TANGERINE (2015)
Film karya sutradara Sean S. Baker ini mencuri perhatian banyak pihak karena seluruh proses pengambilan gambarnya menggunakan iPhone 5s. Baker melakukan itu akibat keterbatasan bujet yang bahkan tidak cukup untuk sekedar memakai kamera DSLR. Berbekal iPhone milik sang sutradara, beberapa aplikasi video dan sebuah steadicam, terciptalah "Tangerine", film berbujet $100 ribu yang menghebohkan Sundance awal Januari lalu. Tentu mencuat pertanyaan "apakah teknik pengambilan gambar itu hanya gimmick semata?" Jawabannya tidak. Baker memang memaksimalkan iPhone untuk menciptakan pengalaman sinematik unik lewat visualnya, tapi dibalik itu ada petualangan memikat yang menelanjangi segala topeng kepalsuan dan menyibak kenyataan berbagai penghuni Los Angeles dengan setting malam Natal.
"Tangerine" adalah jenis film yang dibuka dengan hentakan, hingga membuat penonton terjerat semenjak detik pertama. Gambar yang dihasilkan langsung memamerkan keindahannya lewat warna-warna mencolok dan sedikit kesan tersendat pada pergerakannya. Tapi yang benar-benar mencuri perhatian saya adalah obrolan antara Sin-Dee Rella (Kitana Kiki Rodriguez) dan Alexandra (Mya Taylor), dua prostitusi transgender yang tengah duduk di sebuah cafe sambil menikmati sebuah donat yang dibagi untuk berdua. Mereka bicara dengan penuh antusiasme, tempo cepat, nada tinggi, dan berbagai umpatan. Pembicaraan kacau tapi adiktif bagi penonton. Sin-Dee yang baru saja menghabiskan masa tahanan di penjara selama 28 hari tersentak saat Alexandra memberi tahu bahwa pacar sekaligus gigolonya, Chester (James Ransone) telah berselingkuh selama Sin-Dee dipenjara. Semakin memuncak amarahnya mendengar Chester berselingkuh dengan "wanita sungguhan".
Apa yang terjadi berikutnya adalah petualangan liar Sin-Dee untuk mencari wanita tersebut. Kamera bergerak lincah dibantu editing cepat dan iringan musik elektronik menghentak adalah cara Baker membuka tirai pertunjukkan. Pengemasan itu sempurna mewakili karakter utamanya yang berjalan dan bicara penuh kepercayaan diri tanpa peduli pada dunia sekitar. Ini bukan melodrama tentang kesulitan hidup para transgender menghadapi dunia yang menyudutkan mereka. Sin-Dee jelas berasal dari kelas ekonomi bawah. Dia makan donat hasil berbagi dengan Alexandra, dan tidak mampu membayar sewa rumah. Semua itu bukan menjadi masalah baginya. Tapi disaat sang kekasih berselingkuh dengan wanita lain, itulah permasalahan. Sin-Dee mendatangi berbagai orang untuk menginterogasi mereka tentang keberadaan si wanita, berjalan melintasi kota bahkan menerobos subway. That's insane but also funny at the same time.
Dialog dalam naskah yang ditulis Sean S. Baker dan Chris Bergoch terdengar vulgar. Bukan vulgar semata-mata akibat banyaknya kata kasar, melainkan karena tidak ada satu hal pun yang ditutup-tutupi. Karakternya mengucapkan apa saja yang mereka mau sesuai dengan isi hati dan dengan cara semau mereka sendiri. Baik Sin-Dee maupun Alexandra adalah sosok nyata yang tak bersembunyi dalam topeng di tengah kepalsuan kota Los Angeles. Penggambaran karakternya bagai acungan jari tengah kepada anggapan miring banyak orang mengenai transgender yang dianggap palsu. Disaat bersamaan kepalsuan justru hadir dalam diri seorang supir taksi asal Armenia bernama Razmik (Karren Karagulian). Ketika beristirahat dari penatnya pekerjaan ia akan mencari prostitusi transgender untuk diajak "bersenang-senang". Saat secara tidak sengaja justru prostitusi wanita yang masuk ke taksinya, Razmik langsung murka. Dia pun menyimpan kekaguman lebih pada Sin-Dee. Semua itu dilakukan sembunyi-sembunyi karena Razmik telah mempunyai istri dan anak.
Kelantangan bertutur itu mampu meningkatkan daya tarik cerita yang sejatinya memiliki alur biasa saja. Selama 88 menit, "Tangerine" hanya ber-setting satu hari memperlihatkan pencarian Sin-Dee sambil sesekali berpindah fokus ke Razmik dan taksinya. Fokus tematiknya hanya dua hal, yakni identitas dan persahabatan. Begitu umum, tapi aspek visual dan cara bernarasi Baker membuat saya lupa tengah menonton cerita yang telah tersaji mungkin ribuan kali (bahkan lebih). Kitana Kiki Rodriguez dan Mya Taylor menjadi motor penggerak yang tak pernah kehabisan bahan bakar. Terdapat magnet dalam performa keduanya yang menarik saya dengan begitu kuat. Totalitas berisikan antusiasme serta kepercayaan diri tanpa harus mengubah karakternya menjadi komikal adalah senjatanya. Sebuah adegan saat Alexandra bernyanyi di cafe dengan Sin-Dee sebagai penonton menjadi momen terhangat. Baik nyanyian dan tatapan Alexandra maupun senyuman Sin-Dee disitu adalah ketulusan penuh rasa haru subtil saat dua sahabat saling berbagi perasaan tanpa perlu komunikasi verbal secara langsung.
Fakta bahwa kisahnya hanya berlangsung selama satu hari makin membuat filmnya spesial. Mengejutkan bagaimana satu hari yang singkat mampu memunculkan konflik beragam dalam hidup orang-orang. Tiap story arc tokohnya pun mampu menangkap sisi kultural berbeda-beda yang tumpah ruah di Los Angeles. "Tangerine" menutup semua permasalahan itu dengan konklusi yang sesungguhnya tidak spesial namun begitu sesuai menggambarkan pesan yang ingin disampaikan. Semua karakter mendapat permasalahan, namun hanya Sin-Dee dan Alexandra yang menyunggingkan senyum di akhir film. Kenapa? Karena mereka memiliki satu sama lain meski hidup dalam perekonomian tak seberapa. "Tangerine" isn't all about stylish visual or production gimmick. It's short yet powerful, funny, beautiful and unique cinematic experience laid on a foundation called simplicity.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Niat bener buat film pake IPhone, gak kebayang bikinnya gimana. Tapi hasilnya berbuah manis, dipuji-puji kritikus.
Bikinnya cuma satu iphone, satu steadicam, satu mic udah haha
Keren, memaksimalkan apa yang ada.
Film2nya magnolia emang low budget semua ya?
Magnolia emang lebih fokus ke distribusi film-film indie & dokumenter sih :)
Seneng baca-baca review movie di blog ini. :)
Wah, makasih ya :)
Posting Komentar