BADOET (2015)
Bayangkan anda dalam kondisi kehausan saat cuaca terik siang hari bolong. Niscaya segelas kecil air putih biasa akan terlihat begitu menggoda. Kehausan seperti itulah yang sedang saya dan penonton Indonesia umumnya rasakan terhadap film horor. Era keemasan horor esek-esek bermodal tetek dan pantat memang telah berakhir. Horor busuk yang digarap secara asal pun tak lagi mendominasi puncak Box Office. Tapi bukan berarti kekeringan telah usai. Karena bagi saya, masih sulit menemukan horor yang layak dikategorikan "bagus" atau setidaknya "memuaskan". Secara production value peningkatan sudah nampak secara general, tapi lain halnya dengan kualitas meski bukan berarti tidak ada sajian bagus sama sekali. Maka disaat materi promosi "Badoet" mulai dari trailer, poster, hingga still photo tampak sangat menjanjikan, saya seperti melihat segelas besar air dingin yang nampak menyegarkan.
Even from its setting, this movie already looks promising. Daripada bermegah-megah di rumah mewah, berjalan menyusuri hutan, atau memasuki rumah kosong tak berpenghuni, film ini mengambil tempat di sebuah rusun di pinggiran Jakarta. Lantai kotor, mesin cuci berkarat dan tembok penuh coretan jadi pemandangan yang mendominasi. Saya berharap sutradara Awi Suryadi lebih banyak mengeksplorasi tiap sudutnya, tapi apa yang tersaji sudah cukup membawa kesan tidak nyaman. Teror dimulai saat seorang bocah membawa pulang kotak musik dari sebuah pasar malam yang telah ditinggalkan. Dengan bantuan salah satu penghuni bernama Donald (Daniel Topan), kotak musik itu pun berhasil dibuka. Tapi tak ada yang menyangka bahwa kotak tersebut bagai kotak pandora yang mengeluarkan iblis dan teror kejahatan begitu segelnya terbuka. And yes, the terrors are scary and creepy as hell.
Sebenarnya "Badoet" bukan film yang sepenuhnya bagus. Lebih banyak sisi positif daripada negatif, tapi keburukannya merupakan hal vital yang tak jarang menodai kebaikannya. Tata artistiknya mengagumkan berkat pengemasan setting serta penampilan badut (Ronny P. Tjandra) yang mengerikan. Terdapat banyak momen minim pencahayaan, tapi bukan kegelapan berlebih yang justru membuat penonton kesulitan menikmati sajian di layar. Cahaya temaram menjadi senjata membangun atmosfer creepy, khususnya pada beberapa bagian yang bertempat di kediaman sang badut. Bahkan sedari opening credit saya sudah jatuh cinta hanya lewat visualisasi sederhana berlatar adegan sang badut sedang merias diri sambil diiringi suara kotak musik mencekam. Disaat mayoritas horor lokal lebih suka berlomba menghadirkan scoring sekeras mungkin dengan tujuan mengagetkan penonton (malah berakhir annoying), scoring "Badoet" berfokus pada pembangunan atmosfer. Suara kotak musik terdengar mengerikan, sedangkan dentuman musik elektro bertempo cepat (ex: klimaks dan ending) sukses memacu adrenaline. Caranya mengambil gambar juga bagus lewat beberapa pemakaian framing serta pergerakan kamera dinamis.
Faktor yang lebih penting dari keunggulan teknis di atas adalah kesuksesan "Badoet" memenuhi hakikatnya sebagai film horor. Selain melalui atmosfer, rasa takut juga hadir oleh teror yang ditebar si badut. Walau tidak jauh dari ranah "ghost story" dengan sedikit nuansa "slasher", yang membuat film ini mengerikan adalah fakta bahwa korban kekejaman badut merupakan anak-anak. Tercatat ada tiga kematian (satu off-screen) dengan masing-masing memberi efek kejut sekaligus seram. Hanya suatu deskripsi melalui dialog tentang kematian salah seorang anak pun terasa mengerikan, karena di pikiran saya serta merta timbul gambaran kematian anak kecil tersebut. All of those sequence are pretty disturbing. Awi Suryadi turut meminimalisir penggunaan jump scare yang sepanjang film bisa dihitung dengan jari. Minim secara kuantitas, tapi maksimal dalam kualitas, begitulah jump scare disini. Hal serupa juga terjadi pada porsi gore yang meski tidak banyak namun selalu menghadirkan kengerian tiap kali muncul.
Seperti yang sudah saya singgung, terdapat kelemahan yang sifatnya esensial hingga menurunkan kenikmatan menonton. Kelemahan itu terletak pada naskah dan pacing. Tentu naskah bukan pondasi terpenting film horor, tapi disaat film tersebut dipaparkan dengan serius, dalam arti bukan tontonan brainless yang disengaja bodoh, poin naskah jadi lebih berarti. Banyak dialog menggelikan muncul, dan sayangnya kebanyakan bagian menggelikan tersebut "diberikan" pada Daniel Topan (juga produser dan pengusung ide cerita). Sosoknya sebagai Donald memiliki potensi menjadi karakter likeable melihat "tampilan" seorang Daniel Topan, tapi secara akting dia kerepotan saat harus menangani adegan ekspresif, baik dengan atau tanpa dialog. "Badoet" juga masih menggunakan jalan keluar mudah berupa unsur supranatural untuk menjelaskan segala hal aneh yang terjadi. Tapi untuk yang satu ini saya bisa memaafkan.
Bicara pace, paruh awal film yang lambat tanpa kekuatan cerita mumpuni terasa agak membosankan. Awi Suryadi berusaha membuat badut miliknya seperti Michael Myers di film "Halloween" versi John Carpenter. Daripada langsung menebar teror, ia lebih dulu diam mengamati. Masalahnya tidak ada penceritaan mengikat saat itu, sehingga penonton lebih banyak ditunjukkan kekosongan. Untungnya Awi memilih menggunakan tease daripda annoying false alarm (teror palsu dimana hantu seperti hendak muncul tapi akhirnya tidak) untuk membangun intensitas di awal. Rendahnya intensitas itu coba dibayar lunas dalam third act yang memang menegangkan. Salah satu adegan favorit saya yang "diambil" dari "The Exorcist" juga ada di klimaksnya. Sayang, ketegangan tak pernah mencapai titik tertinggi. Saat klimaks masih bisa dipacu lebih kencang lagi, semuanya diakhiri. Alhasil, porsi sang titular character untuk menggila juga begitu minim. Padahal Ronny P. Tjandra telah memberikan akting mengesankan. Dia bukan sekedar monster "kosong" berkat nyawa yang disuntikkan sang aktor, sehingga kengeriannya berlipat ganda, tak hanya karena make-up.
Dibalik segala kekurangan tadi, "Badoet" berhasil sedikit mengobati rasa haus akan tontonan horor dalam negeri yang berkualitas, khususnya karena tahun ini kekeringan kualitas masih berlanjut. Salah satu aspek yang juga saya suka adalah dijadikannya anak kecil sebagai target sang badut. Berangkat dari situ, film ini dengan sempurna menyajikan ironi mengerikan ketika badut sebagai sumber tawa anak-anak justru dengan kejam mengambil nyawa mereka. As the titular character, Ronny P. Tjandra is one of the scariest clown I've ever seen in cinema, and the movie itself is the best Indonesian horror movie of the year so far.....which (unfortunately) isn't saying much. But it's really worth your time and money. Go watch it in cinema!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Jadi ingat Stephen King's IT.
Kalo dipikir-pikir bener juga yah, ane gak pernah denger lagi film horor esek-esek bermunculan. Kemana Nayato, KK Dheeraj dan kawan kawan? :v
Nayato tahun ini udah 6 fim loh, 4 horror tapi emang nggak ada yang esek2. Kalo om keke emang baru dua filem
Hehe emang, sama-sama serem tapi "jenis" badutnya beda
Wah, dah pada tobat :)
Bener emang sering kena tanggung di beberapa adegan yang harusnya keteganganya bisa lebih. pembangunan cerita yang lambat diawal bikin kita bertanya - tanya tapi sayang jawaban yang dikasih filmnya agak kurang wah. Emang kesannya penulis naskahnya main aman kurang eksplorasi. Tapi ini film horor indonesia yang beneran horor
Posting Komentar