CINDERELLA (2015)

Tidak ada komentar
Ada perbedaan mendasar antara kisah klasik dengan kisah usang. Keduanya sama-sama berasal dari waktu yang telah lalu dan hampir semua orang tahu segala aspek ceritanya dari awal hingga akhir. Tapi disaat kisah usang tidak lagi menarik di masa sekarang, sebuah kisah klasik tidak akan lekang oleh waktu, meski terus dituturkan berulang kali tanpa adanya modifikasi. Cinderella garapan Kenneth Branagh ini menjadi salah satu contoh terbaru bagaimana fairy tale yang happily ever after masih merupakan tontonan menarik. Kisah dibuka dengan memperlihatkan kehidupan seorang gadis kecil bernama Ella (Eloise Webb) yang dipenuhi kebahagiaan bersama kedua orang tuanya. Suatu hari Ella dirundung duka saat sang ibu (Hayley Atwell) meninggal dunia. Tapi ia dan sang ayah (Ben Chaplin) tetap berusaha melanjutkan hidup dengan tenang. Merubah duka menjadi kenangan indah. 

Beberapa tahun kemudian, Ella (Lily James) yang telah tumbuh dewasa mendapati kebutuhan sang ayah untuk menikah lagi. Kehidupan indahnya mulai berubah dengan kedatangan sang ibu tiri, Lady Tremaine (Cate Blanchett) beserta kedua puterinya Anastasia (Holliday Grainger) dan Drisella (Sophie McShera). Kedua saudari tiri Ella tidak menyukai dirinya, begitu pula sang ibu tiri yang merasa cemburu dengan fakta bahwa biar bagaimanapun ia tidak akan pernah bisa menjadi pengganti ibu/istri dalam keluarga tersebut. Disinilah naskah tulisan Chris Weitz menunjukkan pengaruhnya. Dia tidak melakukan modifikasi besar, melainkan memberi beberapa detail untuk tambahan eksplorasi konflik dan karakter. Salah satunya adalah untuk sosok Lady Tremaine. Jika mayoritas kisah yang muncul hanya memperlihatkan dirinya sebagai wanita kejam, film ini memberikan sudut pandang lain. Ada kecemburuan yang mendorong sikap itu. Secara tersirat kita pun melihat kebenciannya terhadap Ella karena Lady Tremaine seperti melihat cerminan dirinya di masa lalu yang polos dan baik sebelum rentetan duka merubah hidupnya.
Kisah selanjutnya sudah kita tahu. Ella akan bertemu dengan seorang pangeran (Richard Madden), hadir di pesta dansa dengan gaun indah serta sepatu kaca pemberian ibu peri (Helena Bonham Carter), pergi menghilang dari pangeran, sebelum kembali bertemu, menikah, lalu hidup bahagia untuk selamanya. Tidak ada twist seperti dalam Into the Woods misalnya. Tapi kesederhanaan itu tetap tampil memukau disaat momen percintaan hadir begitu romantis, dan momen magis terasa begitu indah. Kenneth Branagh membuktikan bahwa pengalamannya membuat beberapa film adaptasi kisah Shakespeare berpengaruh kuat dalam kepiawaiannya mengemas romansa klasik seperti ini. Fairy tale memang sudah seharusnya sederhana, tapi lebih dari itu poin utama adalah keharusan untuk terasa magical. Dengan bantuan efek CGI penuh kemilau ala Disney, tata artistik megah untuk menghadirkan ruang dansa, gaun dan sepatuh kaca yang dengan cantiknya didesain oleh Sandy Powell, serta scoring Patrick Doyle, Kenneth Branagh sukses menghidupkan kembali keajaiban Cinderella.
Dari segala aspek cerita Cinderella, satu hal yang paling ditunggu tentu saat ia bertemu dengan ibu peri, mendapat bantuan sedikit sihir untuk bisa hadir di pesta dansa dan akhirnya bertemu dengan pangeran. Ada ekspektasi besar, karena itu merupakan puncak cerita. Branagh berhasil memenuhi harapan saya akan momen tersebut. Betapa indah dan menggetarkannya rangkaian adegan yang dimulai dari "pertunjukkan" sihir ibu peri sampai dansa pertama Cinderella dengan pangeran. Mengingatkan saya lagi akan kenapa kita semua mencintai fantasi dan dongeng bahagia. Saya juga menyukai bagaimana Chris Weitz menambahkan konflik internal dalam istana dimana ada usaha untuk menikahkan sang pangeran dengan puteri kerajaan daripada Ella yang hanya gadis kampung biasa. Meski hanya tambahan ornamen sederhana dalam plot, hal ini sanggup memberikan bumbu lebih terhadap konflik, menciptakan dinamika yang lebih meningkat daripada biasanya, dimana ancaman hanya berasal dari ibu dan saudari tiri Cinderella.

Dengan gaun berwarna biru yang indah serta sepatu kaca, saya dibuat percaya bahwa Lily James merupakan seorang puteri yang anggun. Tidak hanya pangeran, mayoritas penonton pria pun akan jatuh cinta pada karakter Cinderella satu ini, disaat penonton wanita akan mengagumi kecantikannya dan kembali pada mimpi masa kecil mereka untuk memakai gaun cantik dan bertemu prince charming dengan kuda putih. Sebagai sosok bertolak belakang, hadirlah Cate Blanchett yang semakin memberikan kedalam untuk Lady Tremaine, membuatnya tidak berakhir sebagai tipikal ibu tiri jahat dua dimensi. Turut mencuri perhatian adalah Helena Bonham Carter yang kembali tampil eksentrik, hanya saja dengan porsi minim yang sesuai. Dengan segala keindahan menggetarkan, fantasi memukau, serta sosok Cinderella yang mudah mengambil simpati penonton, film ini jelas jauh di atas ekspektasi saya. Bahkan setulah pembukaan mengesankan berupa film pendek Frozen Fever, Cinderella tetap berdiri tegak. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: