JOGJA-NETPAC ASIAN FILM FESTIVAL - TURAH (2016)

15 komentar
Kita menjadikan film sebagai escapism. Ledakan bombastis, aksi pahlawan super hingga romantika penuh kesempurnaan jadi alat pelarian dari kepenatan hidup sehari-hari. Tapi di sisi berlawanan, film memiliki fungsi lain yakni jendela bagi penonton guna menilik realita, entah yang biasa ditemui, terlupakan atau memang jarang diungkap ke permukaan. "Turah" selaku karya debut sutradara/penulis naskah Wicaksono Wisnu Legowo menyuguhkan fungsi kedua, tepatnya menuturkan kisah hidup warga sebuah kampung yang berdiri di atas tanah timbul di Tegal bernama Kampung Tirang. Jangankan masyarakat luas, warga Tegal pun banyak yang tak tahu keberadaan kampung tersebut.

Judulnya merujuk pada nama protagonis, Turah (Ubaidillah), yang seperti penduduk Kampung Tirang lain adalah orang miskin dan mencari nafkah sebagai bawahan Darso (Yono Daryono) juragan setempat. Turah diposisikan menjadi jembatan antara penonton dengan penghuni kampung lain, ada Kanti (Narti Diono), istri Turah yang enggan memiliki anak, Kandar (Bontot Sukandar) si pengurus kambing, Pakel (Rudi Iteng) tangan kanan Darso, Sulis (Siti Khalimatus Sadiyah) gadis cilik yang sendirian merawat neneknya, hingga Jadag (Slamet Ambari) yang doyan mabuk, berjudi, dan main perempuan. Wisnu cermat menggerakkan alur, mengajak mampir ke tiap rumah secara bergiliran (konon hanya ada 10 keluarga di sana), menciptakan pemahaman menyeluruh akan kondisi serta dinamika sosial latarnya bagi penonton.
Jadag beserta emosi meluap-luap dan ambisinya melawan Darso memang mendominasi, bahkan punya peranan lebih ketimbang tokoh utamanya sendiri (poin minus filmnya), tapi bukan berarti keberadaan Turah tidak signifikan. Selain menjembatani penonton dan film, Turah yang digambarkan baik hati dan penyabar merupakan hati bagi film ini. Di tengah kemiskinan, kerap ditemukannya mayat selaku penguat beratnya kehidupan penduduk (di suatu adegan miris nan creepy Turah menemukan mayat busuk bayi tengah mengambang), sampai dominasi amarah tanpa henti Jadag, Turah bak penyeimbang, angin segar yang membuatnya tidak nampak terlampau suci. Rasa peduli kepada sang tokoh pun mudah tercipta.

Teknik sinematiknya tanpa gimmick, tapi sang sutradara yang berasal dari Tegal kentara punya pemahaman mendalam soal kehidupan juga kultural setempat. Alhasil bagi saya yang sempat tinggal tak jauh dari perkampungan miskin dengan bahasa Jawa ngapak sebagai logat merasa familiar dengan suguhan di layar. Bagaimana pola pikir mereka dalam menyikapi situasi  seperti saat Jadag mempertanyakan mengapa tidak naik jabatan walau sudah bekerja selama belasan tahun  pula kondisi ketika terjalin interaksi termasuk pertengkaran, semua tampak nyata, dikemas dalam realisme tinggi bermodal kedekatan plus kecintaan sineas akan objek penceritaan.
Para aktor berperan besar atas terciptanya realita. Contohnya pertengkaran Jadag dengan istrinya, Rum (Cartiwi). Totalitas ekspresi dan sumpah serapah Slamet Ambari ditambah luapan emosi serta "tantangan" Cartiwi agar sang suami membunuhnya lah alasan mengapa momen tersebut begitu intens, seolah saya tengah menyaksikan langsung sebuah pertengkaran dahsyat suami-istri. Obrolan Jadag dan Turah pun selalu menghadirkan tontonan menarik berupa barter dialog yang saling melengkapi antar dua pembawaan berbeda. Slamet berapi-api, sedangkan Ubaidillah penuh ketenangan menghanyutkan. 

Deretan cast-nya merupakan aktor teater. Wisnu tidak menyia-nyiakan fakta ini, merangkum beberapa obrolan dalam satu take panjang tanpa putus layaknya pertunjukan panggung. Konteks adegan berupa obrolan masyarakat kelas bawah di tempat kerja atau rumah pun memang cukup identik dengan panggung teater. Para aktor piawai menangani gaya pengadeganan tersebut, bersenjatakan emosi konsisten nan kontinu, dinamika pun hidup. Semakin dinamis tatkala Wisnu tak lupa menyuntikkan humor, mengerti bahwa pendekatan realis memerlukan kejenakaan, sebab di antara beratnya kehidupan dunia nyata canda tawa tetap sesekali menyeruak hadir. Gerakan kamera dan kebocoran suara yang disengaja selaku momen penutup membaurkan fiksi film dengan dunia nyata, seolah menyatakan bahwa apa yang penonton saksikan adalah realita. 

15 komentar :

Comment Page:
Tommy Sulaiman mengatakan...

Wooaw nearly 5 star! Harus nonton sepertinya nih. Di jakarta bakal tayang gak?

Unknown mengatakan...

Film-film dari fastival seperti ini akan tayang di bioskop2 biasa gak ya..apa cuma di fastival saja..

Mie Goreng mengatakan...

gila!! kalaw hampir bintang 5 berarti must to see

Ok, mengatakan...

Ijin share ya.. Biar sutradaranya langsung baca..
Salam Tegal Laka-laka

Rasyidharry mengatakan...

Wah kurang tahu, tapi bukan mustahil

Rasyidharry mengatakan...

Untuk Turah belum ada kabar, tapi berkaca dari strategi FourColor pas Siti, mungkin 2017 bakal dikirim festival, tayang di Indonesia akhir tahun atau awal 2018

Rasyidharry mengatakan...

Harus! :D

Rasyidharry mengatakan...

Monggo mas :))

halumma mengatakan...

Mas rasyid..mbok yo kalo ada event kayak gini lagi (khususnya jogja) kasih kabar lah mas..

Rasyidharry mengatakan...

Waduh kalau JAFF sounding-nya kan udah kenceng banget, secara kelas internasional & salah satu yang terbesar di Indonesia

halumma mengatakan...

Berarti aku sing kuper..haha

Rasyidharry mengatakan...

Pokoknya kalo JAFF itu tiap akhir tahun (November/Desember)

Unknown mengatakan...

Min mau nanya, kalo ane pengen nonton, dibioskop udh ada blom yah min, trus yg ada dimana min ?
Matursuwun

Rasyidharry mengatakan...

Kalau tayang reguler nggak ada/belum ada tapi di beberapa kota akhir-akhir ini lagi banyak special screening yang nayangin Turah

Unknown mengatakan...

Sampai dg 7 mei di kineforum