BLACK SEA (2014)
Sejatinya Black Sea tidak jauh beda dengan kapal selam yang menjadi setting utamanya. Keduanya sama-sama beresiko. Jika ditangani dengan pintar, film dengan satu lokasi sempit bisa mendatangkan keberhasilan besar, sama seperti kapal selam di medan perang. Namun satu kesalahan fatal bisa merusak semuanya. Semua kru di kapal bisa terbunuh, dan bagi filmnya sendiri dapat menghilangkan intensitas, hanya memunculkan kesan monoton. Kevin Macdonald selaku "kapten" bagi film ini membuktikan ia mampu membawa Black Sea bertahan hidup meski tidak berhasil meraih kejayaan seperti yang diharapkan. Karakter utamanya adalah Robinson (Jude Law), veteran angkatan laut yang mendapati dirinya baru saja dipecat setelah puluhan tahun mengabdi. Respon yang ia munculkan saat mendengar itu sudah cukup menggambarkan sakit hati dan amarahnya.
Bagaimana tidak? Selama puluhan tahun Robinson harus menghabiskan mayoritas hidupnya di laut, meninggalkan anak dan istrinya, hingga berujung pada perceraian. Kini dia sendirian, mendapati keluarganya hidup dengan seorang pria kaya sedangkan ia miskin. Hanya satu hal yang Robinson tahu, yakni menjadi kapten sebuah kapal selam. Karena itu ia tidak berpikir dua kali saat mendapat tawaran mengambil harta bernilai puluhan juta pounds peninggalan Hitler pada masa perang dunia II. Harta tersebut berada di dasar laut, tepatnya tenggelam bersama sebuah kapal selam Jerman. Robinson pun mulai mengumpulkan kru yang terdiri dari separuh orang Inggris dan separuh orang Rusia. Naskah tulisan Dennis Kelly memanfaatkan berbagai macam konflik yang terjadi saat pencarian harta. Baik konflik yang berasal dari medan perairan berbahaya maupun konflik antar kru dalam kapal.
Perjalanan ini memang punya semua jalan untuk memunculkan konflik. Segalanya terasa salah. Jangan bayangkan sebuah kapal selam canggih dan fresh seperti milik Steven Siegel dalam Under Siege. Robinson dan kru mendapat sebuah kapal berkarat dengan mesin rusak dimana-mana. Tidak berlebihan untuk disebut sampah logam. Begitu pula dengan kru yang ada. Sedari awal sudah terbentuk kubu antara orang Inggris dengan Rusia. Ditambah lagi dengan kehadiran Ben Mendelsohn dalam peran khanya sebagai Fraser yang gila. Semua bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sebagai penonton kita pun tahu bahwa ledakan itu akan segera terjadi. Menghilangkan unsur kejutan, tapi bisa dimanfaatkan untuk membangun ketegangan karena antisipasi yang hadir. Muncul tantangan lebih bagi Macdonald karena ketegangan harus dibangun dalam setting sempit.
Poin utama thriller satu lokasi adalah menghadirkan kesan klaustrofobik bagi penonton. Penonton harus bisa ikut merasakan betapa pengap, sesak dan memuakkannya tempat tersebut. Untuk itu Black Sea masih terlalu segar dan ringan. Masih banyak ruang bernafas dalam thriller ini. Muncul banyak pertengkaran, tapi tidak membuat saya tercekik. Kebanyakan akibat pembangunan sekaligus resolusi yang terlalu cepat. Seperti saat orang Inggris dan Rusia berselisih lalu berujung pada masing-masing menguasai separuh bagian kapal. Konfik itu berakar dari sebuah pembunuhan, dan bahkan bisa jadi template bagi satu film penuh. Tapi Dennis Kelly hanya menjadikannya sebagai sub-plot yang pada eksekusinya oleh Macdonald tidak bertahan sampai 15 menit. Begitu pula konflik lain yang datang silih berganti begitu cepat. Bermaksud tidak berlama-lama pada satu titik, yang terjadi justru kesan terburu-buru.
Belum sempat saya merasa terikat, suatu permasalahan telah usai dan berganti dengan yang lain. Memang sering berujung pada kematian, tapi bahkan di ruang sempit itu aroma busuk mayat tidak tercium sedikitpun. Dalam artian, sebagai penonton saya tidak pernah benar-benar diajak hadir langsung merasakan ketidak nyamanan di dalam kapal selam tersebut. Pemilihan Macdonald untuk melaju cepat karena banyaknya konflik yang dituangkan Kelly memang berujung tidak terikatnya penonton dengan cerita, tapi disisi lain hal itu berhasi membuat filmnya jadi suguhan seru. Tidak begitu menegangkan, tapi masih menyenangkan. Setiap teriakan, setiap kematian dan setiap hantaman di badan kapal tidaklah menyesakkan, tidak mendebarkan, tapi cukup untuk menjaga intensitas setidaknya dalam kondisi stabil.
Sebagai drama, Black Sea juga menonjolkan tema keserakahan. Robinson dan kawan-kawannya adalah korban keserakahan para pemilik modal yang memanfaatkan mereka untuk mendapat keuntungan, tapi begitu uang didapat mereka pun dibuang begitu saja. Terdapat kebencian akan pihak kaya, khususnya dalam diri Robinson yang berulang kali mengingatkan pada kru bahwa mereka harus berhasil jika tidak mau terus ditindas. Hingga kemudian keserakahan juga turut menyerang para kru, berdampak pada konflik antara mereka. Tapi yang paling menarik adalah saat Kelly memberikan sentuhan ambiguitas dalam diri Robinson selaku karakter utama. Memulai cerita sebagai sosok "putih" yang terluka, perlahan Robinson mulai bertransformasi. Tiap perintah yang tadinya bertujuan semata-mata demi keselamatan kapal makin lama berubah menjadi demi bisa membawa pulang emas. Jude Law dengan mulus menghadirkan transformasi tersebut. Dari kapten kapal yang handal menjadi pria hancur yang dibutakan kekayaan.
Verdict: Black Sea isn't that thrilling but definitely very entertaining. Walaupun kelam tapi minim kedalaman pada konflik yang membuat penonton tidak terikat sekaligus melucuti potensinya sebagai thriller klaustrofobik. Untungnya Kevin Macdonald masih tahu cara membuat hiburan non-stop yang bergerak cepat, menjaga filmnya supaya tidak karam.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar