IBU MAAFKAN AKU (2016)
Setelah "Aku Ingin Ibu Pulang" dan "Sabtu Bersama Bapak", kini muncul "Ibu Maafkan Aku". Hubungan antara orang tua dengan anak memang sasaran empuk untuk dieksploitasi sebagai drama penguras air mata. Tapi berbekal sensitivitas tutur serta kuatnya pemahaman tentang hubungan ibu-anak sehingga terjalin kedekatan dengan penonton debut penyutradaraan Amin Ishaq (juga menulis naskahnya bersama Henny Surya) ini tak berakhir sebagai tearjerker murahan yang berlebihan memeras kesedihan atau tragedi.
Sosok Ibu ada judul film adalah Hartini (Christine Hakim) yang sendirian menghidupi tiga anaknya sebagai pemecah batu setelah suaminya (Herdin Hidayat) meninggal dunia. Beberapa menit awal digunakan naskahnya sebagai pondasi bagi dinamika keluarga protagonis. Tokoh ayah adalah tipikal orang tua bijak yang banyak diberikan dialog bersifat wejangan. Begitu banyaknya, ia nyaris terdengar seperti mesin penghasil kalimat mutiara. Pernyataannya tentang seorang ayah merupakan pilot bagi keluarga dan kebebasan menggantungkan cita-cita tinggi mempengaruhi dua anak tertuanya, Banyu (Ade Firman Hakim) dan Gendis (Meriza Febriani) tumbuh.
Banyu dan Gendis sama-sama tekun belajar demi mengejar impian mereka. Banyu ingin menjadi pilot sedangkan Gendis dokter. Bedanya, Banyu teramat kaku dan keras bersikap. Merasa menggantikan posisi ayah selaku kepala keluarga, ia mengatur tiap perbuatan Gendis, termasuk melarang sang adik berpacaran, karena menurutnya pacaran hanya bakal mengganggu belajar, menghancurkan cita-cita. Di sisi lain, Hartini terus bersabar menghadapi pertengkaran keduanya, dan selalu bekerja keras mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, pantang menyerah walau matanya terluka cukup parah akibat terkena pecahan batu.
"Ibu Maafkan Aku" menawarkan konflik berskala kecil seputar keluarga Hartini. Sederhana, namun menyimpan observasi cukup mendalam. Banyak sisi yang familiar dengan keseharian suatu keluarga berhasil dieksplorasi Henny Surya dan Amin Ishaq dalam naskahnya. Kita pernah melihat atau bahkan mengalami sendiri gejolak dilematis antara pendidikan dan percintaan sampai keegoisan anak mengejar mimpi tanpa ingat perjuangan seorang ibu. Bahkan sempat tersirat curahan personal penulis naskahnya tentang ibu yang lebih terikat (bukan berarti lebih sayang) pada putera sulungnya. Bagi penonton yang tak pernah mengalami situasi serupa bakal merasa adegan Hartini menanggapi dingin kelulusan Gendis sebagai dampak kegamangan hati semata.
Sayang tidak semua sisi terjalin solid. Romansa Gendis jadi titik terlemah akibat dialog cheesy yang tidak sesuai dengan kesederhanaan tutur film. "Ibu Maafkan Aku" juga enggan menyelami kompleksitas konflik kala Gendis dan Banyu telah sukses, lalu jarang meluangkan waktu bagi sang ibu. Film ini bak menyalahkan mereka, padahal situasinya lebih rumit mengingat pilot dan dokter bukan profesi dengan setumpuk waktu senggang. Pada suatu dialog disebutkan selama setahun belakangan Gendis tak sempat pulang. Bukankah berarti tahun-tahun sebelumnya ia sempat? Ketiadaan adegan kepulangan Gendis otomatis menggiring penonton pada persepsi bahwa ia tidak sekalipun menjenguk ibunya. Permasalahan ini tak dapat dituturkan sedangkal itu, terlebih begitu saja menempatkan Banyu dan Gendis sebagai anak pintar tapi tak peduli, berkebalikan dengan Tri (Marcellino Adenan) si putera bungsu yang bodoh (tinggal kelas) namun amat menyayangi ibunya.
Punya sensitivitas dalam bertutur Amin Ishaq tidak berlebihan mendramatisir kisah, menolak mengeksploitasi kesedihan. Momen pilu dikemas kental suasana lembut, layaknya curhatan lirih seorang ibu. Beberapa kali pembicaraan hati ke hati antar karakter tersaji sunyi, sekedar berhiaskan suara ambient malam hari tanpa musik mendayu nan mengharu biru. Scoring garapan Andi Rianto sesekali masuk menemani pengadeganan hanya bila dirasa perlu.
Christine Hakim tak perlu banyak melontarkan kata. Berbicara melalui ekspresi, kasih sayang, rindu, sakit dan pilu total tersampaikan. Fisiknya sangat lemah, namun semangat dan cintanya lebih kokoh dari batu yang tiap hari ia pecakan. Sosok ibu dalam film ini lebih sering ditempatkan sebagai observer terhadap permasalahan keluarga. Hartini tak sering menginterupsi langsung apalagi memarahi. Sekalinya mengkonfrontasi, sebaris nasihat lembut pada Banyu untuk tak terlalu keras pada Gendis yang terucap. Penonton yang pernah hidup terpisah dari ibu pun akan merasa terikat mendengar rekaman suara Hartini menjelang akhir kala menanyakan kabar anaknya dan kapan mereka pulang sembari mengingatkan supaya jangan meninggalkan solat. Demikian seorang ibu, penuh sumbangsih, jasa besar yang mungkin bakal terlupakan sehingga kala suatu hari anaknya tersadar, terungkaplah kalimat "Ibu, maafkan aku".
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:seriusan deh, perihal perfilman indo mengenai poster film harus mulai diperhatikan secara serius
Ya, poster film ini memang potensi bikin calon penonton nggak selera, padahal filmnya bagus
Sangat setuju
Luarbiasa keren 😨😢
Posting Komentar