THE HUNDRED-YEAR-OLD MAN WHO CLIMBED OUT THE WINDOW AND DISAPPEARED (2013)
Judul film ini adalah apa yang saya sebut "sangat indie". Aneh, lucu, mengundang tanya, dan tentunya amat menarik. Awalnya saya mengira adaptasi dari novel berjudul sama karya Jonas Jonasson ini akan menjadi drama-komedi bernuansa bittersweet yang bertutur tentang bagaimana seseorang berhadapan dengan masa tuanya. Tapi ternyata film garapan Felix Herngren ini bagaikan "saudara" dari Forrest Gump. Sebagai pembeda adalah kehadiran lelucon yang lebih gila serta tanpa usaha ber-melankolis. Karakter utamanya bernama Allan (Robert Gustafsson), pria tua yang tampak begitu kesepian, bahkan ia sampai (literally) meledakkan seekor musang yang membunuh kucingnya. Sang kucing yang diberi nama "Molotov" memang menjadi satu-satunya teman bagi Allan. Jika ada hal lain yang begitu ia cintai selain kucingnya, hal itu adalah bom. Allan suka meledakkan apapun dengan bom rakitan sendiri.
Akibat tindakannya meledakkan musang tadi, Allan terpaksa tinggal di sebuah panti jompo. Disana ia hanya duduk sendiri, nampak kesepian dan kebosanan. Bahkan ia sama sekali tidak bersemangat menyambut pesta ulang tahunnya yang ke-100. Dengan gambaran hidup macam itu, tentu mudah bagi penonton untuk berasumsi bahwa karakter ini adalah pria tua yang merana dan sendirian di tengah keterasingan. Karena itulah kita bisa memahami saat ia memutuskan melompat dari jendela kamarnya. Lalu seperti apa yang disebutkan oleh judul filmnya, Allan menghilang. Setidaknya itu yang ada di benak para perawat panti jompo dan pihak kepolisian. Diluar sana, Allan tidak tahu hendak pergi kemana (hell, even until the end he still doesn't know where to go). Bahkan ia asal membeli tiket bus sesuai dengan uang yang ia miliki.
Penonton bisa menebak bahwa akan ada petualangan yang menunggu Allan, tapi yang tidak kita kira adalah bahwa masa lalu pria ini sudah dipenuhi petualangan. Siapa sangka lansia satu abad ini mempunyai peran penting dalam berbagai peristiwa bersejarah, bahkan berteman akrab dengan para tokoh-tokoh terkenal, sebut saja Jenderal Franco, Stalin, Harry S. Truman, dan masih banyak lagi. Tapi tentu saja momen-momen itu dipresentasikan dalam bentuk komedi. Disaat Forrest Gump "hanya" duduk bersama John Lennon atau Bill Clinton, Allan sempat menyelamatkan Franco, "mengadu domba" pihak Amerika dan Rusia dalam perang dingin, sampai menciptakan bom atom. Tentu anda pernah mendengar bagaimana sang jenius Albert Einstein menolak saat diminta bantuannya membuat bom bukan? Lalu siapa yang bisa menggantikan otak jenius tersebut? Tentu saja Allan Karisson.
The jokes are there. Bukan lelucon cerdas, tapi jelas lucu dan gila. The 100-Year-Old Man Who Climbed Out the Window adalah komedi yang efektif jika ditonton beramai-ramai tapi bakal hit and miss saat ditonton sendirian. Formula komedinya adalah: semakin gila maka semakin lucu. Selain slapstick, banyak pula komedi hitam yang bermain-main dengan kekerasan dan kematian. Hampir setiap punchline diisi ledakan secara literally atau adegan dengan rasa eksplosif (ex: mobil bertabrakan), sama eksplosifnya dengan ledakan tawa dari penonton. Herngren tahu benar bahwa salah satu cara mengakali timing dalam komedi adalah memberikan "hantaman" sekuat mungkin pada penonton. Sehingga walau sebenarnya lelucon itu tidak lucu sekalipun, penonton akan mentertawakan kegilaan yang hadir.
Masa kini dan masa lalu ditunjukkan secara bergantian dalam tempo yang cepat. Baik masa lalu saat Allan berinteraksi dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah maupun masa kini saat ia harus berhadapan dengan komplotan pengedar narkoba sama-sama menyenangkan diikuti. Menyenangkan karena menghibur. Saya terhibur dengan sosok Allan, tapi apa saya peduli padanya? Sayangnya tidak. Allan adalah pria yang clueless, cenderung bodoh. Satu-satunya tokoh yang lebih bodoh darinya adalah Herbert Einstein, saudara kembar Albert yang idiot. Allan tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya, tidak pula memahami intensi dari orang-orang yang ada. Karena itu ia santai saja saat diancam akan dibunuh. Lucu, tapi ada yang hilang dari sosok Allan, yaitu hati. Bahkan sosok macam Forrest Gump maupun Mr. Bean saja punya perasaan. Untuk menampilkan itu tidak perlu dramatisasi berlebih layaknya Forrest Gump, tapi disaat tiap eksplorasi karakter Allan disajikan secara komikal, sosoknya pun tidak berbeda dengan karakter kartun.
Tapi memang seperti itulah tujuan film ini. Berusaha membuat penonton tertawa oleh tingkah polah karakternya tanpa beruaha menarik supaya kita peduli pada mereka. Sejatinya cerita film ini punya banyak tema yang bisa digali, semisal: begitu berwarnanya kehidupan, bagaimana kita tidak boleh menilai orang dari tampak luarnya, dan segala macam aspek tentang kehidupan pria lanjut usia. Tanpa perlu "sok bijak" semua itu bisa disajikan dengan elegan.
Verdict: Pada akhirnya penonton akan merasa senang, tapi melupakan mayoritas yang terjadi dalam film ini karena tidak adanya keterikatan entah pada cerita maupun karakter. Tapi paling tidak masih menghibur, dan tanpa usaha berlebihan untuk menyentuh layaknya Forrest Gump. That could be worse.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar