COLOSSAL (2016)

7 komentar
A heavy drunkard and a vicious bully. Both are colossal problems. Demikian kiranya gagasan di balik film terbaru Nacho Vigalondo (Timecrimes, Open Windows) yang mengkombinasikan rasa indie dramedy dengan kaiju flick ala Godzilla sampai Pacific Rim. Bahkan di salah satu titik sempat menyentuh ranah thriller. Colossal tak lain produk sinema modern yang menyikapi genre sebagai alat bantu menyusun pondasi daripada batasan. Hasil akhir karya genre-defying memang kerap penuh lubang  termasuk Colossal  tetapi kepuasan yang dihasilkan nyatanya sebanding. 

Awalnya semua terlihat normal, menampilkan Gloria (Anne Hathaway), wanita pengangguran yang diusir oleh sang kekasih, Tim (Dan Stevens), dari apartemen mereka di New York akibat kecanduan alkohol. Gloria memutuskan pulang ke kampung halamannya, berharap dapat menata ulang kehidupan. Pertemuan Gloria dengan teman masa kecilnya, Oscar (Jason Sudeikis) yang ramah pula sederhana (Tim pebisnis sukses, Oscar hanya pemilik bar) mencerminkan gelagat tontonan komedi-romantis saat protagonis menemukan cinta sejati yang jauh dari kemewahan hidup lamanya. Ditemani musik country, Colossal bak sajian low-key indie. Sampai monster raksasa menyerang Korea Selatan.
Menulis naskahnya sendiri, Vigalondo piawai mempermainkan ekspektasi, entah berkat pembauran genre atau pengembangan karakter dan kisah ke arah mengejutkan. Pemahaman Vigalondo akan template tiap genre membuat filmnya mampu bergulir menghindari tiap-tiap keklisean, semisal ditiadakannya fase skeptisme teman-teman Gloria mendengar cerita gilanya mengenai terhubung dengan monster. Colossal langsung memasuki mode bersenang-senang semaunya sebagaimana sikap karakternya di bawah pengaruh alkohol. Bicara soal kesenangan, khususnya di paruh pertama, Vigalando pamer kebolehan menyusun komedi. 

Keberhasilan humor Colossal didorong keengganan usaha berlebihan tampil konyol, setidaknya bukan melalui jalur umum. It's all about quirky and weird comedy. Saat Gloria kali pertama menyadari koneksi dirinya dengan monster, misal. Musik garapan Bear McCreary terdengar bombastis pula intens alih-alih jenaka, yang malah menguatkan kelucuan dari kemustahilan situasi. Tentu kecocokan Anne Hathaway bertingkah quirky melalui raut wajah dan gerak tubuh canggung berperan besar memuluskan laju komedi. Sedangkan Jason Sudeikis kapabel menjalankan dua sisi kontradiktif tokohnya. 
Sama kontradiktifnya adalah progresi tone yang mencapai babak pertengahan, melompat cepat dari drama-komedi ringan menuju drama serius, pun (seperti telah disebutkan) salah satu adegan agak menyerempet bangunan intensitas thriller. Sangat berlawanan suasana, namun sesuai dengan perkembangan cerita juga karakter, yang justru berpotensi kehilangan bobot bila dipaksakan konyol, mengingat Colossal mengangkat isu seputar penindasan, baik dalam konteks umum maupun antar-gender. Gloria, meski seorang pemabuk kurang bertanggung jawab, seiring berjalannya waktu menegaskan posisi sebagai wanita yang berusaha membebaskan diri dari kekangan para pria, berujung memudahkan untuk mendukung prosesnya. 

Terkait aspek monster (dan robot) raksasa, Colossal urung, bahkan tidak coba menawarkan penjelasan logis. Karena memang tidak perlu. Satu-satunya lubang logika yang layak dipermasalahkan yakni logika atau rules dalam filmnya sendiri (tanpa mengacu ke dunia nyata). Aturan mengenai "kapan" dan "bagaimana" terlalu dibiarkan bebas oleh Vigalondo. Padahal aturan demikian penting guna menjaga penonton tetap terikat dengan cerita, tak peduli seabsurd apapun. The deeper Colossal dig its lore about the giant monster, the messier, untungnya di saat bersamaan, studi dramatik yang ditawarkan juga makin kokoh. 

7 komentar :

Comment Page:
Sims4Imagination mengatakan...

saya suka adegan pas Oscar nyalain kembang api di barnya...
sumpah konyol dan aneh banget kelakuannya....

Rasyidharry mengatakan...

Di situ makin berubah, dari simpatik, jadi makin kurang ajar si Oscar

Ilham Ramadhan mengatakan...

ini nonton dimana mas? downloadkah? soalnya bioskop penuh dengan jangrik hhe

Sims4Imagination mengatakan...

*SPOILER* iya, lebih suka kalau Oscar memang bener2 terobsesi dgn Gloria, sayang naskah cerita berkata lain.

Reza mengatakan...

Vigalondo potensial nih bang berarti yaa? Tinggal nunggu Marvel atau DC kontak ajaa, atau mungkin waralaba Star Wars? wkwkwk

Rasyidharry mengatakan...

Di bioskop masuk sih, cuma di Jakarta. Tapi sudah ada di lapak dari lama :)

Rasyidharry mengatakan...

Vigalondo hobi main time travel/portal/alternate universe, tinggal studio mana dulu yang mau angkat itu. Tapi biasanya sih Marvel yang doyan pakai sutradara indie