SNOWDEN (2016)
Terkadang suatu film gagal mencapai potensi maksimal bukan seutuhnya disebabkan oleh keburukan film itu sendiri. Beberapa faktor eksternal termasuk timing perilisan yang berkaitan dengan urgensi pembuatan dapat berpengaruh besar. "Snowden" bisa saja menjadi biopic unik bahkan sensasional berisi konspirasi tingkat tinggi mengenai global surveillance sebagaimana kerap menghiasi blockbuster. It can blow the audience's mind with its stranger-than-fiction-tale. Sayang, dua tahun lalu kita sudah disuguhi dokumenter pemenang Oscar, "Citizenfour" yang terlebih dahulu mengungkap fakta-fakta mengejutkan temuan Edward Snowden, belum lagi bermacam sumber pemberitaan media.
Oliver Stone bersama Kieran Fitzgerald selaku penulis naskah paham jika mereka butuh menyuguhkan hal baru, karenanya alur "Snowden" dikemas maju-mundur. Alur pertama sekaligus gerbang pembuka bertempat pada Juni 2013 saat Snowden (Joseph Gordon-Levitt) bertemu dengan sineas dokumenter Laura Poitras (sutradara "Citizenfour", diperankan Melissa Leo) dan wartawan The Guardian, Glenn Greenwald (Zachary Quinto) di sebuah hotel di Hong Kong guna menyerahkan seluruh berkas rahasia milik CIA dan NSA. Kejadian ini sendiri merupakan plot milik "Citizenfour".
Alur kedua menyoroti awal mula Snowden berkenalan dengan dunia intel, dimulai dari tahun 2004 saat ia baru memulai karirnya di satuan khusus angkatan bersenjata Amerika Serikat. Di sinilah pembeda itu terletak, ketika film ini berniat menggali sisi personal Ed Snowden beserta masa lalunya demi menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti "kenapa CIA dan NSA sampai memberi posisi krusial pada Snowden?" atau "apa yang mendorong Snowden membocorkan segala rahasia?". Mengenai poin-poin tersebut, Stone dan Fitzgerald telah menuturkan wawasan memadahi bagi penonton.
Kita melihat kejeniusan Ed Snowden yang mampu menyelesaikan tugas sang mentor, Corbin O'Brian (Rhys Ifans) dalam waktu 38 menit, jauh lebih cepat dari rata-rata (5 jam). Begitu pula transformasinya dari seorang konservatif yang dengan mantap meyakini bahwa Amerika Serikat merupakan negara terhebat di dunia menjadi dirundung keraguan ditunjukkan lewat dua sesi tes kebohongan. Penonton dibuat mengetahui fakta-fakta itu, namun Stone lalai bahwa pengetahuan saja tidak cukup. Karena pengetahuan bisa didapat dari sumber lain termasuk media di internet, tapi tidak dengan ikatan emosional atau kesan thought provoking, dua poin yang jadi kekuatan sinema namun tidak dimiliki "Snowden".
Ada dua tipe biopic berkualitas mengenai sosok jenius yang telah dikenal luas oleh publik; "The Theory of Everything" dan "Steve Jobs". Judul pertama mengetengahkan kehidupan personal subjek, menelusuri kisah percintaannya, sedang judul kedua adalah talky movie didominasi dialog teknikal tanpa lupa mengolah kepribadian karakter. "Snowden" bisa menjadi salah satu dari keduanya, tapi Stone begitu ambisius, ingin merangkum semua yang justru berujung tidak maksimalnya penceritaan. Romantika Snowden dengan Lindsay (Shailene Woodley) hadir seadanya, di mana Lindsay hanya I-will-always-support-you type of wife. Padahal akting Woodley mampu membuat tokohnya "naik kelas", ada cengkeraman emosi dalam tiap penghantaran kalimat. Pertemuan pertama mereka pun jadi momen manis yang mampu memancing senyum.
Istilah-istilah asing bertebaran dan bukan kekurangan karena sesuai kebutuhan. Anda tidak bisa membuat film tentang sosok penting dunia surveillance lalu melucuti tetek bengek teknisnya. Menjadi poin minus saat Stone terlalu banyak menghabiskan durasi pada perbincangan tak subtansial, lupa memantik pemikiran penonton. Snowden adalah whistleblower yang di kehidupan nyata memancing pro-kontra. Stone memihak Ed, kentara dari usahanya menggiring persepsi bahwa tindakan NSA dan CIA sudah kelewat batas lewat visualisasi pengeboman memakai drone hingga statistik surveillance. Namun Stone kurang provokatif, bermain aman tanpa menggugat, membebaskan penonton mengambil sikap layaknya film observatif. Masalahnya, sebagai observasi netral, filmnya terlampau berpihak dan penonton tidak diberi alasan meragukan keputusan Snowden.
Tatkala "Snowden" terasa gamang bertutur, tidak demikian dengan performa Joseph Gordon-Levitt. Aktingnya mantap, utuh bertransformasi menjadi Edward Snowden khususnya lewat warna suara. Gordon-Levitt mungkin tidak memamerkan akting emosional berintensitas tinggi (membuatnya sulit dilirik Oscar), tapi curahan kecemasan melalui tatapan penuh ketegangan hingga gerakan-gerakan kecil menjadikannya meyakinkan. Sewaktu Edward Snowden yang asli muncul di akhir film, akan sulit menemukan perbedaan di antara mereka.
Stone sejatinya sukses membuat "Snowden" sebagai film yang good looking. Bermodalkan sinematografi arahan Anthony Dod Mantle, filmnya bersinergi dengan seluk beluk dunia teknologi lewat sederet visualisasi modern memikat mata seperti penggambaran saat Snowden harus mengawasi ribuan orang dalam sehari, sampai pembicaraannya dengan Corbin melalui layar besar di paruh akhir yang seperti berasal dari film thriller fiksi kala sang villain tengah menyatakan ancamannya. Momen ketika Snowden berusaha mengambil data di markas NSA lalu caranya kabur memanfaatkan rubik pun tersaji solid, hanya saja nihil ketegangan karena saya tahu bagaimana output situasi tersebut. "Snowden" bakal bekerja lebih baik di mata penonton yang sama sekali buta dengan subjeknya, di luar itu hanya bagai pelengkap untuk "Citizenfour".
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Bukan karya yg "wah" dari Oliver Stone yg suka mengangkat topik2 kontroversial ke dalam filmnya dan menjadikannya tontonan menarik dan menghibur. Tapi ini filmnya yg bagus sejak JFK menurutku. Aktingnya JGL emang keren disini...
Yap, IMO film Stone pasca JFK yang oke cuma Natural Born Killers & Nixon (plus Snowden)
Pas nonton Citizenfour, jujur ngeliat Snowden yg asli saya sempat berpikir kalo ada biopicnya, Levit kayaknya cocok meranin Snowden. Eh pas memang ada biopic, cukup surprise kalo Levit beneran yang meranin Snowden..:D
Posting Komentar