WHITE GOD (2014)
Tidak saya sangka dalam film kecil yang merupakan perwakilan Hungaria untuk Oscar 2015 ini terdapat ambisi yang teramat besar. Sekilas White God nampak seperti drama realis sederhana tentang hubungan seorang gadis dengan anjingnya. Tapi ternyata sutradara sekaligus penulis naskah Kornel Mundruczo punya lebih banyak hal tersimpan untuk penonton. Bermula sebagai melodrama, perlahan filmnya mulai memberikan sentuhan-sentuhan aksi hingga akhirnya memuncak sebagai creature horror saat klimaks. Apakah berhasil? Secara teknis bisa dibilang sukses, namun menelisik lebih jauh ke dalam, terasa kekosongan akibat berbagai kontradiksi yang hadir karena ambisi besar tersebut.
Lili (Zsofia Psotta) harus tinggal sementara selama tiga bulan bersama sang ayah, Daniel (Sandor Zsoter) yang sudah lama tidak ia temui disaat ibunya harus pergi keluar negeri. Dari impresi awal terhadap sosok Daniel, mudah menebak bahwa ia bukanlah seorang ayah terbaik yang diinginkan seorang anak. Salah seorang rekan kerja Daniel di tempat penjagalan memanggilnya "profesor", sebutan yang langsung ia tolak (bagi Daniel ia bukan lagi seorang profesor). Dari situ tergambar bahwa pria ini tengah berada dalam fase hidup yang jauh dari kata bahagia. Sikapnya cenderung kurang ramah. Reuni antara Daniel dan Lili pun tidak meninggalkan kesan menyenangkan bagi sang puteri. Belum lagi ditambah fakta sang ayah tidak menyukai kehadiran Hagen, anjing kesayangannya. Kehidupan Lili bersama sang ayah diawali dengan berat hati, hinga semua berpuncak saat Daniel meninggalkan Hagen secara paksa di tengah jalan.
Sedari poin di atas, filmnya bergerak dalam dua narasi: kehidupan Lili dan Hagen. Sepeninggal si anjing, kehidupan Lili semakin kacau. Dia sering memberontak baik kepada sang ayah maupun di sekolah. Bahkan Lili sempat nyaris terjerumus pada pergaulan yang berbahaya. Kehidupan Hagen pun tidak lebih baik, bahkan jauh lebih menyedihkan. Mulai dari dikejar oleh pihak penangkaran hingga dijadikan anjing petarung yang harus melalui berbagai latihan menyiksa. Keduanya mengalami transformasi serupa, gadis manis dan anjing jinak itu mulai berubah menjadi gadis pemberontak dan anjing buas. Tapi saya tidak bisa menyalahkan Lili dengan sifatnya, tidak bisa pula menyalahkan Hagen yang menjadi alpha dalam penyerbuan anjing di klimaks.
"Everything terrible is something that needs our love". Sebaris kalimat dari penyair asal Austria, Rainer Maria Rilke tersebut membuka film ini. Lili dan Hagen adalah representasi dari kata "terrible", dimana mereka bukan serta merta buruk, namun karena keduanya sama-sama kurang mendapatkan cinta. White God berusaha memberikan statement tersebut dan menjadi eksplorasi terhadap orang-orang (dan hewan) yang berperilaku buruk.
Untuk menghadirkan eksplorasi tersebut, Kornel Mundruczo menyajikan secara gamblang berbagai penderitaan yang dialami oleh Lili dan Hagen. Sesungguhnya dalam naskah yang ia tulis, terdapat begitu kental kandungan melodrama. White God pun bisa saja berakhir sebagai sajian melankolis pengundang tangis, tapi pengemasan realis dari Mundruczo menghindarkan hal itu. Kesan realis kuat menjadikan film ini tidak nyaman, apalagi saat fokus sedang berada pada Hagen. Melihat anjing yang awalnya jinak ini mendapat begitu banyak siksaan hingga berubah menjadi buas bukanlah pengalaman menyenangkan. Kekuatan Mundruczo sebagai sutradara tidak hanya berhenti sampai disitu. Masih seputaran Hagen, beberapa bagian mampu ia kemas layaknya sajian action, lengkap dengan scoring menghentak. Saat filmnya bergerak kearah horror pun, Mundruczo terbukti piawai dalam menyajikan klimaks penuh darah yang cukup intens.
Secara teknis penggarapan White Dog memang spesial. Apalagi melihat bagaimana para "aktor" anjing bermain disini. Banyak scene yang tidak melibatkan satu pun manusia di dalamnya, tapi saya mampu mengerti interaksi antara mereka, bahkan ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Sosok Hagen pun tidak terasa berbeda dibandingkan Lili. Dia mampu membuat saya mempercayai rasa sakit dan tatapan penuh kesedihan atau rasa takut yang muncul sepanjang film. Hingga saat klimaks pun, ia tidak tampak hanya sebagai sesosok monster, tapi makhluk hidup yang ingin melampiaskan semua amarah akibat siksaan berkepanjangan.
Tapi seperti apa yang saya tuliskan pada paragraf pertama, dibalik kehebatan teknisnya, terdapat kekosongan yang menghalangi saya untuk lebih menyukai film ini. Sepanjang cerita, White God mengajak penonton menyaksikan kepahitan hidup lewat kacamata realisme. Namun disaat konklusi dihantarkan lewat cara ala b-movie, serasa ada tembok penghalang bagi saya untuk bisa terikat secara emosional. Setelah semua konflik teramat serius, klimaks hingga konklusi dituturkan lewat cara yang sulit untuk dianggap serius. Memang tergarap dengan maksimal, dan lagi-lagi secara teknis Kornel Mundruczo membuktikan bahwa menggabungkan melodrama realis dengan horror kelas B tidaklah mustahil, namun dari sisi kekuatan cerita, nyatanya itu justru melemahkan. Sayang, White God justru dilukai oleh ambisinya sendiri.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar