SPECTRE (2015)
Ada hype begitu besar mengiringi perilisan Spectre. Sebuah kewajaran mengingat statusnya sebagai follow-up dari Skyfall yang disebut banyak pihak sebagai film Bond terbaik sepanjang masa. Sam Mendes kembali sebagai sutradara dan tentu saja Daniel Craig masih melanjutkan peran menjadi James Bond. Tapi faktor antusiasme terbesar publik adalah kembalinya orgaisasi legendaris Spectre yang terakhir muncul pada Diamonds Are Forever (1971). Petualangan James Bond memang tak bisa dilepaskan dari Spectre, khususnya sang pemimpin, Ernst Stavro Blofeld. Bond-Blofeld sudah ibarat Holmes-Moriarty atau Batman-Joker. Musuh bebuyutan yang sesungguhnya saling membutuhkan eksistensi satu sama lain. Beberapa aspek di atas membuat Spectre dicap sebagai "soon-to-be-the-best-Bond-movie-ever". Ekspektasi setinggi langit akhirnya menjadi bumerang. Begitu dirilis Spectre bernasib sama dengan Quantum of Solace yang dianggap sangat buruk akibat gagal menyamai pencapaian film sebelumnya.
Filmnya dibuka dengan parade perayaan Day of the Dead di Meksiko kala masyarakat memakai kostum hantu (khususnya tengkorak) seperti Halloween. Begitu pula dengan Bond yang menghias setelannya dengan ornamen tengkorak plus sebuah topeng. Penampilan ini mengingatkan pada Bond era-Roger Moore yang tidak segan menanggalkan sisi necis dengan memakai kostum badut. Sam Mendes memang tampak meniati ini sebagai tribute. Bahkan keseluruhan Spectre boleh dibilang merupakan usaha menginjeksi versi Craig dengan unsur bersenang-senang yang lekat dengan Roger Moore. Sentuhan humor lebih kental dimana Bond juga beberapa kali melontarkan one-liner. Tapi seperti kostum tengkorak tadi, Sam Mendes mampu menyesuaikan sisi ringan termasuk tribute supaya tetap sesuai dengan era-Craig yang lebih gritty. Spectre tidak sampai berubah menjadi Octopussy misalkan.
Keseluruhan kisah masih melanjutkan apa yang ditinggalkan Skyfall. Organisasi MI6 tengah berada dalam krisis, di-merger dengan MI5 dan program "00 agent" hendak dihapuskan. Sedangkan Bond sendiri tengah berusaha mengungkap misteri masa lalunya sambil menyelesaikan misi tidak resmi dari mendiang M (Judi Dench). Semua itu ia lakukan tanpa sepengetahuan M baru (Ralph Fiennes) dan seringkali menghasilkan aftermath yang makin menyudutkan MI6. Penelusuran Bond bersama Dr. Swann (Lea Seydoux), puteri dari Mr. White (Jesper Christensen) membawanya kepada sebuah organisasi misterius bernama Spectre yang ditengarai mengendalikan semuanya dari belakang. Organisasi ini dipimpin oleh Franz Oberhauser (Christoph Waltz) yang juga memiliki kaitan masa lalu dengan Bond. Kecuali anda orang yang sangat polos atau buta sama sekali dengan mitologi Bond, tentu anda tahu siapa sebenarnya Oberhauser ini.
Like I said, the best thing about "Spectre" is how Sam Mendes managed to perfectly combine the funny aspects from previous era with the new Bond's gritty image. Rutinitas Bond melapor ke M, lalu berinteraksi dengan Moneypenny hingga mengambil peralatan canggih di laboratirum Q kembali dipertunjukkan dengan sedikit modifikasi sebagai bentuk penyesuaian. Filmnya ringan berkat sentuhan humor efektif, khususnya dari one-liner Bond serta interaksinya dengan Q. Adegan aksinya pun lebih bombastis hingga cukup banyak menanggalkan realisme yang diusung film-film sebelumnya. Daripada ber-parkour menyeberangi atap gedung, Bond memilih mengejar para henchmen dengan helikopter. Mendes terbukti mampu menangani aksi berskala besar. Adegan aksi pembuka yang menampilkan "free style" helikopter begitu menegangkan, meski penggunaan shaky cam kadang mengganggu. Bahkan opening sequence-nya meski masih gloomy, menyuntikkan kadar sensualitas lebih. There's a tentacle there if you know what I mean.
Ditengah-tengah aski bombastis, tentunya drama mengenai sisi personal Bond tetap hadir. Disinilah titik lemah esensial dari Spectre. Ceritanya dimaksudkan untuk menyatukan kepingan puzzle yang disebar sejak Casino Royale. Bond punya masa lalu kelam dan hal itu seharusnya berkulminasi disini. Apalagi saat ia mengetahui siapa sebenarnya Franz Oberhauser dan bagaimana ia berperan dalam banyak tragedi dalam hidup Bond selama ini. Tapi naskahnya kurang berhasil memaksimalkan potensi emosi yang ada. Beberapa bagian memang memunculkan nuansa tragis, tapi semestinya dampak yang hadir pada emosi penonton lebih besar. Daripada eksplorasi untuk memperdalam, naskahnya hanya memunculkan trivia demi trivia untuk sekedar membuat penonton tahu tanpa ikut merasakan. Hal ini ikut dipicu oleh keberadaan subplot mengenai konflik MI6 dengan pihak Joint Intelligent Service yang dipimpin C (Andrew Scott). Selipan isu surveillance memang relevan dengan kondisi saat ini, tapi film Bond harusnya mampu membawa konflik tersebut ke ranah yang lebih "spektakuler". Fokus pun terpecah dan berujung pada dangkalnya pendalaman cerita.
Kegagalan memaksimalkan potensi cerita membuat peralihan antara aksi dan drama begitu timpang. Saat adegan aksi hadir, disitulah Spectre menjadi tontonan mengasyikkan. Tapi begitu drama mengambil alih, intensitas langsung menurun drastis. Hal itu selalu terjadi dari awal hingga akhir, bagaikan ada predictable pattern dalam kombinasi aksi dan drama. Sam Mendes sebenarnya telah melakukan upaya terbaik dalam membangun atmosfer. Kemunculan pertama Obenhauser yang sunyi dan minim pencahayaan digunakan untuk memberi kesan mengerikan, tapi justru berakhir membosankan. Begitu pula momen-momen lain yang alih-alih gripping malah terasa dragging.
Christoph Waltz sebagai villain utama berhasil menguatkan kesan bahwa Blofeld (sorry, I can't resist to revealing this obvious twist) adalah sosok keji yang hanya menganggap nyawa manusia sebagai mainan. Tapi performa Waltz diturunkan nilainya oleh kekurangan pada naskah hingga membuat sosok ikonik Blofeld tak ubahnya penjahat biasa yang tidak mumpuni. Sedangkan Dave Bautista jelas sempurna sebagai henchmen dengan kemampuan fisik jauh di atas Bond. Last but not least, ada Bond Girls yang diisi oleh Monica Bellucci dan Lea Seydoux. Bellucci dalam kapasitas glorious cameo tak mengecewakan, tapi sang aktris seharusnya sudah di-cast sebagai Bond Girls bertahun-tahun lalu saat masih lebih muda. Sex appeal milik Lea Seydoux (sayangnya) tidak akan dieksploitasi seperti perannya di Blue is the Warmest Color. Kemampuan aktingnya pun disia-siakan. Tapi sebagai eye candy, saya cukup terhibur.
Kekurangan pada segi cerita patut disayangkan, karena lewat film inilah kisah Bond versi Craig akhirnya bisa dilengkapi. Segala konflik hingga resolusi yang ditawarkan sejatinya sudah sempurna untuk menjadi satu kesatuan utuh. Mungkin ini bukan kali terakhir Daniel Craig bermain sebagai Bond, karena kontraknya masih menyisakan satu film lagi. Tapi ditinjau dari story arc dan mengesampingkan beberapa kekurangan di atas, Spectre adalah "perpisahan" yang sesuai sekaligus mampu memberi hiburan menyenangkan, walau jika harus dibandingkan masih berada di bawah Skyfall.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:ok,...jadi pingin nonton ...:D
Nah nek seumuranmu sing tontonane Bond Roger Moore & Sean Connery bakal seneng mas hehe
Kecewa banget sih sama Spectre. Kirain bakal lebih keren dari Skyfall, ternyata malah jadi the worst movie of James Bond for me. Dari awal ke pertengahan udah bagus sebenernya, tapi pas mulai akhir-akhirnya jelek. Apalagi pas bagian dia berusaha untuk nemuin Dr. Swann, itu kayak gak mungkin banget hahaha. I’ll give 2 out of 5!
Itu asiknya Bond, setiap orang punya preferensi masing-masing tentang 007 ideal mereka. Buat saya, the worst Bond ya "Die Another Day" :)
Posting Komentar