BERLIN SYNDROME (2017)
Rasyidharry
Juni 24, 2017
Cate Shortland
,
Germain McMicking
,
Lumayan
,
Matthias Habich
,
Max Riemelt
,
REVIEW
,
Shaun Grant
,
Teresa Palmer
,
Thriller
7 komentar
Seperti telah dipaparkan judulnya, Berlin Syndrome merujuk pada Stockholm Syndrome yang terjadi di ibukota Jerman tersebut, di mana peristiwa masa lalu pernah, bahkan masih memecah populasi di dalamnya. Satu pihak merayakan kebebasan atas represi, sedang lainnya menyimpan romantisasi kehidupan era lampau yang mereka pandang sempurna. Mengadaptasi novel berjudul sama buatan Melanie Joosten, Berlin Syndrome menjauh dari rutinitas thriller bertema penculikan terhadap turis berujung penyiksaan brutal sebagai suguhan utama (Hostel, The Human Centipede, Wolf Creek), memilih eksplorasi psikologis guna menjabarkan dampak pada korban, pula dorongan sang pelaku.
Seorang turis asal Australia bernama Claire (Teresa Palmer) tiba di Berlin, menghabiskan malam bercengkerama sambil minum bersama orang-orang asing di atap gedung. Bukan malam liar, melainkan kehangatan yang cukup menyenangkan bagi seseorang yang tengah seorang diri di negeri asing. Disusul matahari terbit di dinginnya pagi sebelum melanjutkan perjalanan mengambil foto bangunan bekas Jerman Timur. It's a perfect getaway for her. Ditambah lagi pertemuannya dengan Andi (Max Riemelt), guru Bahasa Inggris di suatu sekolah olahraga. One night stand pelengkap kebahagiaan ini rupanya awal bencana yang mengejutkan Claire, tapi tidak untuk penonton.
Sejak awal mudah menebak keramahan beserta romantisme "malu-malu" Andi sekedar topeng. Pun sejatinya berbagai plot point lain sebutlah rahasia Andi, titik balik di pertengahan cerita, sampai konklusinya dapat tercium dari jauh. Sadar bahwa proses adalah porsi terpenting sebuah narasi, naskah tulisan Shaun Grant memang tidak berniat mengumbar twist. Berpadu bersama kesabaran sutradara Cate Shortland memainkan tempo, Grant cerdik menyelipkan momen-momen overshadow begitu kisahnya merayap masuk ke nuansa sensual. Ucapan Andi jika tak ada yang bisa mendengar suara Claire atau ketika ia berkata ingin mengikat si wanita rupanya bukan godaan nakal semata.
Seperti telah disinggung, Berlin Syndrome bukan torture porn bersenjatakan sadisme. Meski sesekali memperlihatkan percobaan Claire kabur, mayoritas durasi justru dipakai sebagai observasi terhadap hidup Andi. Inilah thriller di mana sang pelaku mendapat sorotan lebih mendalam ketimbang korbannya (kita hanya tahu asal dan pekerjaan Claire, selebihnya buram). Penonton melihat keseharian Andi yang kerap mengunjungi ayahnya (Matthias Habich), atau kala mengajar. Metode ini memberi cukup bekal bagi filmnya menjelaskan banyak hal tentang Andi, seperti sang ibu yang pergi meninggalkan keluarganya ke Jerman Barat sebelum Tembok Berlin runtuh hingga keengganannya bersosialisasi. Patriarki, represi demi kesempurnaan satu sisi superioritas, tema-tema tersebut terangkum rapi, walau selain eksposisi informatif, konflik menarik urung hadir mengangkat tensi dalam fase ini.
Secara garis besar, pembangunan dinamika Berlin Syndrome ditopang oleh dua penampil utama yang selama dua minggu sebelum pengambilan gambar tinggal bersama di apartemen kecil serupa lokasi film. Hubungan mereka berawal dari romansa manis, berkembang jadi gesekan pelaku dengan korban, sampai menjurus ke arah kompleks tatkala isi pikiran karakternya semakin ambigu. Riemelt membuat Andi bukan sekedar pria gila berdarah dingin. Sesekali kecanggungan, ketulusan, bahkan kelembutan yang menyiratkan kelemahan timbul. Sementara Palmer menjadikan proses bertahap gangguan psikis pada karakternya bisa dipercaya. Turning point sikap Claire pun terasa sebagai hasil proses yang natural.
Dibantu sinematografer Germain McMicking, Shortland piawai merangkai gambar-gambar well-made cenderung stylish. Sesekali slow motion ikut merangsek masuk menambah gaya visual yang sesungguhnya nihil substansi, juga acap kali menyeret jalannya alur. Padahal Shortland cukup baik dalam urusan memancing ketegangan termasuk sewaktu kilmaks yang tak ubahnya petak umpet maut mencekam. Teruntuk konklusi, saya selalu beranggapan definisi ending bagus adalah yang layak didapat karakternya, tidak peduli bahagia atau tragis. Berlin Syndrome jelas punya resolusi berupa nasib yang amat sangat layak diterima kedua belah pihak.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Teresa palmer jago ya ekspresinya.. natural banget di film ini.
Palmer itu salah satu aktris underrated, bagus dia :)
entah kenapa kok aura nih film mirip Personal Shopper yah om?
Mungkin karena aura dingin & pace lambat kali ya :)
Saya blm pernah nonton nih film jerman tp ga ada salahnya nyoba yg ini hehe.
#OOT bang udh liat teaser remakenya pengabdi setan? Gimana nih responnya sbg fans joko anwar?
Film Australia kok ini, setting-nya aja di Jerman.
Atmosfernya lumayan kuat, ada harapan juga Joko cerdik mainin jump scare, dan teasernya membuktikan itu :)
belum nonton sih film ini tapi dari trailernya cukup menarik. makasih reviewnya, bikin cepet-cepet cari link downloadnya hahaha
Posting Komentar