THE LOST CITY OF Z (2016)

5 komentar
Berisi eksplorasi mencari puing peninggalan sejarah di pedalaman hutan, The Lost City of Z bukanlah petualangan pemacu adrenalin macam Indiana Jones. Juga bukan horor kental sentuhan sadisme terdapat meski suku kanibal menebar ancaman bagi tokoh-tokohnya. Dalam karya teranyar sutradara James Gray (The Immigrant, Two Lovers, We Own the Night) selaku adaptasi buku non-fiksi berjudul sama buatan David Grann ini, kegiatan menelusuri alam liar merupakan ekspresi ambisi, atau lebih tepatnya obsesi yang di ujung jalan menyadarkan betapa kecilnya pemahaman manusia teruntuk misteri semesta. 

Memulai kisah di Irlandia tahun 1905, kita berkenalan dengan Percy Fawcett (Charlie Hunnam), anggota satuan militer Inggris yang walau cukup berprestasi, karirnya mandek karena beberapa alasan termasuk reputasi buruk kelurganya. Maka dari itu ketika Royal Geographical Society (RGS) memberi misi yang dapat mengangkat nama baik sekaligus membantu kenaikan pangkatnya, Percy tak menolak, walau misi tersebut mengharuskannya berpisah dengan sang istri (Sienna Miller) beserta buah hatinya selama bertahun-tahun. Bersama Henry Costin (Robert Pattinson), Percy diperintahkan memetakan pedalaman Bolivia yang belum terjamah dan dihuni suku setempat. Di situ ia menemukan kemungkinan adanya kota tempat peradaban masa lalu yang hilang.
Gray bersenjatakan ketelatenan merajut alur dalam tempo medium yang sudah diperlihatkan sepanjang karirnya, merangkai The Lost City of Z bak suatu catatan perjalanan yang mengedepankan sisi otentik. Ada dramatisasi di mana sesekali tensi meningkat kala maut mengancam seperti lemparan tombak suku pedalaman atau serbuan piranha, namun selebihnya Gray mengajak kita perlahan mengamati suasana hutan luas nan lebat yang seolah gelap di siang hari karena ketidaktahuan karakter (juga penonton) terhadapnya. Pilihan shot ditemani sinematografi Darius Khondji memperluas cakupan pandangan penonton, memungkinkan timbul perasaan bagai ikut berada di lokasi.

Walau penuh ancaman, Gray menolak memposisikan alam sepenuhnya sebagai musuh. Penekanan terletak pada fakta bahwa karakternya (baca: manusia) tidak dibekali pengetahuan memadahi sehingga kerap terseret ke arah bahaya. The Lost City of Z justru merayakan alam dengan segala misterinya, oleh sebab itu pada 10-15 menit terakhir yang menghujam perasaan sekaligus memancing kengerian sekalipun, masih terpercik sedikit keindahan. 
Durasi cukup panjang (140 menit) memungkinkan filmnya secara lengkap menyoroti bagaimana obsesi tumbuh dalam hati Percy. Secara total melakukan tiga kali ekspedisi, masing-masing didorong oleh alasan jelas, mulai pencarian kejayaan sampai pembuktian diri. Diawali suatu misi yang diharapkan bisa memperbaiki kehidupannya, Percy justru berujung menemukan kehidupan itu. Lagi-lagi Gray enggan mengambil sudut pandang negatif. Obsesi tidak ia anggap suatu keburukan, tetapi ekspresi cinta yang membentuk tujuan. Karenanya, Kota Z bisa dipandang lebih dari sebuah artefak masa lalu, tepatnya persinggahan akhir hidup karakternya. Sebagian pihak mungkin bakal menyebutnya surga.

Charlie Hunnam menampilkan performa memadahi sebagai pria yang teguh berprinsip, sementara Robert Pattinson mampu menjadikan Costin sesosok rekan yang mampu diandalkan menyokong Percy. Memikat pula Sienna Miller khususnya dalam dua adegan terakhir kemunculannya kala bertutur penuh perasaan, entah selaku ibu yang berusaha menghargai impian sang putera atau istri yang percaya, juga menyayangi suaminya. Tiga penampil tersebut saling mengimbangi, setara, serupa salah satu unsur penceritaan film yang mengetengahkan kesetaraan, baik antara "manusia modern" dengan suku primitif atau pada tataran peran gender.

5 komentar :

Comment Page:
Dana Saidana mengatakan...

Saya masih bingung, jadi bedanya city z sama pemukiman2 suku Indian yg lain apa ya Bang?
Apa perabadabannya lbh maju, banyak harta Karun, atau banyak bangunan megahnya.
Terus apa bedanya sama suku Inca, Maya dan Aztec yg dulu jg udh maju peradabannya.
Sya liat diending film biasa aja liat settingnya.

Rasyidharry mengatakan...

Yang dipercaya Fawcett sebagai Z kan kota tua berlapis emas. Untuk ending-nya kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Malah ada teori yang bilang kalau Z itu sebenarnya salah satu pemukiman Indian yang dilewati Fawcett.

Dana Saidana mengatakan...

Oh gitu ya Bang penjelasannya. Berarti endingnya harus ditafsirkan sendiri mereka itu dieksekusi atau malah betah disana sampai gak mau pulang :-D

Oh iya Bang untuk The Mummy di CGV saya liat jadwalnya gak semua ada 4DX, bahkan sekelas Grand Indonesia n di Jakarta pun sama sekali gak ada 4DX.
Minim bujet kah?

Rasyidharry mengatakan...

Yap. Lebih condong "menjadi manusia baru" tapi lagi-lagi ambigu, terserah tafsiran penonton. Sesuai sama pesan "alam itu misterius".

Nggak ada hubungannya itu 4DX sama bujet. Bioskop yang menentukan, dilihat dari seberapa menjual filmnya. Tapi Mummy ada kok 4DX. Di Jogja ada :)

Unknown mengatakan...

nice review om