THE NEON DEMON (2016)

8 komentar
"I see 20 or 30 girls come in here every day. Mostly from small towns with big dreams. Because some guy named Chad in the food court told them they were beautiful enough to be a model." Demikian ungkap Roberta Hoffman (Christina Hendricks) pada Jesse (Elle Fanning), gadis polos berusia 16 tahun yang mengadu nasib ke Los Angeles demi menggapai mimpi menjadi model. "The Neon Demon" bicara mengenai "American Dream" dan industri fashion di mana keduanya sama-sama punya sisi gelap, layaknya iblis diam-diam mengintai, bersembunyi di balik gemerlapan neon yang membutakan, perlahan menguasai hati manusia. 

Nicolas Winding Refn ("Drive", "Only God Forgives") dengan "The Neon Demon" tak ubahnya Michael Bay membuat film berjudul "The Explosion Robot" atau Martin Scorsese membuat "The New York Gangster". "Only God Forgives" menunjukkan fetish NWR terhadap warna warni neon dan karya terbarunya ini kembali didominasi hal tersebut, ditemani tempo lambat yang tak jarang dilengkapi slow motion, musik synth buatan Cliff Martinez, serta surreal imageries. "The Neon Demon" jelas membelah penonton. Satu sisi bakal jengah dan bosan dibuatnya. Tapi ada pula yang akan terpikat, merasa terhipnotis oleh gaya NWR. Saya termasuk golongan kedua.
Pertemuan Jesse dengan fotografer amatir, Dean (Karl Glusman) merupakan awal lompatan karirnya. Hasil foto Dean membawa Jesse diterima di agensi model milik Roberta, menjalani sesi pemotretan dengan fotografer kenamaan, Jack (Desmond Harrington), lalu menjadi penutup peragaan busana karya Robert Sarno (Alessandro Nivola). Lonjakan karir mendadak itu memancing rasa iri pada dua model lain, Gigi (Bella Heathcote) dan Sarah (Abbey Lee). Walau demikian, Jesse selalu mendapat pembelaan dan perlindungan dari penata rias bernama Ruby (Jena Malone). 

Kenapa Jesse mudah merenggut atensi orang-orang? It isn't just beauty, it's about purity. NWR coba menekankan, di tengah glamornya industri yang diselimuti kehampaan pula kepalsuan, kemurnian Jesse bersinar terang bak mutiara di lautan. Di sinilah sosok "demon" muncul dan aspek horor mengambil alih. Iblis bukan digambarkan secara literal, melainkan metafora sisi gelap industri yang mana tak kasat mata. Terornya tidak berwujud nyata, entah dreamy surreal vision atau ketika Jesse mendapati ada seseorang (atau sesuatu) berusaha mendobrak ke dalam kamarnya. The unseen demon lurks around her. Kita pun diajak merasakan ketidaknyamanan atmosfer creepy selaku manifestasi kondisi tersebut sambil sesekali diperlihatkan adegan disturbing seperti nekrofilia. 
"The Neon Demon" merupakan proses tatkala kemurnian dikonsumsi kegelapan. Transisi karakternya dikemas secara absurd sewaktu Jesse mencium pantulan dirinya di cermin (penggambaran narsisme yang mengambil alih). Terjadi begitu cepat, namun bukankah hidup memang demikian? Seseorang berubah menjadi sosok yang jauh berbeda tanpa kita sadari. Soal karakterisasi, naskah garapan NWR bersama Mary Laws dan Polly Stenham mungkin terasa dangkal dan tipis, tapi kelemahan itu ditebus sang sutradara melalui tuturan visual mengagumkan nan menghipnotis. Bersenjatakan permainan cahaya lampu neon plus properti yang ditangkap sempurna oleh sinematografi Natasha Braier, tiap shot adalah keindahan aneh yang membuktikan visi NWR membangun pengalaman out of this world.

Seringkali filmnya berdiam terlalu lama di sebuah sequence (yang juga bergerak lambat) tanpa substansi, namun sejatinya "dosa" terbesar "The Neon Demon" bukanlah alur yang terlampau pelan, melainkan perasaan kosong akibat nihilnya rasa dan emosi. Saya tahu ini intensional. NWR hendak mengkritisi hampa serta dangkalnya industri fashion yang menyatakan bahwa "beauty isn't everything, it's the only thing". Tapi saat filmnya menjadi apa yang dikritisi, terciptalah standar ganda. Beside that, "The Neon Demon" is still a crazy, disturbing tale about the heartless, shallow and cannibalistic nature of fashion industry. 

8 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Rasyidharry mengatakan...

Koreksi: Elle Fanning :)

Hesti Prastiwi mengatakan...

mas, id mubinya apa? boleh follow? 😀

Rasyidharry mengatakan...

Monggo :)
https://mubi.com/users/5518394

Rifki mengatakan...

love it. score sama tone gelapnya bener bener bikin addicted

Rasyidharry mengatakan...

Indeed, kolaborasi NWR sama Cliff Martinez selalu adiktif

Sims4Imagination mengatakan...

Yap, nyatanya garapan NWR ini termasuk susah untuk dikatakan bagus, tapi susah juga dikatakan jelek...
Kalau saya sih, justru melihat adanya obsesi...
Saya justru memandang film The Neon Demon mengekstraksi kisah wanita-wanita yang terlampau gila akan kecantikan, obsesi untuk tampil sempurna... memandang Jesse (Elle Fanning) sebagai cermin yang hendak disamai. Tapi, justru apa yg ingin disampaikan NWR terkesan lemah.... menyampaikan soal obsesi sebagai fokus utama cerita... memang bener nihil rasa dan emosi. Dan perlu ditambahkan intensitas horornya juga nihil...

http://www.lemonvie.net/2017/01/review-film-neon-demon-2016.html

Unknown mengatakan...

Terima kasih.. tulisannya bagus dan membuat saya paham maksud ceritanya..