GINTAMA (2017)

14 komentar
Karakter manusia dengan model dan warna rambut unik yang perilakunya berlebihan, makhluk-makhluk aneh berseliweran, komedi random, dunia imajinatif, rangkaian peristiwa di luar logika. Gintama punya segala hal yang membuat adaptasi live-action manga disukai. Menghidupkan unsur manga ke tatanan "dunia nyata" akan menggandakan absurditasnya, yang justru jadi daya tarik utama. Dan lewat adaptasi manga berjudul sama karya Hideaki Sorachi ini, penonton menuju versi alternatif masa Edo, di mana ras Alien yang disebut Amanto (manusia langit) menginvasi Bumi. Perlawanan para samurai menemui kegagalan, dan kini mereka terasing, dilarang mengangkat pedang. 

Pengaruh terbesar bagi manusia terkait kehadiran Amanto adalah teknologi. Mesin kasir, televisi, skuter, sampai pesawat dapat kita jumpai pada versi Edo satu ini. Dampaknya, kultur masyarakat pun berubah, seperti kegemaran si tokoh utama, Gintoki (Shun Oguri) memakan parfait. Gintoki merupakan mantan samurai yang berkat ketangguhannya dijuluki "Iblis Putih". Bersama samurai remaja bernama Shinpachi (Masaki Suda) dan Kagura (Kanna Hashimoto), alien berwujud gadis berambut merah bermata biru, Gintoki membuka bisnis freelance. Pekerjaan terbarunya adalah menyelidiki hilangnya sebuah pedang yang diduga jadi senjata seorang pembunuh berantai yang akhir-akhir ini tengah beraksi.
Alih-alih terjun langsung ke konflik utama, first act-nya didominasi parade komedi serampangan, dari animasi ala karaoke murahan (begitu film ini menyebutnya) untuk meralat kemudian mengoreksi adegan pembuka, sampai perlombaan mengejar kumbang emas milik Shogun yang lepas antara Gintoki dan kawan-kawan dengan sepasukan Shinsengumi. Kecuali mengenalkan beberapa karakter, paruh pertamanya tak bersinggungan dengan plot utama. Biar begitu, pondasi komedi ditegakkan pada fase ini. Walau untuk penonton yang awam soal gaya bercanda manga/anime butuh waktu membiasakan diri, secara keseluruhan kejenakaan berhasil dibangun. Kejenakaan berbasis rasa absurd yang takkan melelahkan dan selalu segar, macam Kapten Shinsengumi melumuri tubuh nyaris telanjangnya dengan madu demi memancing kumbang.

Penggunaan dunia alternatif membebaskan eksplorasi yang oleh Yūichi Fukuda selaku sutradara digunakan memamerkan pemandangan imajinatif tanpa batas. Meski berstatus live action, Gintama tetap mempertahankan aroma cartoonish dalam berbagai sisi, baik aksi samurai penuh gaya maupun semangat over-the-top komedinya. Fukuda yang juga melakoni tugas menulis naskah mendapat kebebasan bersenang-senang seenaknya. Tampak dari karakternya yang berulang kali coba berinteraksi langsung dengan penonton (break the fourth wall), menyadari eksistensi sebagai tokoh dalam film, atau menumpahkan referensi soal seri lain (Dragon Ball, One Piece, Gundam, dan lain-lain). Bahkan guyonan meta soal menyentuh batas hak cipta kala Nausicaa tiba-tiba muncul ikut terlontar.
Sayangnya, konsep kreatif tersebut sekedar Fukuda terapkan di permukaan. Ketika cerita sentral mulai merangsek masuk, segalanya terjerumus menuju keklisean. Konsep "alien pembawa modernisasi masa Edo" tersia-sia, bagai hilang tanpa bekas. Sebab tanpa dibarengi dasar itu pun, guliran kisahnya takkan terpengaruh. Memasuki sepertiga akhir perjalanan, Gintama mengubah kesegaran formatnya menjadi aksi generik (sembari tetap diselipi humor) berlokasi di atas pesawat raksasa yang tak ada bedanya dibanding blockbuster medioker produksi Hollywood, dengan puncak pertarungan Gintoki melawan musuh berwujud ala monster dari film Resident Evil

Niat memberikan bobot emosi lewat sentuhan drama persahabatan justru menurunkan tensi akibat lemahnya penulisan dramatik naskah Fukuda. Pun pengadeganannya kerap tenggelam dalam obrolan membosankan nan berlarut-larut, menghasilkan durasi 130 menit yang sejatinya tak perlu sepanjang itu. Shun Oguri masih menyimpan charm sebagaimana dia tunjukkan dalam Crows Zero dahulun, kini ditambah kepiawaian melucu. Sementara Kanna Hashimoto mencuri hati lewat kombinasi tingkah menggemaskan bercampur kebodohan semaunya sendiri. Keduanya menghembuskan nyawa tatkala Gintama nyaris kehabisan daya akibat kegagalan memaksimalkan kreativitas premisnya. 

14 komentar :

Comment Page:
dramaaddict mengatakan...

Bang review the dark tower kapan?

dramaaddict mengatakan...

Bang review the dark tower kapan?

Rasyidharry mengatakan...

Lewat, yakin bakal buang-buang duit haha
Lebih pilih ini & American Made

dramaaddict mengatakan...

Bang, american made bagus gak? Kok teknik kameranya kaya ngingetin jason bourne yg 2016 ya?

dramaaddict mengatakan...

Bang, american made bagus gak? Kok teknik kameranya kaya ngingetin jason bourne yg 2016 ya?

Rasyidharry mengatakan...

Baru nonton malam nanti :)

Hesti Prastiwi mengatakan...

mas, mau nanya..live actionnya ini ya?
https://youtu.be/6QjxkyQK0FA
katanya bentuknya movie tp kok ini bentuknya series ya? bener yg itu atau ada versi movienya?

Rasyidharry mengatakan...

Memang ada mini-seriesnya, tapi cuma 3 episode. Pemainnya juga sama

dim mukti mengatakan...

Apa cuma aku aja yang ngerasa pemeran cewek di film Jepang mukanya datar datar aja apapun ekspresinya..

Rasyidharry mengatakan...

Padahal (mostly) lebih ekspresif lho. Di sana kental gaya teatrikal. Kecuali film-film arthouse mungkin

Scott Temple Weiland mengatakan...

Bang review game of thrones dong

Unknown mengatakan...

banyak yang di ubah jadi rada kurang greget actionnya tapi ini cukup sesuai harapan sih apalagi di bagian komedinya itu khas gintama banget

Alvi mengatakan...

menurut saya memang komedi lebay yang ada di Gintama itu cukup diaplikasikan dalam anime. Dalam animenya pun itu semua berhasil berkat voice actors nya.

A. H mengatakan...

Aku baca Review ini karna ragu nonton gintama live action. Ngomong ngomong udah nonton animenya.