CINTA SELAMANYA (2015)
Film pendek berjudul Notes of Us (koreksi jika saya salah) menjadi pembuka sebelum penonton disuguhi menu utama. Langkah yang patut diapresiasi, demi memberikan jalan pada sineas muda untuk menampilkan karyanya di layar lebar. Tapi dari film pendek itu dan Cinta Selamanya sendiri, terhampar jelas salah satu kekurangan terbesar industri perfilman kita. Mulai dari penonton bahkan para pembuat film sendiri banyak yang lupa akan definisi "film bagus". Film yang bagus mulai sering diasosiasikan dengan sinematografi indah atau production value mahal. Tidak salah, karena dua aspek itu termasuk pondasi penting. Namun di samping itu ada faktor lain yang lebih vital, sering dilupakan hingga membuat kualitas banyak film Indonesia stagnan, yaitu naskah. Banyak orang cenderung lebih menghargai fim dengan gambar bagus tapi naskah kurang dibanding sebaliknya. Cinta Selamanya garapan Fajar Nugros jadi salah satu contoh.
Diadatasi dari memoir "Fira dan Hafez" karya Fira Basuki, film ini menuturkan perjalanan cinta Fira Basuki (Atiqah Hasiholan) dan Hafez (Rio Dewanto). Fira adalah pemimpin redaksi majalah Cosmopolitan sekaligus janda beranak satu. Sebagai pimpinan redaksi, wajar saja jika kesehariannya penuh kesibukan. Hal itu terlihat jelas dari perkenalan pertama penonton dengan Fira dimana ia sudah harus dihadapkan dengan banyak tetek bengek kantor meski baru saja tiba. Dengan kecantikan dan karir yang berada di puncak, ternyata bukan hal mudah bagi Fira menemukan pria yang tepat. Selepas perceraian, memang banyak laki-laki yang coba mendekatinya, tapi tidak ada satupun yang menarik hati.
Berbagai kencan (yang dikemas komedik) selalu berujung kegagalan. Pengenalan karakter ini dikemas baik oleh Fajar Nugros. Kita paham bagaimana kondisi lingkungan kerja Fira yang padat, juga kehidupannya sebagai orang tua tunggal yang menyayangi sang puteri. Saya khususnya menyukai bagaimana lingkungan Fira ditampilkan. Glamor dan elegan. Berbagai cameo yang sekilas tidak substansial pun sebenarnya membantu sebagai gambaran bagaimana kehidupan Fira sebagai pimpinan redaksi majalan ternama pasti dikelilingi wajah-wajah tenar itu.
Lalu seperti yang sudah kita tahu datanglah Hafez, pria dengan usia 11 tahun lebih muda daripada Fira. Keduanya berkenalan, lalu mulai berkencan. Dari sini pun penonton bisa memahami alasan Fira lebih memilih Hafez meski sesungguhnya Fajar Nugros mengemas itu lewat cara menunjukkan kontradiksi ekstrim antara Hafez dan pria-pria lain. Cara yang standar tapi memang efektif. Daripada membawa Fira ke restoran mahal dengan mobil, Hafez jusru mengajak Fira melintasa Jakarta dengan motor bututnya, lalu berhenti di sebuah pasar ikan untuk kemudian berlayar berdua di tengah laut. Momen sederhana yang menunjukkan bahwa di tengah kehidupan yang cukup glamor, Fira menginginkan pria yang tidak "macam-macam" tapi memberikan cinta yang tulus. Pesan itu tersampaikan dengan jelas. Hubungan Fira dan Hafez pun dibangun dengan baik. Terasa manis berkat adegan sederhana yang dikemas dengan sinematografi apik plus musik romantis termasuk beberapa lagu campursari.
Tapi sesungguhnya yang paling berperan besar akan keberhasilan itu adalah duet Rio Dewanto-Atiqah Hasiholan. Mungkin sulit untuk percaya bahwa Rio Dewanto memerankan pria yang 11 tahun lebih muda daripada Atiqah (aslinya ia lima tahun lebih muda), tapi hal itu tertutupi oleh kuatnya chemistry mereka. Atiqah memancarkan sisi glamor nan elegan sekaligus kekuatan yang membuat saya percaya bahwa dirinya memang seorang pimpinan redaksi Cosmopolitan. Sedangkan Rio sebagai Hafez yang notabene sanggup mencuri hati Fira yang kuat itu juga meyakinkan. Ada sisi charming yang ia munculkan tanpa harus terasa kaku. Hasilnya sama, Rio pun begitu believable sebagai seorang pria yang mampu meluluhkan perasaan Fira meski harus dihadapkan dengan berbagai halangan. Fakta bahwa mereka memang pasangan suami istri membuat membuktikan sebuah keputusan casting yang tepat.
Memang Fajar Nugros piawai saat menampilkan momen-momen sederhana yang bisa terasa manis. Tapi beda cerita disaat filmnya memasuki paruh akhir yang lebih dramatis. Seperti yang telah saya singgung di atas, sampai akhir pun Cinta Selamanya penuh dengan gambar-gambar indah dan tata artistik memikat berkat production value yang tinggi. Bahkan adegan dengan setting luar negeri yang biasanya digarap seadanya oleh drama Indonesia terhampar apik disini. Tapi keindahan itu hanya di mata saja. Begitu sampai ke rasa, film ini tidak berhasil menjangkau hati saya. Naskah tulisan Piu Syarif dan Fira Basuki jadi salah satu penyebab. Momen dramatis yang seharusnya tampil menyentuh malah hadir amat terburu-buru. Setelah eksplorasi yang cukup sabar hingga pertengahan, paruh akhirnya seolah dipaksa secepat mungkin hadir. Saya belum sempat diajak masuk, momen demi momen sudah berlalu. Rasanya hambar.
Fajar Nugros seperti hanya berkonsentrasi menyuguhkan adegan indah. Contoh kuat adalah adegan di luar negeri yang diniati sebagai konklusi penuh haru tapi tidak lebih dari rangkaian montage tanpa emosi. Tanpa adanya pembangunan emosi yang kuat, adegan Atiqah Hasiholan berfoto-foto sambil berciuman penuh passion dengan sang suami jelas tidak menyentuh bagi saya. Terlalu besar fokus yang diberikan pada teknis hingga melupakan rasa. Termasuk penggunaan visualisasi Twitter yang pada awalnya terasa unik tapi justru mengurangi eksplorasi emosi pada klimaksnya. Daripada mencoba mengkonversi kalimat-kalimat "kicauan" Fira, Fajar Nugros justru memilih menampilkan itu tetap sebagai tulisan dan membiarkan gambar demi gambarnya terasa kosong. Inilah bentuk style over substance dalam film romansa disaat romantisme ditunjukkan lewat sinematografi indah daripada penggalian yang lebih. Ironis, disaat Fira jatuh cinta pada Hafez karena kesederhanaannya mencinta, film ini malah tampil sebaliknya.
Verdict: Cinta Selamanya lebih serupa video klip yang diselipi cerita. Sinematografi indah, musik oke, tapi emosi hambar gara-gara naskah medioker. Manis tapi tidak emosional. Untung chemistry kuat Rio-Atiqah hadir sebagai penyelamat.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:mas rasyid harry, terima kasih sebelumya sudah memasukkan blog review film amatiran saya ini. mohon juga untuk follow saya. terima kasih
iza-anwar.blogspot.com
Posting Komentar