ASSASSINATION CLASSROOM (2015)
Sesosok alien berwarna kuning dengan bentuk seperti gurita (kepala besar dengan banyak tentakel) telah menghancurkan 70% bagian Bulan. Sasaran berikutnya adalah Bumi, dimana pasukan militer terkuat seluruh dunia sama sekali tidak berkutik di hadapannya. Alien tersebut berniat menghancurkan Bumi, tapi sebelum itu ia meminta dijadikan guru untuk kelas 3E di SMP Kunugigaoka. Sebagai gantinya, para siswa diberi kesempatan untuk membunuh si alien yang kemudian dipanggil Koro Sensei dengan cara apapun. Bagi yang berhasil melakukannya, hadiah 10 milyar Yen telah menanti. Tapi jika setelah kelulusan pembunuhan gagal dilakukan, Koro Sensei akan menghancurkan Bumi. Premis dengan tingkat keanehan selangit ini memang hanya akan kita temukan dalam film-film dari Jepang.
Assassination Classroom adalah bagian pertama dari dwilogi adaptasi manga berjudul sama karya Yusei Matsui. Sekuelnya yang berjudul Assassination Classroom: Graduation sendiri bakal dirilis tahun 2016 mendatang. Seperti judulnya, film ini akan berfokus pada usaha siswa-siswi kelas 3E untuk membunuh guru mereka tersebut. Tapi jangankan membunuh alien berkekuatan besar yang mampu bergerak secepat kilat itu, untuk sekedar mendapat nilai bagus saja mereka kesulitan. Mereka dianggap terbelakang. Bahkan ruang kelasnya pun terpisah, di sebuah gedung tua di perbukitan terpencil. Para guru tidak segan menghina mereka di depan siswa kelas lain. Bagi kepala sekolah sendiri kelas 3E adalah "si lemah yang diperlukan" supaya mereka yang kuat dapat tetap kuat dan "bertahan hidup."
Berlebihan bukan? Tapi semangat menyajikan semuanya secara hiperbolis cenderung absurd entah dari sisi cerita, visual, komedi ataupun akting serta karakter memang daya tarik perfilman Negeri Sakura itu. Poin negatifnya adalah banyak hal yang kurang bisa diterima nalar. Akan terasa sangat mengganggu bagi penonton yang belum terbiasa. Bahkan saya yang sudah terbiasa pun masih dibuat "garuk-garuk kepala" oleh eksekusi beberapa plot point yang terlalu banyak lubang. Namun di samping aspek tersebut, film ini adalah tontonan penuh warna yang begitu menyenangkan. Kesenangan itu mengacu pada poin positif dari absurditas filmnya. Sutradara Eiichiro Hasumi pun jadi memiliki kebebasan untuk berbuat "semaunya". Dia hendak memasukkan adegan pertarungan seru antara dua makhluk bertentakel? Bisa. Dia ingin menyajikan kekonyolan komedik saat sang alien menyamar sebagai perempuan untuk menyelinap ke kamar siswi? Bisa juga. Lagi pula pada akhirnya semua itu efektif memberi hiburan menyegarkan.
Kebebasan itu bisa diaplikasikan pula dalam hal penokohan. Diluar Koro Sensei sendiri ada begitu banyak karakter unik disini. Setiap dari mereka diperkenalkan lewat cara yang sukses menggaet perhatian saya. Tingkat kegilaan "sosok baru" pun disajikan secara bertahap. Mulai dari Karuma (Masaki Suda) yang pemalas dan bandel tapi juga murid terkuat sekaligus paling cerdik dan merupakan orang pertama yang sanggup melukai Koro Sensei. Kemudian Irina (Kang Ji-young), seorang pembunuh profesional yang ditugaskan membantu usaha pembunuhan kelas 3E. Semakin aneh saat Ritsu (Kanna Hashimoto) yang merupakan sebuah A.I. canggih dalam bentuk kotak seperti lemari ikut hadir sebagai murid pindahan. Puncaknya ada saat satu lagi murid baru yang seperti Koro Sensei juga memiliki tentakel di kepalanya bernama Itona (Seishiro Kato) ikut meramaikan kelas.
Tentu saja jumlah karakter sebanyak itu akan lebih efektif jika dihadirkan dalam serial, tapi Eiichiro Hasumi masih sanggup memberikan masing-masing dari mereka momen untuk bersinar dan meninggalkan kesan. Bahkan, seringkali Nagisa (Ryosuke Yamada) selaku protagonis jadi terpinggirkan karena teman-temannya yang lebih "berwarna" itu. Karasuma (Kippei Shiina) selaku instruktur pelatihan pembunuhan kelas 3E menyatakan bahwa Nagisa punya bakat alami sebagai pembunuh. Dalam salah satu momen pun ia ditunjukkan bertransformasi dari sosok remaja pendiam jadi layaknya pembunuh berdarah dingin dengan senyum menyeringai sambi membawa pisau. Nagisa pun mampu menganalisa kelemahan-kelemahan Koro Sensei berkat observasi mendalam. Tapi tetap saja secara keseluruhan pesonanya masih gagal menyamai karakter-karakter pendukung.
Sentuhan dramanya memang tidak mencapai level emosional seperti yang seharusnya karena keterbatasan durasi. Saya tidak mendapat cukup banyak waktu untuk merasa ikut bersama siswa-siswi kelas 3E menjalani hari dengan Koro Sensei. Tapi masih ada kehangatan menyaksikan kebersamaan mereka, melihat kelas yang tadinya dianggap terbelakang ini mulai mendapatkan kemajuan, melihat para calon pembunuh dan targetnya terbang melintasi penjuru dunia untuk belajar atau sekedar mengambil foto untuk buku tahunan. Assassination Classroom merupakan salah satu film dengan adegan persiapan pembunuhan paling hangat yang pernah ada. Di tengah segala absurditas, logika yang dikesampingkan, serta komedi yang kental aroma kebodohan, terciptanya kehangatan itu jelas pencapaian spesial dari Eiichiro Hasumi.
Assassination Classroom adalah kesenangan demi kesenangan yang disajikan dalam pace cepat. Tanpa sadar durasinya telah mendekati akhir dan saya masih belum merasa cukup dengan segala kesenangan tersebut. Eiichiro Hasumi telah berhasil membuat sajian ringan menyenangkan yang selama ini rasa-rasanya hanya mampu dibuat oleh seorang Takashi Miike dalam bentuk penyutradaraan terbaiknya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:ya,Min. memang jika dibandingkan dengan Attack On Titan LA film ini masih dibilang "Not a really waited Live-action from AniManga" tpi dri segi cerita setidaknya tidak terlalu melenceng dari versi originalnya seperti AOT part 1 & 2, Walau sama sama dari Toho studios.
Assassination Classroom / Ansastu Kyoshitsu adalah sajian satu dari sekian Live-action AniManga tahun 2015 kategori terbaik (Daftar lainnya:Ore Monogatari, Bakuman, Parasyte Part 2, Prison School, Anohana, & Attack On Titan: End of The World)
Posting Komentar