MELBOURNE REWIND (2016)

1 komentar
Film tersusun atas berbagai aspek; akting, musik, sinematografi, dan lain sebagainya yang bersatu, saling mendukung menciptakan bentuk karya baru. Kesemuanya harus saling sokong, bukan saling serang. Untuk itu diperlukan pemersatu, pengarah jalan berupa kitab alias naskah serta sutradara selaku pembawa kitab (sutra=kitab, dara=pembawa). Bila keduanya lemah niscaya tercipta ketidakselarasan walau tiap sisi tampil baik secara individual. Ibarat sebuah tim sepak bola diisi pemain dengan kemampuan mumpuni yang bermain sendiri-sendiri di atas lapangan, urung menyatu sebagaimana tim seharusnya, nihil taktik pula arahan solid sang pelatih. Kurang lebih begitulah "Melbourne Rewind".

Merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Winna Efendi, filmnya dibuka oleh pertemuan kembali Laura (Pamela Bowie) dan Max (Morgan Oey) di Melbourne. Malam itu keduanya memilih minum kopi bersama, membicarakan kenangan lama, membuka kesempatan bagi alurnya melakukan flashback di mana penonton bisa belajar tentang hubungan keduanya melalui hamparan masa lalu. Tapi kesan throwback tak terpancar saat bangunan naskah Haqi Achmad ("Ada Cinta di SMA") enggan memaksimalkan lompatan waktu, hanya sepintas menyoroti obrolan di masa kini sehingga tiada rasa "rewind" yang semestinya hadir. It could be one heartwarming reminiscene
Perpindahan setting waktu itu pun dapat berguna selaku jembatan antar fase kehidupan protagonis yang dalam film ini kerap melompat tiba-tiba. Kesan mendadak juga diakibatkan lemahnya pembangunan motivasi karakter. Keputusan Laura berkuliah di Melbourne hingga progres hubungannya dengan Max  dari perkenalan, berpacaran, lalu berpisah  disajikan terlampau instan, alhasil sulit memahami karakternya apalagi merasa terikat. Cara bertutur Danial Rifki ("Spy in Love", "Haji Backpacker") pun tak membantu kala sang sutradara bak bimbang menentukan identitas film, apakah low-key drama (didominasi obrolan santai minim dinamika emosi) atau romansa manis nan ringan ala Korea (akting Pamela Bowie dan beberapa cute sequence).

"Melbourne Rewind" berniat menyuguhkan pendewasaan Laura, menyoroti proses tumbuhnya seorang miserable girl tanpa mimpi yang penuh kegamangan hati. Tapi pada akhirnya saya tak merasa gadis ini berubah. Dia mampu memantapkan hatinya di urusan cinta namun itu terlalu dangkal untuk bisa disebut pendewasaan. Keputusan Laura berdamai dengan salah satu tokoh pun bukan merupakan hasil realisasi, melainkan didorong ketidaktahuan mesti berbuat apa. Untungnya, seperti telah saya ungkapkan, banyak sisi "Melbourne Rewind" tampil memikat, termasuk akting yang sedikit menutupi kekurangan naskah tersebut.
Di atas kertas Laura adalah sosok tak simpatik. Dia egois, tak punya arah hidup, selalu tenggelam dalam kesedihan, bahkan nyaris merusak hubungan sahabat lamanya, Cecily (Aurelie Moeremans) dengan Evan Mulyadi (Jovial da Lopez). Nyaris tak ada hal positif signifikan ia lakukan. Laura urung terasa menyebalkan berkat pembawaan Pamela Bowie. She's likeable, cute and hard to hate especially with her constant pouting. Di sisi lain Morgan Oey membuktikan bahwa karisma miliknya mampu membuat karakter yang kurang tergali macam Max pun bisa menarik disimak tiap tutur kata serta perbuatannya.

Serupa pencapaiannya lewat "Negeri Van Oranje", Yoyok Budi Santoso sanggup merangkum gambar-gambar indah ber-setting luar negeri, menangkap tiap sudut Melbourne, menjadikannya panggung memikat mata entah kedamaian malam, cahaya di kamar Max maupun pemandangan dari balon udara. Soundtrack-nya diisi barisan lagu yang memanjakan telinga, dari sederet post-rock sampai nomor uplifting pop seperti "Something Beautiful" milik Tim Halperin. Sayang, akibat lemahnya sisi penceritaan, lagu-lagu tersebut bukan berujung menguatkan melainkan menciptakan distraksi tatkala saya dibuat cenderung memilih mendengarkan musiknya saja ketimbang mengikuti perjalanan alur. 

1 komentar :

Comment Page:
Arif Hidayat mengatakan...

Nampaknya tulisan ini sedikit terpengaruh pada dinamika politik Indonesia