DAREDEVIL - SEASON 1 (2015)
I'm a big fan of Marvel and it's cinematic universe. Mulai dari kualitas film sampai pengembangan universe-nya saya kagumi. Tapi bukan berarti MCU tanpa cela. Sejauh ini janji untuk menghadirkan sajian lebih gelap berakhir mengecewakan (Iron Man 3 dan Thor: The Dark World masih komedik). Saya pun tidak sepenuhnya yakin saat mereka menjanjikan sesuatu yang lebih gelap dan gritty lewat rangkaian web television series di Netflix. Rencananya akan ada empat seri individu: Daredevil, Jessica Jones, Luke Cage, Iron Fist dan satu seri Avenger-esque saat keempatnya bergabung dalam The Defenders. Benarkah Marvell bisa membuat sesuatu yang lebih gelap? Daredevil yang digawangi Drew Goddard bakal jadi pertaruhan. Kegagalan berarti ancaman bagi serial berikutnya. Tapi keberhasilan akan membuat Daredevil layaknya Iron Man tujuh tahun lalu dalam hal launcher akan sesuatu yang lebih besar.
Seperti janji, tidak ada Iron Man terbang dengan baju besi, tidak ada Thor dengan palu ajaib, tidak ada alien beterbangan menembakkan laser disini. Hanya ada sudut kota kecil Hell's Kitchen yang masih berbenah pasca peperangan besar di New York (event di The Avengers). Matt Murdock (Charlie Cox) adalah pengacara buta yang baru memulai firma hukum bersama sang sahabat, Foggy Nelson (Elden Henson). Pada pagi dan siang hari Matt adalah pengara hebat yang taat hukum. Tapi di malam hari ia berubah menjadi sesosok vigilante berpakaian hitam yang tidak ragu menghajar para penjahat di tiap sudut kota. Mimpinya adalah menciptakan Hell's Kitchen yang bersih dari tindak kriminal. Banyak kriminal berbahaya disana, tapi satu sosok paling memberikan ancaman justru seorang pebisnis bernama Wilson Fisk (Vincent D'Onofrio). Fisk menguasai berbagai aspek di Hell's Kitchen mulai dari dunia hitam, sampai para penegak hukum dan media. Memanfaatkan kekuasan besar itu, Fisk punya mimpi yang sama dengan Matt: Menciptakan Hell's Kitchen yang lebih baik apapun caranya.
Marvel did it! Lewat ketiga belas episode serial ini, Marvel menjawab tuntas segala kritikan yang sering ditujukan pada mereka. Kita mulai dari tone dan skala. Bagi penonton termasuk saya yang telah mengenal sosok Daredevil dari komiknya pasti setuju bahwa superhero satu ini punya kehidupan paling tragis dibanding rekan-rekannya. Superhero lain memang punya sisi/momen kelam dalam hidup mereka, tapi bagi Daredevil, bisa dibilang semua aspek kehidupannya kelam. Penuh kematian, kesendirian, kegilaan. Tragedi. Maka wajib hukumnya bagi serial ini untuk hadir lebih gelap dan gritty dibanding produk lain dari Marvel. Hal itu berhasil. Serial ini lebih condong pada drama kriminal bernuansa noir daripada kisah superhero seutuhnya. Penyelidikan terhadap aksi para mafia dan korupsi dunia bisnis lebih kental sambil sesekali kita dibawa melihat aksi Matt Murdock menghajar penjahat di jalanan. Baru disini juga Marvel berani memperlihatkan kekerasan. Darah, pemenggalan, sampai tangan yang terputus bukan semata-mata eksploitasi tak bermakna, tapi hal esensial demi menunjukkan betapa brutal dan berbahayanya Hell's Kitchen. Semua itu turut dirangkum oleh opening sequence garapan Elastic yang indah dan "berdarah".
Kesan realistis dan karakterisasi juga memperkuat tone yang coba dibangun. Realistis, karena Daredevil bukanlah Thor maupun Captain America yang punya kekuatan fisik super dan mampu bertahan dari berbagai pukulan atau ledakan. Diluar kemampuan indera selain penglihatan yang di atas rata-rata, Matt Murdock hanya manusia biasa. Dia bisa terluka dan tidaklah untouchable. Beberapa kali dia bisa dikalahkan, terluka parah sebelum akhirnya bangkit kembali. Alhasil dalam segala pertarungan, tiap tulang yang patah dan sayatan penuh darah terasa lebih berarti. Ditambah koreografi apik, action dalam Daredevil tetap begitu menghibur meski tanpa balutan CGI maupun ledakan bombastis khas Marvel. Siapa sangka street level superhero bisa semenarik ini.
Karakter-karakternya ada di area abu-abu. Daredevil adalah superhero yang terjebak dalam ambiguitas moral karena statusnya sebagai pengacara taat hukum. Tidak hanya itu, keyakinan Katolik yang ia pegang teguh juga memberikan dilema dalam tiap aksinya. Kekerasan yang ia gunakan pun cukup disoroti, menghadirkan pertanyaan moralitas menarik. Namun karakter paling mengesankan adalah Wilson Fisk alias Kingpin. Dia ingin membangun Hell's Kitchen dan meyakini tiap perbuatan yang ia lakukan bertujuan kearah sana. Aspek itu bukan sekedar premis karakter di atas kertas, pada eksekusinya pun sosok Fisk terasa seperti itu. Dia bukan megalomania yang ingin menguasai dunia. Tujuannya mulia, hanya caranya yang keliru, dimana itu pun didorong oleh trauma masa kecil. Tidak hanya itu, Fisk juga menghargai arti pertemanan seperti yang terpancar dalam hubungannya dengan Wesley (Toby Leonard).
Wilson Fisk adalah villain paling manusiawi dalam dunia Marvel sejauh ini. Kisah cintanya dengan Vanessa (Ayelet Zurer) membuktikan itu. Meski punya uang dan kekuasaan, Fisk bukanlah playboy yang mudah menggaet wanita. Dia seperti kita semua, manusia biasa yang kelabakan saat harus mendekati seorang wanita lalu menjalani kencan pertama. Tidak perlu diragukan lagi rasa cintanya pada Vanessa. Bahkan pada sebuah episode yang menyoroti subplot romansa keduanya, terjadi titik balik dalam rasa simpati saya. Saat itu Wilson Fisk justru menjadi karakter paling mengundang simpati, paling berperasaan, bahkan melebihi Matt Murdock sendiri. He's my favorite villain in MCU so far (beside Loki of course). Hubungan antara Matt-Fisk pun menarik, karena ambiguitas moral diantara mereka. Pada akhirnya saya tidak bisa menentukan siapa yang lebih benar karena tidak ada yang sepenuhnya putih, tidak ada yang sepenuhnya hitam.
Verdict: Gritty, brutal, bloody. Berjalan lambat demi pembangunan karakter & konflik mendalam tanpa melupakan action menghibur. Daredevil mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada referensi terhadap Avengers meski tidak sepenuhnya terlepas. One of the best from Marvel.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar