MAU JADI APA? (2017)
Rasyidharry
Desember 01, 2017
Adjis Doaibu
,
Agasyah Karim
,
Anggika Bolsterli
,
Aurelie Moeremans
,
Awwe
,
Boris Bokir
,
Comedy
,
Indonesian Film
,
Khalid Kashogi
,
Kurang
,
Monty Tiwa
,
REVIEW
,
Ricky Wattimena
,
Soleh Solihun
7 komentar
(Review ini mengandung spoiler)
Menulis tentang Mau Jadi Apa? begitu rumit. Selaku komedi, film yang diangkat dari buku berjudul sama mengenai kehidupan Soleh Solihun semasa kuliah ini tergolong solid. Walau kerap meleset, humornya tampil segar, mencerminkan "kenakalan" Soleh berceloteh. Sekali lagi, selaku komedi, Mau Jadi Apa? patut direkomendasikan. Namun ada satu poin terkait konflik besarnya yang hadir dalam perspektif mengganggu. Poin yang memiliki paralel dengan kontroversi fenomenal yang belakangan tengah mengguncang industri perfilman: sexual abuse allegation.
Memang, di samping media melucu juga curahan memori Soleh tentang masa mudanya, film ini menyelipkan sederet isu penting nan relevan, tentunya secara penuh senda gurau. Contohnya ketika Soleh bergabung sebagai wartawan majalah kampus Fikom Unpad, Fakjat (Fakta Jatinangor) demi mendekati pujaan hatinya, Ros (Aurelie Moeremans). Persoalan sumbangsih masyarakat terhadap negara disinggung dalam setting kala iklim politik nasional sedang memanas pasca reformasi. Haruskah perwujudan kepedulian melulu soal politik hingga menolak bahasan "remeh" seputar olahraga dan seni? Apakah jurnalistik "berbobot" wajib identik dengan keseriusan dan dibawakan kaku?
Kejengahan itu menggiring Soleh bersama kelima rekannya Lukman (Boris Bokir), Fey (Anggika Bolsterli), Marsyel (Adjis Doaibu), Eko (Awwe), Syarif (Ricky Wattimena) mendirikan majalah alternatif bernama Karung Goni (Kabar, Ungkapan, Gosip, dan Opini), membahas musik, film, percintaan, hingga gosip terhangat di lingkungan kampus. Seiring kesuksesan Karung Goni, timbul hasrat memaparkan kasus yang lebih berat, membawa filmnya mengkritik represi media serta penutupan fakta dari publik guna melindungi nama baik perseorangan, instansi, atau lebih luasnya, negara.
Mau Jadi Apa? tak ketinggalan membahas asam manis perkuliahan dengan enam protagonis sebagai jembatan. Mulai patah hati sampai masalah personal mahasiswa. Soleh bersama Khalid Kashogi dan Agasyah Karim jeli menawarkan observasi lewat skenario, menyinggung betapa problematika sejatinya bersifat relatif. Bagi Eko, sang ayah patut dibenci, karena kegagalan bisnisnya mengancam impiannya lanjut kuliah ke Australia batal. Namun bagi Lukman, Eko seharusnya bersyukur sebab ayahnya masih berusaha, sementara ayah Lukman sibuk berjudi. Di antara barisan kekonyolan, sudut pandang ini terasa spesial, dilengkapi tatanan momen dramatik yang tersaji apik. Mungkin ini tugas Monty Tiwa di kursi sutradara, menjaga supaya Mau Jadi Apa? tetap seimbang saat Soleh liar melucu.
Usaha membuat penonton merasa dekat diusung pula oleh selipan kultur populer era 90-an sampai awal 2000 (lagu, pengucapan nama-nama tenar) dan gaya komedi. Soleh ingin "mengakrabi" penonton memakai teknik breaking the fourth wall, juga meta jokes untuk melontarkan referensi-referensi kekinian yang dipahami penonton, dari Cek Toko Sebelah atau Ariel "Noah". Segar, tapi jadi berlebihan saat berbaik hati menjelaskan lelucon tentang budaya populer masa lampau, seolah takut generasi sekarang tersesat. Padahal sewaktu makna humor dijelaskan, daya bunuhnya rawan lenyap. Untungnya Anggika Bolsterli senantiasa mencuat sebagai penyelamat tiap komedinya gagal mengenai sasaran, menjadi figur idola bersenjatakan performa gila layaknya "anak teater jarang manggung".
Sampai gangguan itu tiba. (SPOILER ALERT) Alkisah, Karung Goni hendak membongkar pelecehan seksual dosen terhadap mahasiswa yang Soleh dengar langsung dari korban, yang melarangnya memuat cerita itu. Enggan menurut, akhirnya berita tersebut naik cetak. Melawan represi atas fakta dan berkedok "for the greater good", aspek ini mengesampingkan etika, menolak peka kepada korban. Walau filmnya berujung bahagia, di realita, sikap demikian dapat menambah luka batin. Mari memandang dari sisi mereka. Meski untuk kebaikan, apa anda bersedia menguak aib ke khalayak luas tanpa persetujuan? Karena selain berpikir kritis sekaligus lantang melawan, kita perlu sensitivitas didasari rasa kemanusiaan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Tapi diluar kekurangan itu semua, film ini masih layak banget buat ditonton kan bang?
Quality-wise sebagai komedi, layak. Tapi nggak mau merekomendasikan karena gangguan itu :)
kren gan filmnya...
kekurangannya memang cukup berbahaya, perlu dewasa dalam berpikir sebagai jurnalist
tp untuk komedi bersenang senang masih lumayan?
Kalau nggak ada kekurangan itu aja, ini komedi yang fresh kok
makasih gan informasinya
درب لابي
چوبي از نظر زمان بر بودن توليد قيمت نهايي بالاتري دارد
اين نکته قابل ذکر است که وزن
درب ضد حريق
بيشتر از ??? کيلو مي باشدو متناسب به آن بايد در مورد حمل به طبقات با توجه به طول زياد درب هاي توجه زيادي انجام شود
Posting Komentar