SUNYA (2016)
Mengambil inspirasi dari cerpen "Jimat Sero" karya Eka Kurniawan menjadi co-writer bersama Harry Dagoe Suharyadi sang sutradara "Sunya" mungkin merupakan film lokal paling segmented yang rilis di bioskop tahun ini. Begitu film usai, saya sempat mencuri dengar ungkapan kekesalan seorang perempuan kepada pacarnya. Dia berujar "apaan coba? Nggak jelas maksud filmnya apa!" Saya amat maklum. Berjalan dalam tempo lambat, didominasi gambar statis berhiaskan kesunyian, serta gaya surealisme, "Sunya" mengingatkan pada kemistisan karya-karya Apichatpong Weerasethakul lengkap dengan setting perkampungan dan hutan lebat yang bakal membosankan bagi penonton mainstream.
Satu poin penting demi mendapat kepuasan dari film ini adalah fokus. Jangan lepaskan atensi anda. Perhatikan segala detail presentasi visual; kejadian, identitas tokoh, sampai tiap perbuatan mereka. Karena sejatinya Harry Dagoe Suharyadi cukup "berbaik hati" mengungkap jawaban atas serangkaian tanya. Semua sudah ditebar, tinggal bagaimana penonton menyusun keping-keping puzzle tersebut sembari menginterpretasi. Pola narasi tersebut menciptakan kesulitan bagi saya untuk menuliskan sinopsis, kecuali bahwa "Sunya" berkisah mengenai Bejo (Erlandho Saputra) yang pulang kampung karena sang nenek yang telah lanjut usia sakit parah tanpa alasan medis jelas. Ditengarai penyakit tersebut disebabkan oleh praktik perdukunan serta jimat milik sang nenek.
Kemudian alurnya bolak-balik melompat antara masa kini dan masa lalu, saat Bejo kecil (Satria Qolbun Salim) masih duduk di bangku SD dan kerap bertemu gadis cilik misterius di hutan saat tengah berjalan menuju sekolah. Naskahnya solid menalikan alur non-linier, sehingga walau bergerak acak tetap ada ikatan saling berkesinambungan. Harry Dagoe dan Eka Kurniawan cermat menentukan timing kapan melemparkan misteri dan kapan harus memberi jawaban. Saat kiranya kebingungan mulai memuncak, jawaban langsung dipaparkan. Tentu jawaban tersebut masih berbalut surealisme, sebagai rangsangan stimulus supaya otak kita tetap bekerja, namun cukup sebagai pencerahan supaya penonton memiliki pegangan, tidak sepenuhnya tersesat di dunia mistis "Sunya". Artinya film ini menghargai penonton, enggan sekedar menyuapi, tidak pula berusaha keras menebar kebingungan.
Kepintaran naskah kembali nampak lewat caranya merangkum kisah mengenai kepercayaan masyarakat Indonesia dalam hal ini Jawa terhadap unsur klenik. Sentuhan mistisnya bukan gimmick, melainkan punya substansi demi menggali sisi-sisi kehidupan Bejo. Bagaimana ia tumbuh dewasa, bagaimana hal itu berpengaruh pada tiap sendi kehidupannya mulai percintaan, karir, hingga hubungan dengan orang tua. Harry Dagoe dan Eka Kurniawan mampu mempertemukan berbagai poin tersebut, mengaitkannya dalam satu benang merah berupa budaya klenik. Selipan kisah para koruptor memang agak dipaksakan masuk, tapi tak sampai merusak fokus. Bahkan cukup menggelitik saat Ronny P. Tjandra tampil dengan kostum dan riasan tikus ala kadarnya.
Terdapat kelemahan pada tata visual. Kurangnya kualitas CGI memang bisa dimaklumi mengingat keterbatasan bujet, namun aspek coloring-nya sering mengganggu. Harry Dagoe Suharyadi (juga selaku sinematografer) kerap memakai unnatural filter yang justru mengganggu, sebab "Sunya" merupakan film yang dekat baik esensi cerita juga setting dengan alam. Kesan tidak natural pada akhirnya bak "mengkhianati" substansi film itu sendiri, walau untuk beberapa bagian semisal pengemasan sosok buto (raksasa), efek serupa justru cocok membangun nuansa aneh out of this world.
Melalui "Sunya", Harry Dagoe Suharyadi membangun dunia misterius penuh aura mistis sekaligus puitis bermodalkan bahasa visual. Bukan saja solid membangun atmosfer lewat kesunyian hutan yang terbentang luas beberapa kali memakai landscape dengan karakter mengisi sebagian kecil frame saja, bak menyiratkan kerdilnya manusia di tengah kuasa alam Harry juga kaya akan kreatifitas imaji guna menjalin simbol bermacam situasi. Absurditas semisal Bejo kecil mengurung peri-peri hutan dalam sekantong tas atau tarian Jawa sebagai representasi praktik perdukunan hingga aktivitas seksual jadi presentasi estetis yang "menyembunyikan" kebenaran horror di balik kehidupan Bejo. "Sunya" adalah surealisme yang memperhatikan substansi. Sederet metafora estetis pula pace lambat (namun cermat) esensial bagi cerita dan suasana, bukan bentuk kepongahan "sok artsy".
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Bang udah baca cerpennya kah sebelum nonton ? Cerpennya critanya lebih ganjil lg dan filmnya seperti jawaban dr keganjilan di cerpennya.kalo saya justru suka unnatural filternya sih jd ngebangun suasana bahwa itu didunia lain yg agak ganggu justru perubahan tone gambar yg berubah2 drastis pdhl masih disatu tempat. Makin berwarna nih perfilman Indonesia ada model film kayak gini
Udah baca setelah nonton, dan emang berasa saling melengkapi :)
Alur non linearnya bikin ketagihan, tapi nuansa mistisnya bikin bergidik.. nonton sendirian di dalam bioskop bikin suasana gak nyaman buat saya.. sungguh sebuah film yang cerdas bercerita dan mempengaruhi psikologis penonton.. termasuk pacarnya yang komplain itu.. hihihi
Bener, buat penonton yang suka, film ini emang adiktif
Filmnya gak ada di kota saya neh
... Kalau diputar mungkin cuma saya dan segelintir orang yang nonton ....
Cuma di beberapa kota sih, dan di beberapa kota itu banyak yang cuma bertahan sehari
Ada yang tau bisa lihat filmnya dimana?
Posting Komentar