TRAINWRECK (2015)
Terdapat perbedaan mendasar antara "naskah bagus" dengan "naskah berkonsep bagus". Trainwreck yang ditulis oleh Amy Schumer termasuk yang kedua. Secara konseptual, menukar peran gender sebagai perwujudan feminisme adalah ide brilian, khususnya dalam ranah komedi romantis yang identik dengan plot dangkal. Tapi eksekusi hasil akhirnya tidak sebaik itu. Karakter utama yang bertugas menghantarkan tema tersebut adalah Amy (Amy Schumer), seorang wanita alkoholik, gemar menghisap ganja dan tidur dengan banyak pria meski tengah berpacaran dengan Steven (John Cena). Dalam seks ia berprinsip untuk menjadi pemegang kontrol terhadap para pria. Men are "head over heels" for her. Amy yang bekerja sebagai penulis untuk majalah lifestyle pun mencemooh sang adik, Kim (Brie Larson) atas pilihannya menikah dengan pria beranak satu.
Merupakan ide menarik kala Amy ditempatkan dalam posisi yang biasanya ditempati kaum adam. Dia menginginkan kebebasan dan bertindak seenaknya. Terlihat dari keengganan Amy menjalani monogami, suatu hal yang berasal dari pengaruh sang ayah saat ia masih kecil. Amy menjadi sosok superior dibanding para pria di sekitarnya. Dia juga membenci olahraga yang mana identik dengan maskulinitas. Menurutnya pemujaan terhadap olahragawan adalah bentuk kebodohan. Walaupun begitu, pacarnya adalah seorang gym-addict yang nampak bodoh meski penuh otot. Dan ia tunduk pada Amy. Semua itu cukup kuat sebagai penghantar pesan dalam naskah. Sekali lagi secara konseptual idenya brilian. Namun terdapat satu kekurangan, yakni dalam sosok Amy. Ya, hanya satu kekurangan, tapi disaat kekurangan itu hadir dalam diri karakter utama yang bertugas menyampaikan esensi film, nilai dari aspek lain ikut menurun.
Seperti judulnya, Amy adalah tokoh yang kacau. Kita pun tahu semua itu disebabkan oleh masa lalunya. Jadi sesungguhnya merupakan kewajaran jika hidupnya kacau. Menjelang akhir film, Amy berkata pada Kim bahwa sikap tak menyenangkan yang ia tunjukkan selama ini semata-mata akibat kecemburuan. Amy merasa hidupnya tidak berjalan baik, tidak bahagia. Tapi selama film berjalan (sebelum momen pengakuan itu) saya tidak sedikitpun mendapati tanda kecemburuan meski lewat momen subtle sekalipun. She's just being a bitch the whole time and I hate her very much. Amy jatuh sebagai karakter dua dimensi karena itu. Naskah Amy Schumer ingin membuat penonton bersimpati pada Amy hanya lewat pengakuannya menjelang akhir, tanpa memberikan tease terhadap sisi lain karakternya.
Secara konseptual Amy adalah karakter yang "kaya", tapi eksekusinya dangkal. Bukan salah Judd Apatow, karena naskahnya memang tidak memberi kesempatan sang sutradara untuk mengeksplorasi dimensi lain tokohnya. Tanpa rasa simpati, saya pun tidak bisa dihanyutkan oleh perjalanan karakter utama yang notabene merupakan sisi emosional film ini. Bahkan meski Amy Schumer telah memberikan penampilan terbaik dalam comedic timing maupun bagian dramatik. Romantsime tidak pula berhasil dibentuk dalam hubungan antara Amy dengan Aaron (Bill Hader) yang pada awalnya hanya bertindak selaku narasumber dari artikel tulisan Amy, walau lagi-lagi chemistry antara Amy Schumer dan Bill Hader terhampar jelas di layar.
Untungnya Trainwreck terselamatkan oleh bagian komedi, khususnya pada paruh pertama. Entah kapan terakhir kali sebuah komedi romantis mampu membuat saya terbahak-bahak, dan Trainwreck berhasil melakukan itu. Pada komedi pula kecerdasan naskah tidak hanya sampai pada batasan konsep berkat dialog cerdas nan hilarious. Hal itu turut didukung oleh kehebatan para cast menghantarkan lelucon. Amy Schumer, seperti yang telah saya sebutkan punya comedic timing sempurna. Tapi secara mengejutkan bintang paling bersinar adalah John Cena. Pelontaran lelucon dalam tiap dialognya membuat saya percaya bahwa Steven memang orang bodoh. Tapi Cena tidak lantas melakukannya secara berlebihan. Dia hanya memaparkan semuanya dengan kesungguhan yang believable. Steven adalah pria berotot tapi bagai tak berotak. Namun faktanya dia memiliki hati yang lembut. Kesan itu berkorelasi bersama pesan filmnya tentang image olahragawan dengan segala sisi maskulinitas mereka. John Cena mampu menjadi screen stealer (adegan di bioskop jadi yang terbaik) dan patut disayangkan porsinya cukup minim.
Judd Apatow terbukti masih mampu merangkum komedi dengan efektif, tapi disaat bersamaan ketidakmampuan mengkombinasi drama bersama komedi kembali jadi kelemahan. Seperti karya-karyanya sebelum ini, Trainwreck punya durasi kelewat panjang (dua jam lebih). Apatow terlalu banyak berlama-lama mengeksplorasi drama tanpa pernah berhasil memberikan kedalaman signifikan. Tidak hanya berjalan lama secara durasi, alur pun menjadi tidak dinamis. Perlahan daya tarik film ini semakin memudar. Mungkin ini saatnya ia sadar bahwa kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas. Bagaimana Apatow mengemas konklusinya pun terlihat malas. Tentu mayoritas penonton sudah bisa menebak akan akhir klise yang ditawarkan, namun bukan berarti pemaparannya juga klise. Adegan tarian merupakan salah satu bentuk kemalasan seorang sutradara demi menyajikan suasana bahagia. Hal itu memang lebih mudah dilakukan daripada kemasan sederhana tapi emosional, namun bukan berarti lebih efektif menghantarkan rasa. "Trainwreck" is a big waste of many potentials, in both comedy and dramatic storytelling. It has some funny moments, though.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Jujur saya makin lama makin suka sama aktingnya john cena semoga perannya d film makin banyak dan bisa jadi aktor besar kaya dwayne johmson(the rock) dan dave batista.
Asal dapet sutradara yang tahu potensi dia, Cena bisa bagus. Kita tunggu aja aktingnya di "Sisters"
tilda swinton di trainwreck lebih mirip ibu-ibu umur 40 thunan dripada perannya di grand budapest hotel :v hampir g gw kenali
Tilda Swinton emang bunglon :)
Posting Komentar