DEATH NOTE (2017)

11 komentar
Adaptasi tidak wajib sepenuhnya setia dengan materi sumber. Perubahan selaku interpretasi personal atau penyesuaian terkait perbedaan kultur sah, bahkan perlu dilakukan. Itu menghasilkan keunikan pada adaptasi, pun mungkin memunculkan sudut pandang baru. Syaratnya, perubahan mesti beralasan dan tidak mengkhianati esensi versi asli. Karena itu walau merupakan penggemar manga Death Note (setidaknya paruh pertama), saya tak keberatan kala adaptasi live action ini menjanjikan perbedaan, seperti pemindahan setting dari Jepang ke Amerika sehingga jajaran cast pun berganti ras (I don't believe in any race-washing). Masalahnya, sutradara Adam Wingard (Blair Witch, You're Next, The Guest) dan tim bagai menolak menghormati karya fenomenal Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata ini. 

Naskah buatan Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater coba mendekatkan kisahnya ke pangsa Amerika dengan menekankan ambiguitas moral bertema teen angst daripada adu taktik dua sisi yang merasa mewakili kebaikan. Aksi Light (Turner, bukan Yagami, diperankan Nat Wolff) menulis nama kriminal di Death Note pemberian shinigami Ryuk (Jason Liles di balik kostum, Willem Dafoe mengisi suara dan mo-cap untuk ekspresi) meski didasari keyakinan akan memperbaiki dunia, cenderung didorong amarah remaja alih-alih kalkulasi mendalam. Light seperti banyak remaja, ingin meluapkan kejengahan atas ketidakadian. Singkatnya, film ini ingin membuat karakternya lebih relatable.
Death Note buatan Wingard hadir sebagai produk sebuah negara yang tengah tidak berdaya dihantam ragam isu ketidakadilan, di mana mimpi serta harapan makin buram. Wajar bila suprerioritas Light Yagami dipandang kurang dekat. Penokohan Light Turner yang tindakannya dipicu hasrat manusiawi termasuk demi mencuri hati gadis populer bernama Mia Sutton (Margaret Qualley) bisa diterima. Perjalanan di awal juga menjanjikan, saat Wingard menolak berbasa-basi, langsung membawa Light pada serangkaian pembunuhan yang selain bergerak cepat, dikemas brutal ala seri Final Destination. This is an acceptable new interpretation and entertaining teen gory horror.....until it's not. 

Sah saja menjadikan Light remaja biasa. Tapi ketimbang menyeimbangkan kecerdasan dengan keserampangan remaja supaya terkesan humanis, Light seutuhnya dibuat bodoh, dengan rencana tidak kalah bodoh. Jika menghendaki Light bertindak tanpa pikir panjang, apa keperluan menanamkan fakta bahwa ia pintar? Di luar third act, tanda-tanda kepintaran urung ditemukan. Kasus serupa menimpa L (Lakeith Stanfield), detektif (yang konon) nomor satu tapi sulit mengontrol emosi ketika dikalahkan lawan. Inkonsisten. Dan gejolak Teen angst bukan berarti selalu dikuasai emosi kemudian mengeliminasi intelegensi. Selain itu penokohan keduanya tidak sekedar mengubah, namun mencoreng esensi sumber materinya. Apapun modifikasinya, Light adalah representasi penegakan kebenaran di jalur ekstrim, sementara L di jalan lurus. Itulah pemicu gesekan keduanya, dan agar konflik tersebut meyakinkan, mereka harus cerdas. 
Bertambah parah tatkala Death Note kepayahan meringkas sumbernya yang dipenuhi intrik. Tampak dari kesan buru-buru menggulirkan cerita, khususnya proses kelahiran sosok Kira yang dipuja. Naskahnya terjebak dilema, antara melepaskan diri atau mengikuti sumber. Ryuk contohnya. Meniadakannya bakal memancing kontroversi, tapi para penulis juga tidak tahu harus berbuat apa, berakhir menghilangkan dinamika Light-Ryuk yang turut menyia-nyiakan suara mencekam Dafoe. Interaksi Light dan L juga dibabat habis, mencuatkan tanya seputar keperluan set-up pertarungan mereka bila ujungnya nihil adu strategi (or at least not an interesting one). Tanpa dinamika menarik, selain gore dan gaya Wingard yang mengandalkan visual stylish serta musik elektronik, Death Note menyisakan kekosongan membosankan.

Teriakan menggelikan Nat Wolff saat Light pertama bertemu Ryuk menyulitkan untuk menyukai tokohnya. Bukan kesalahan Wolff sepenuhnya, sebab memang keputusan Wingard menyelipkan komedi hitam pencipta inkonsistensi suasana. Sementara performa Stanfield mencerminkan kebingungan akut film ini soal menyikapi materi asli. Stanfeild memperagakan gestur ekstentrik ciri L, tetapi penokohannya secara menyeluruh tidak seunik sampul luarnya. Selain Dafoe, untungnya Margaret Qualley menarik disimak. Berkatnya, sosok Mia menyimpan selubung misteri, satu hal yang filmnya gagal berikan. Meminjam pernyataan yang tengah masyarakat kita gemar pakai, film ini adalah penistaan bagi warisan kejayaan Death Note.

11 komentar :

Comment Page:
Jf xkdn mengatakan...

bencana bagi penggemar death note
dan masih ada org yg bela film ini dengan mengejek pengkritiknya dengan kata "wibu". wkwkwkwk

Rasyidharry mengatakan...

Padahal sebagai film yang berdiri aja udah jelek :D

Badminton Battlezone mengatakan...

Hmm kalo menurut ane. Tanpa membandingkan versi jpang,this movie actually quite good. Yang ga ane sangka karakter L disini justru mencuri perhatian. Tapi memang karakternya dibuat beda dengam aslinya,Light dari jenius dan badass terlihat bodoh disini. Sedangkan L yang pokerface itu sangat emosional disini. Satu hal yang mengganggu ane disini pemilihan lagunya yang sangat ga cocok itu hahahaha,tp scara keseluruhan film ini enak untuk dinikmati

Rasyidharry mengatakan...

Tanpa membandingkan, yang bikin jelek sih inkonsistensi karakter & tanpa gore, hilang sudah hiburan. Ya gitulah Wingard, semua jadi underground disko 80 haha

nonim mengatakan...

ga kuat nonton sampai akhir gara karakternya brubah drastis.hahaha

Rasyidharry mengatakan...

Berusaha sampai akhir, berharap membaik, eh makin jeblok :D

Sam Michaelis mengatakan...

awal masih 'it's ok' kesana sana makin 'wtf?'

Rasyidharry mengatakan...

Di awal perbedaan karakter juga masih bisa diterima, masuk ke narasi. Seterusnya ngawur :)

Unknown mengatakan...

Kalau versi jepang yang 2006 kira kira bgus nggak? Gue salah satu penggemar death note nih

Rasyidharry mengatakan...

Dibilang bagus juga nggak, tapi mending daripada yang ini

Kasamago mengatakan...

Duh ancur dah, lebih parah dari kasus Dragon Boll Evolution..
10 tahun penantian versi US, mlh g digarap serius