BIDADARI TERAKHIR (2015)
Rasyidharry
September 10, 2015
Cukup
,
Drama
,
Indonesian Film
,
REVIEW
,
Romance
Tidak ada komentar
Pada awalnya saya pesimis Bidadari Terakhir akan mampu mencapai potensi maksimalnya. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Agnes Davonar ini memiliki premis sebagai berikut: seorang remaja SMA berprestasi jatuh cinta pada seorang pekerja seks komersial yang beberapa tahun lebih tua darinya. Keraguan hadir saat saya mempertanyakan "seberapa jauh film ini berani mengeksplotasi tema kontroversial tersebut?" Karena sangat mungkin (dan sudah sering) terjadi tema potensial semacam itu hanya berakhir sebagai tempelan tanpa makna yang minim eksplorasi. Tapi diluar dugaan sutradara Awi Suryadi bersama para penulis naskahnya (Priesnanda Dwisatria, Fauzan Adisuko & Agnes Davonar) berhasil menyuguhkan romansa yang manis dan elegan, dengan tetap menjadikan tema di atas sebagai suatu hal penting meski tidak bisa disebut "dalam".
Kita pertama bertemu Rasya (Maxime Bouttier) sang karakter utama pada opening yang memperlihatkan ia tengah berlari, seolah tengah kabur dari kejaran seseorang dengan wajah terluka. Adegan pembuka yang men-tease bahwa kisah cinta kontroversial yang akan ia jalani nanti bakal memberikan banyak masalah pada remaja baik-baik ini. Rasya memang seorang pemuda yang lurus. Dia tidak pernah keluyuran di malam hari, tidak pernah pacaran, atau melakukan kenakalan-kenakalan yang biasa dilakukan anak seumurannya. Karena tuntutan dari sang ayah (Ikang Fawzi), Rasya pun hanya menghabiskan kesehariannya dengan tekun belajar. Sampai saat ia "diajak" oleh sahabatnya, Hendra (Julian Jacob) ke sebuah tempat pelacuran bernama "Paradiso", Rasya bertemu dengan seorang PSK bernama Eva (Whulandary Herman) yang langsung memikatnya pada pertemuan pertama.
Tentu saja Bidadari Terakhir tidak luput dari beberapa kejanggalan. Salah satunya terletak pada perubahan sikap Rasya yang terlalu cepat terjadi. Saya tahu ia langsung tertarik pada Eva di pertemuan pertama mereka, tapi dari yang tersaji di layar tidak cukup kuat untuk mengubah Rasya dari yang awalnya panik saat Hendra mengajaknya ke tempat pelaucuran jadi memiliki keberanian untuk datang kesana sendirian. Tidak tampak sedikitpun keraguan saat ia memutuskan kembali ke Paradiso. Bocah yang hampir tidak pernah keluyuran di malam hari ini tiba-tiba berani datang sendirian ke tempat pelacuran untuk menemui seorang PSK yang meski membuatnya tertarik (atau bahkan jatuh cinta) baru sekali ia temui. Setelah itu masih ada beberapa kejanggalan lain di perkembangan alur. Tapi semua itu masih bisa ditolerir dan tidak sampai membuat filmnya menjadi konyol.
Saya tidak memasang ekspektasi tinggi. Bahkan pada awalnya mengira bakal menemukan banyak kebodohan entah dari alur yang dipaksakan atau dialog hiperbola sok romantis yang membuat perut mual. Saya pun terkejut saat mendapati naskah film ini cukup solid. Meski bertujuan menghadirkan romantisme, hubungan antara Rasya dan Eva ditampilkan cukup sederhana. Mereka tidak saling bertukar kata-kata romantis yang seolah diambil secara paksa dari tumpukan puisi tak terpakai. Obrolan antara mereka masih realistis. Saya dibuat percaya bahwa keduanya jatuh cinta karena momen-momen kebersamaan yang muncul, meski itu hanya sebatas Eva menemani Rasya belajar biologi (literally) di kamar hotel.
Saya dibuat percaya mereka jatuh cinta, karena keduanya menemukan hal baru yang menarik dalam diri masing-masing. Bagi Rasya, Eva adalah sosok yang unik disaat ia mampu menjadi lawan bicara yang menyenangkan, bukan hanya sesosok PSK bermodalkan tubuh. Sedangkan bagi Eva yang dikelilingi oleh laki-laki pencari kepuasan nafsu, Rasya yang rajin belajar, polos dan bahkan menolak saat diajak berhubungan seks pun sama uniknya. Dari situ timbulnya rasa cinta diantara mereka jadi terasa natural dan believable. Hal itu ditambah kesan sederhana namun solid baik dari naskah maupun penggarapan dari Awi Suryadi berhasil menciptakan momen romantis yang manis tanpa harus tampi berlebihan.
Bidadari Terakhir punya dua konflik utama, yaitu yang berasal dari romansa Rasya-Eva dan hubungan antara Rasya dengan sang ayah. Konflik yang didasari oleh status Eva sebagai PSK mungkin tidak sampai menjadi sebuah observasi yang mendalam. Kita tidak diajak menyelami lebih jauh kehidupannya, tidak pula diberikan konflik batin yang kompleks. Semuanya masih dalam taraf permukaan saja, seperti masalah ekonomi atau moral di mata masyarakat. Memang klise, hanya saja sudah cukup untuk menjauhkan kesan status Eva hanya sebagai tempelan belaka, karena konflik tersebut terasa kehadirannya. Sayang, mencapai pertengahan seiring dengan semakin jarangnya Eva datang ke Paradiso, daya tarik dari hubungan percintaannya sedikit memudar. Romantikanya sempat hanya terasa seperti kisah cinta remaja pada umumnya. Padahal Whulandary Herman jauh lebih mengesankan saat harus menjadi Eva sang PSK yang "nakal" daripada Eva yang biasa saja.
Sebagai subplot, hubungan Rasya dan sang ayah mungkin tidak pula dihadirkan secara maksimal, namun memberikan dimensi yang lebih pada karakter Rasya itu sendiri. Disaat sisi manis romansanya membuat saya bersimpati pada hubungannya dengan Eva, tambahan konflik dengan ayahnya yang berusaha menjadikan Rasya sebagai "robot" makin menguatkan simpati tersebut. Satu hal yang amat disayangkan adalah tiga karakter pendukung yang terasa percuma. Hendra yang diawal berpotensi memberikan interaksi menarik lewat sifatnya yang bertolak belakang dengan Rasya semakin memudar seiring berjalannya durasi. Begitu pula adik Rasya, Angel (Meirayni Fauziah) yang punya potensi memainkan peran serupa dengan Hendra dalam konflik cerita. Terakhir adalah Maria (Stella Cornelia) yang tidak memberikan kontribusi apapun dalam cerita selain menyelipkan kisah cinta segitiga yang jauh dari kesan matang.
Diluar segala kekurangannya, saya menyukai Bidadari Terakhir yang punya kisah romansa manis dan cukup berani mengangkat tema kontroversial meski masih berada di zona aman. Kemudian hadirlah rangkaian momen menuju konklusi yang hampir saja menghancurkan film ini. Munculnya aspek "penyakit" yang selalu jadi andalan untuk menghadirkan kesedihan jujur saja menurunkan kelas Bidadari Terakhir yang sedari awal tampil elegan. Untung Awi Suryadi tampak menyadari itu dan tidak ingin membuat filmnya sebagai tearjerker seutuhnya. Maka dia pun tidak membuat penonton berlama-lama pada momen tersebut, dan langsung bergerak ke poin selanjutnya yang terasa lebih positif dan bagi saya sempurna sebagai penutup. Sempurna, hingga konklusi sesungguhnya hadir dan merusak keindahan romansa yang susah payah dibangun sedari awal. Kehadiran secara mendadak karakter Maria bukan hanya tidak perlu, tapi juga merusak esensi romansa yang ditanamkan sejak awal. Bidadari Terakhir sayangnya ditutup oleh konklusi yang pointless itu.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar