha itu bukan sekedar supaya Ray bisa mengikuti tur, karena tujuan utaa Gavin adalah menyelundukpan narkoba sebanyak satu kilogram. Caranya adalah dengan menelan narkoba yang telah dibungkus plastik itu, dan menyimpannya di dalam perut sampai kondisi aman. Tapi karena kegugupan dan kecerobohan Ray penyelundupan itu gagal, dan dia pun ditangkap oleh kepolisian federal. Permasalahannya, dengan narkoba yang ada di dalam perut, polisi tidak punya cukup bukti untuk menangkap Ray. Tapi mereka bisa mengawasi Ray selama satu minggu, dan jika barang bukti bisa hadir dalam jangka waktu tersebut penangkapan bisa dilakukan. Yang terjadi selanjutnya adalah proses menjijikkan dan penuh ketidak nyamanan seperti yang saya tuliskan diatas.
Premisnya memang terdengar bodoh. Jika tidak dikembangkan dengan benar, The Mule amat berpotensi menjadi sajian komedi-kriminal jorok yang murahan. Untungnya walaupun menjijikkan, berkat naskah yang ditulis Angus Sampson dan Leigh Whannell film ini terasa jauh lebih cerdas dari kedengarannya. Ray Jenkins adalah karakter yang mendapat pengembangan menarik. Apa yang terlihat dalam film ini adalah proses berkembang Ray dari seorang pria lemah yang bergantung pada sang ibu, perlahan menjadi seorang yang lebih kuat karena beberapa faktor. Faktor pertama adalah lingkungan. Ray mulai menjadi sosok yang berani mengutarakan pikirannya karena Gavin. Gavin memperlihatkan bahwa Ray bisa lebih kuat dari seorang anak punk berpenampilan sangar. Bahkan Ray yang merasa dirinya hanyalah pecundang juga bisa menggaet wanita dalam sebuah pesta. Hal itu mendorongnya untuk lebih berani dalam mengambil keputusan. Sedangkan faktor kedua adalah pengalaman ekstrim. Pengalaman yang saya maksud tentu saja saat Ray harus menahan buang air besar selama hampir dua minggu, bahkan memakan kotorannya sendiri. Pengalaman gila tersebut mau tidak mau membuatnya jadi pria yang jauh lebih kuat. Hal itu terbukti dari senyumannya di ending. Itu bukan lagi senyuman pria naif.
Sentuhan komedi hitamnya cukup menghibur dengan beberapa momen WTF di dalamnya termasuk adegan makan kotoran yang jauh lebih menjijikkan daripada Salo. Selain itu, The Mule tidak pernah terasa stagnan apalagi membosankan meski sebagian besar durasi hanya dihabiskan di kamar hotel yang sempit untuk menunggu Ray buang air besar, karena diluar sana hampir semua pihak berusaha mendekati Ray, mulai dari kepolisian, sahabatnya, sampai para kriminal yang mengincar narkoba dalam perutnya. Tony Mahony dan Angus Sampson juga cukup berhasil dalam membangun kesan klaustrofobik disini. Saya berhasil dibuat ikut jijik saat membayangkan suasana kamar hotel yang gelap, sempit, pengap dan penuh bau busuk kotoran dimana-mana. Belum lagi disaat harus melihat perjuangan sekuat tenaga Ray yang begitu tersiksa saat harus menahan buang air besar. Mungkin tidak sampai membuat penonton tercekik karena tone film yang tidak selalu kelam, tapi untuk menghadirkan rasa tidak nyaman, The Mule cukup berhasil. Ada juga rasa penasaran yang hadir saat menunggu hal apa yang akan dilakukan Ray untuk bisa kabur dari tuduhan.
Naskahnya sempat memasukkan beberapa kritik mulai dari tentang media hingga pihak hukum seperti polisi dan pengacara. Tapi semua itu hanya hadir sambil lalu dan tidak sampai pada tataran eksplorasi mendalam. The Mule adalah tipikal film yang diatas kertas bakal terdengar bodoh, apalagi jika hanya melalui premisnya. Tapi berkat pengembangan cerita yang menarik, komedi yang tidak murahan, serta karakter yang tidak bisa disebut dangkal, film ini pun berakhir lebih cerdas dari yang saya duga. "Lebih cerdas dari dugaan" bukan berarti film ini cerdas secara umum. Pada akhirnya yang ditawarkan memang hanya kegilaan, ketidaknyamanan dan banyak momen menjijikkan yang berjalan cepat hingga menjadi hiburan menarik, tidak lebih.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar