Tampilkan postingan dengan label Monty Tiwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Monty Tiwa. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SAYAP-SAYAP PATAH

Saya ingat betul suasana kala kerusuhan pecah selama 36 jam di rutan Mako Brimob Kelapa Dua, pada 8-11 Mei 2018. Walau cuma mengikuti perkembangan lewat berita di media sosial dan televisi, ada perasaan mencekam yang teramat kuat. Bagaimana tidak? Para napi terorisme menguasai tempat mereka ditahan, yang juga markas penegak hukum. That sounds like hell on earth. 

Sebuah peristiwa yang sangat "film material", namun alih-alih melahirkan suguhan intens sekaligus emosional, Sayap-Sayap Patah lebih seperti usaha seadanya (kalau tak mau disebut "malas"), yang asal memakai kerusuhan tersebut, semata sebagai alat jualan. 

Jangan salah, saya tahu maksud pembuatannya apa. Saya tidak naif dan mengharapkan penelusuran mendalam nan kompleks atas peristiwanya. Sayap-Sayap Patah adalah presentasi kepahlawanan polisi sekaligus kampanye anti-terorisme, yang bahkan kurang berhasil menjalankan tugasnya. 

Bereuni dengan sutradara Rudi Soedjarwo sejak Ada Apa Dengan Cinta? 21 tahun lalu, Nicholas Saputra memerankan Aji, anggota Densus 88 yang bertugas memberantas pelaku terorisme di Surabaya. Salah satu rekan Aji diperankan oleh Revaldo. Tahukah kalian bahwa ini kali pertama dua pemeran Rangga (versi film dan sinetron) tampil bersama? Andai reuni serta pertemuan perdana itu terjadi dalam film yang lebih baik.

Target operasi Aji adalah Leong (Iwa K), yang telah banyak merekrut teroris. Perburuan itu menyita banyak waktu Aji, sehingga ia jarang menemani sang istri, Nani (Ariel Tatum), yang tengah hamil tua. Di satu titik Nani memilih pulang ke Jakarta untuk tinggal bersama ibunya (Dewi Irawan) akibat rasa cemas yang mengancam kesehatan kandungannya. Selepas sukses meringkus Leong, barulah Aji menyusul Nani ke Jakarta. Naas, tepat sebelum Nani melahirkan, sekaligus hari pertama Aji bekerja di Mako Brimob, terjadi kerusuhan. Di bawah arahan Leong, para napi mengamuk, menyandera, bahkan membunuh polisi. 

Paragraf di atas menjabarkan alur filmnya sampai sekitar 30 menit terakhir, sebab baru di situlah Sayap-Sayap Patah mulai memaparkan kerusuhan yang jadi sumber inspirasinya. Saya menyebut "30 menit", tapi itu termasuk pembangunan awal dan konklusi. Jika cuma menghitung momen kerusuhan pecah, maka hanya sekitar 20 menit, dari total durasi 110 menit. 

Menjadikan kerusuhan sebagai third act semata sejatinya bukan masalah. Saya bisa berargumen kalau perisitwa itu punya cukup bahan untuk melahirkan satu film utuh, tapi itu berarti saya mengharapkan hal yang bukan jadi tujuan filmnya. Pun bukankah prinsip "quality over quantity" dapat diterapkan? Tapi bahkan eksekusinya terkesan ala kadarnya. Seolah para pembuatnya berpikir, "Ah yang penting ada sekuen kerusuhan". 

Di fase itu Iwa K sebagai teroris intimidatif, dan Nugie sebagai komandan Mako Brimob yang selalu tenang kala menginterogasi penjahat, sama-sama tampil mengesankan. Lebih mengesankan dibanding Nicholas Saputra yang.....well, memerankan Nicholas Saputra. Tapi semuanya terlalu buru-buru. Mendadak dimulai, mendadak usai. Mengubah teror 36 jam menjadi tak sampai semalam sama sekali tidak membantu. 

Kelemahan naskah buatan Monty Tiwa, Eric Tiwa, dan Alim Sudio itu sebenarnya dapat tertolong andai Rudi Soedjarwo menambalnya lewat pengadeganan intens. Sayangnya tidak. Rudy tak mampu menghadirkan gambar-gambar mencekam, sebagaimana ia gagal mengemas aksi dalam sekuen penggerebekan Leong, yang penuh kamera shaky dan koreografi baku tembak clumsy. Tidak mengejutkan. Kapan terakhir kali Rudi merilis film bagus? 

Presentasi dramanya bernasib sedikit lebih baik. Biarpun kerap diganggu oleh sulitnya mendengar ucapan karakter (kadang akibat tata suara buruk, kadang artikulasi pemain yang buruk, kadang keduanya), ada gagasan menarik soal "tiada satu pun yang siap kehilangan". Rudi juga lebih nyaman mengarahkan drama, yang nampak dari timbulnya beberapa guratan emosi. Musik gubahan Andi Rianto turut berkontribusi menambah rasa, walau ada kalanya, lagi-lagi akibat kurang apiknya penataan suara, volumenya terdengar berlebihan. 

Sebagai kampanye anti-terorisme, Sayap-Sayap Patah diawali dengan menjanjikan. Terjadi ledakan bom di kantor lama Aji, dan menyaksikan mayat bergelimpangan bersimbah darah, diiringi tangisan anak kecil, ampuh untuk membuat penonton mengutuk para teroris, yang melakukan aksi biadab dengan kedok "perjuangan menuju surga". 

Tapi apa motivasi Leong menguasai Mako Brimob?. Di kisah aslinya, baik versi polisi maupun napi, sama-sama menyebut bahwa kerusuhan dipicu amarah narapidana. Sedangkan di film, aksi itu telah direncanakan jauh-jauh hari. Bukan tindak impulsif selaku luapan emosi. Saya paham, mungkin pembuat filmnya ingin menghindari potensi penggambaran negatif polisi sekaligus menegaskan kebengisan teroris, namun melihatnya dari kacamata penceritaan, itu merupakan lubang mengaaga. 

REVIEW - MADU MURNI

Madu Murni mengingatkan ke pola banyak naskah teater dari era 70-an hingga 80-an, yang sampai sekarang masih dijadikan bahan belajar para mahasiswa pelakon drama panggung. Kenakalan (baik dalam caranya membicarakan isu sosial maupun elemen seksualitas), monolog yang menyelipkan sentilan tajam, permainan simbol, karakter dengan ciri khas unik cenderung aneh, hingga sempilan keabsurdan. Bukan berarti hasilnya memuaskan, sebab Madu Murni tampil bak pisau tumpul. Kurang tajam dalam menyentil, kurang nakal dalam bermain-main. 

Protagonisnya adalah Mustaqim (Ammar Zoni), mantan guru ngaji yang akibat tuntutan finansial, banting setir menjadi penagih hutang bersama partnernya, Rojak (Tanta Ginting). Tapi sebanyak apa pun uang dihasilkan, sang istri, Murni (Irish Bella), enggan menerima. Murni menentang profesi baru Mustaqim.

Mustaqim merupakan perwujudan maskulinitas. Setidaknya itu yang ia inginkan. Badan kekar, rajin angkat beban, meminta istrinya berhenti berjualan di warung dan jadi ibu rumah tangga, karena malu dianggap tidak sanggup menafkahi. "Harga diri laki-laki" amat dipujanya, sampai kerap menyulut pertengkaran rumah tangga. 

Sebuah pertengkaran pecah di meja makan, saat Murni lagi-lagi menolak uang pemberian suami. Mustaqim berdiri, lalu berseloroh soal memajang uang-uang itu di dinding. Latar, pilihan diksi, serta bagaimana Monty Tiwa selaku sutradara menerapkan one take, jelas mencerminkan pendekatan khas drama panggung. Sayang, monolog itu kurang berkesan gara-gara tiga poin: sebatas banyolan kosong nihil sentilan, akting Ammar Zoni yang belum cukup matang, dan inkonsistensi bahasa. 

Poin terakhir acap kali terjadi. Kadang naskah buatan Musfar Yasin bak produk dari dekade lampau dengan segala kebakuannya, tapi kadang terdengar kekinian. Parahnya, inkonsistensi dapat muncul dalam satu adegan. 

Bingung mesti memberikan uangnya ke siapa, Mustaqim terdorong untuk berpoligami atas saran Rojak. Apalagi ia merasa Murni belum mampu memberinya momongan. Pilihan pun jatuh pada Yati (Aulia Sarah), yang perangainya paling tepat dideskripsikan sebagai "menggoda". 

Saya merasa perlu menekankan "karakterisasi" Yati di atas, sebab Musfar Yasin memang masih terjebak di kedangkalan stigma dalam mengemas karakter wanitanya. Murni adalah istri tua, sehingga ia digambarkan lebih "lurus", alim, dan berhijab. Sedangkan Yati si istri muda gemar berpakaian terbuka, seksi, pula cenderung nakal. Oh, dan tentu ia seorang janda, yang kerap diidentikkan dengan hal-hal negatif.

Singkat cerita (sangat singkat, sampai terasa mendadak), Mustaqim dan Yati menikah. Tapi di malam pertama, Mustaqim justru impoten. Tidak perlu jadi pakar semiotika guna menangkap bahwa impotensi tersebut merupakan sindiran atas obsesi karakternya terhadap maskulinitas. Anggap saja versi lebih ringan dari Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. 

Ringan karena fokus utamanya memang terletak pada komedi soal "burung". Beberapa mampu mengundang sedikit tawa, meski lebih banyak yang gagal mengenai sasaran. Beruntung kegagalan tersebut masih bisa disamarkan oleh tempo penuturan cepat milik Monty Tiwa. Tatkala ada satu humor tampil kurang lucu, kita sudah dibawa berpindah ke momen berikutnya, sebelum sempat merasa terganggu. 

Begitu pun ketika alurnya mulai repetitif, hanya berpindah-pindah antara konflik domestik Mustaqim dan upayanya bersama Rojak menggusur Pak Salim (Jaja Mihardja) dari kediamannya. Lagi-lagi ini pendekatan ala drama panggung dengan keterbatasan kuantitas latar yang dapat dipakai dalam suatu cerita (walau jika diterapkan ke panggung, alur Madu Murni bakal tetap repetitif). Kembali, pacing sang sutradara membuat repetisi naskah tak sampai merusak keseluruhan film. 

Aspek dramatisnya lain cerita. Entah karena keterbatasan akting pemain, keputusan sutradara, atau panduan dari naskah, tiap situasi dramatis selalu menampilkan teriakan. Apa pun pokok masalahnya, siapa pun yang terlibat, seluruh amarah seolah wajib dihantarkan dengan volume teriakan paling tinggi. Baik Irish Bella selaku penampil terbaik maupun Aulia Sarah sebagai sumber hiburan terbesar (akan banyak celotehan "Badarawuhi kok jadi gini?"), bermain dengan prinsip "the louder the better". 

Sedangkan perihal seksualitas, Madu Murni kurang liar kala bermain-main, berhenti di taraf membuat Aulia Sarah tampil menggoda, dan melempar lawakan "penetrasi jari" yang seperti muncul dari otak bocah yang "baru mulai nakal". Ketimbang mengolah itu, naskahnya malah sibuk menghias kantor Boss (Epy Kusnandar) dengan sentuhan performance arts, yang nyeni tidak, lucu pun tidak. Sama seperti keseluruhan filmnya. 

REVIEW - BACKSTAGE

Di suatu kesempatan, Robert Ronny selaku produser sekaligus penulis naskah (bersama Vera Varidia, Monty Tiwa, dan Titien Wattimena), menyampaikan bahwa salah satu inspirasi Backstage berasal dari kasus Milli Vanilli, yang memenangkan Grammy Award, tanpa menyanyikan satu pun lagu di album mereka. Penyanyi bayangan (ghost singer) mengisi suara duo tersebut. 

Backstage pun mengangkat soal penggunaan penyanyi bayangan, yang didasari ambisi akan uang serta popularitas, yang tentu saja melibatkan akal-akalan pelaku industri. Bedanya, karakter film ini bukan semata didorong oleh ambisi personal, pula demi keluarga. 

Alkisah, Elsa (Vanesha Prescilla) rutin mengikuti audisi guna menggapai mimpi menjadi aktris. Sedangkan bagi kakaknya, Sandra (Sissy Priscillia), mimpi adalah kemewahan yang coba ia pendam. Bakat menyanyinya luar biasa, namun demi membantu sang ibu (Karina Suwandi) menyokong finansial keluarga, Sandra memilih berpaling ke realita. 

Pintu kesempatan terbuka, saat Bayu (Verdi Solaiman), seorang produser, berniat menjadikan Elsa penyanyi, pasca menyaksikan video audisinya. Rencana Bayu adalah, mengorbitkan nama Elsa sebagai penyanyi dengan memakai suara Sandra. Baru setelah pamornya melambung, peran di film layar lebar bisa didapat. 

Meski Sandra sempat ragu, mengingat ini sama saja membohongi publik, rencana itu rupanya berjalan mulus. Video Elsa viral, lagunya meledak di pasaran, bahkan Elsa kini bisa menjalin kedekatan dengan idolanya, Michael (Achmad Megantara), penyanyi yang popularitasnya tengah redup. Keuangan keluarga pun seketika membaik. Ketika single perdana baru di tahap awal kesuksesan, rasanya peruntungan yang berubah 180 derajat ini (rumah baru, mobil baru, segalanya baru) terjadi terlampau cepat. Apalagi berkaca pada kondisi Elsa sekeluarga sebelumnya.

Tapi lubang itu hanyalah gangguan minor dibanding keunggulan yang Backstage tawarkan. Naskahnya masih berkutat di beberapa keklisean, baik di progresi alur maupun pilihan kata, namun juga menyimpan banyak ide kuat. Terutama terkait caranya menghantarkan emosi. Contohnya ucapan "Aku berharap Tuhan mindahin suara aku ke Elsa" yang keluar dari mulut Sandra, selaku kalimat dengan daya bunuh terampuh.  

Pastinya akting pemain berperan besar dalam keberhasilan ekspresi emosi Backstage. Walaupun status sebagai saudara sungguhan tentu memberi pengaruh, tapi itu bukan satu-satunya faktor kesuksesan Vanesha dan Sissy menjalin chemistry kuat. Keduanya memang pelakon berkualitas yang sanggup menyuntikkan realisme di tiap interaksi. Khususnya sang kakak, yang mampu mengubah perasaan-perasaan rumit jadi momen menyentuh. Kata-kata bernada dukungan darinya bak pelukan hangat, tangisan sakit hatinya terasa meremukkan. Tambahkan Karina Suwandi, dan Backstage pun memiliki trio yang sangat bisa diandalkan.

Izinkan pula saya memberi pujian khusus untuk Megantara. Aktingnya belum layak disebut "luar biasa", tapi jelas lompatan drastis dibanding sebelumnya. Tidak ada lagi usaha sok keren dengan memberat-beratkan suara. Entah karena ia menyadari kekurangan, atau berkat arahan Guntur Soeharjanto selaku sutradara, mana pun tak masalah. Peningkatan adalah peningkatan.

Terkait penyutradaraan, seperti biasa Guntur ahlinya mengkreasi adegan agar terlihat mahal. Dibantu tata kamera Hani Pradigya, bukan cuma di adegan-adegan yang melibatkan aksi panggung, peristiwa sederhana pun dibuat memanjakan mata. Kekurangan Guntur sejak dulu masih sama, yakni soal belum mulusnya penyampaian emosi (kadang artificial, kadang timing-nya meleset, kadang pilihan shot-nya kurang mendukung), yang untungnya berhasil ditambal oleh departemen lain.

Klimaksnya jadi puncak pencapaian hampir seluruh departemen. Vanesha dan Sissy bertukar rasa secara luar biasa lewat nyanyian (menekankan pesan "mendapatkan kekuatan melalui kebersamaan"), naskahnya jeli mengolah keintiman kedua tokoh utama saat memberi jeda sebelum memasuki puncak lagu (you'll know it when you see it), sementara musiknya jadi amunisi yang efektif.

Terdapat beberapa nomor familiar, sebutlah Seberapa Pantas, Terbaik Untukmu, hingga I Remember, tapi yang paling menonjol adalah original soundtrack berjudul Melangkah gubahan Andi Rianto dan Monty Tiwa. Langsung menempel di kepala, kuat menyentuh hati. Sama seperti filmnya sendiri. 

REVIEW - KUKIRA KAU RUMAH

Ada kekhawatiran sebelum menonton adaptasi lagu berjudul sama milik Amigdala ini. Perihal kesehatan mental (dalam konteks film ini, bipolar) amat penting, tapi jika ditangani secara keliru, justru bisa melanggengkan stigma negatif dan kesalahan-kesalahan persepsi publik awam. Untungnya Kukira Kau Rumah, selaku debut penyutradaraan Umay Shahab (juga menulis naskah bersama Monty Tiwa dan Imam Salimy), dibuat dengan ketepatan, didasari kesadaran atas urgensi temanya. 

Karena bipolar yang ia derita, Niskala (Prilly Latuconsina) merasa hidup dalam kurungan. Biarpun sang ibu (Unique Priscilla) cenderung suportif, ayahnya (Kiki Narendra) bersikap sangat protektif. Bahkan Niskala mesti berkuliah secara diam-diam di belakang sang ayah. Kedua sahabatnya sejak kecil, Dinda (Shenina Cinnamon) dan Oktavianus (Raim Laode), jadi pemberi kekuatan terbesar, yang senantiasa mendukung dan menjaga Niskala. 

Lalu Niskala bertemu Pram (Jourdy Pranata), seniornya di kampus, sekaligus aspiring singer yang rutin menulis lagu, namun belum mendapat kesempatan memperdengarkannya ke khalayak. Serupa Niskala, Pram juga merasakan lubang di hidupnya. Dua individu yang akrab dengan sepi ini pun akhirnya saling mengisi lewat musik, kemudian menemukan "rumah" dalam diri satu sama lain.

Alurnya memang tidak jauh-jauh beranjak dari formula romansa tentang sepasang individu "bermasalah" yang bersatu lalu saling menguatkan. Tapi bagaimana elemen kesehatan mental diterapkan, tanpa harus jatuh ke ranah iklan layanan masyarakat, adalah suatu pencapaian. Apalagi, seperti saya singgung di atas, penggambarannya akan bipolar tergolong tepat.

Memang presentasinya masih di tataran permukaan, namun mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat kita mengenai bipolar, "perkenalan" seperti ini saja rasanya sudah memadai. Salah satu poin terpenting adalah pengenalan dua sisi, yakni manik dan depresif, pada pengidap bipolar.

Masih banyak yang mendefinisikan bipolar sebagai "mudah ngamuk". Kukira Kau Rumah meluruskannya lewat sebuah sekuen, kala suasana hati Niskala berubah secara ekstrim, dari luapan emosi tinggi (mania) ke rendah (depresi). Sebagai sutradara dan penulis, Umay tahu batasan antara "informatif" dan "iklan layanan masyarakat". Dia memotret kondisi karakternya, menampilkannya, tanpa dibumbui penjabaran cerewet bak sebuah kelas. 

Sedangkan kisah cintanya pun mampu tampil solid. Saya terpikat pada momen kali pertama Niskala dan Pram berduet di atas panggung. Selain karena lagu Belenggu memang manis (bukan cuma titular song milik Amigdala, Kukira Kau Rumah punya deretan soundtrack apik, yang beberapa di antaranya buatan Umay sendiri), Prilly dan Jourdy pun saling berbagi rasa, melahirkan momen yang berhasil ditangkap oleh sang sutradara berkat sensitivitasnya atas romantisme. 

Prilly luar biasa di sini, memamerkan totalitas dengan range yang cukup luas, guna menghidupkan dua sisi pengidap bipolar. Juga kuat dalam mengolah rasa walau dengan porsi kemunculan terbatas adalah Unique Priscilla dan Kiki Narendra. Unique melalui kehangatan, sedangkan Kiki sejak awal bak gunung berapi, yang kita tahu nantinya bakal meletus, pula dengan kadar letusan tidak main-main.

Solidnya presentasi Kukira Kau Rumah sayangnya agak terganggu oleh cara konklusinya dikemas. Di situ terjadi peristiwa mengejutkan yang tak bisa saya sebut. Apakah peristiwa itu sebuah ketidaksengajaan? Atau memang disengaja? Jika disengaja, apa alasan di belakangnya? Dampak emosi berkurang, bahkan memunculkan kebingungan, akibat kurang jelasnya penyampaian gejolak batin salah satu tokoh (bukan cuma di peristiwa itu, juga di keseluruhan cerita), baik di naskah maupun cara Umay merangkai bahasa visual. 

Kekurangan tersebut hadir pada babak konklusi, sehingga berdampak cukup besar (ending can make or break a movie). Tapi tidak mengurangi fakta, bahwa Kukira Kau Rumah, selain dieksekusi dengan solid, juga penting disimak, guna memperluas pemahaman seputar kesehatan mental, khususnya bipolar. 

(JAFF 2021)

REVIEW - GHIBAH

Saya punya kenalan yang....."unik". Bercandaannya selalu garing. Begitu garing, sampai sering terasa menyebalkan. Tapi saat serius malah bisa membuat teman-teman tertawa, karena dia sangat buruk dan canggung dalam tiap hal yang dilakukan secara sungguh-sungguh. 

Orang itu sekarang sehat. Tapi saya tidak, gara-gara menonton Ghibah, yang ciri-cirinya hampir sama, bahkan lebih parah, dibanding teman saya tadi. Sewaktu melempar humor (yang mana kerap dilakukan), saya malah kesal, karena selain sering tidak lucu, pula berkali-kali salah tempat. Sebaliknya, ketika meneror, hasilnya buruk, cenderung konyol, hingga memancing tawa. 

Jadi, bagaimana ghibah bisa berujung maut? Pertama, mari berkenalan dulu dengan Firly (Anggika Bolsterli), seorang mahasiswi yang aktif terlibat di kegiatan jurnalistik kampus. Firly adalah vegetarian, sehingga kala diminta menggantikan tugas Yola (Josephine Firmstone) yang sakit untuk meliput acara penyembelihan kurban, Firly sebenarnya keberatan. 

Terkejutlah Firly, saat mendapati unggahan foto di Instagram Yola, yang memperlihatkannya sedang berada di hotel. Esoknya, Firly marah-marah di depan umum, menuduh Yola "check-in" di hotel dan meninggalkan tanggung jawab. Artinya, FIRLY SUDAH MELAKUKAN GHIBAH!! (cue musik dramatis).

Apa dampaknya? Tentu saja didatangi jin Ifrit. Karena dosa serta ancaman siksa api neraka saja tidaklah cukup. Firly berhalusinasi, dari mengelupas kulit wajah (dalam balutan gore over-the-top yang harus diakui cukup efektif), sampai memakan daging yang dia kira tempe. Teman satu kosnya, Okta (Adila Firti), juga bernasib sama, akibat menulis berita palsu tentang perselingkuhan dosen dan mahasiswi. 

Kenapa tidak semua pelaku ghibah didatangi Ifrit? Naskah buatan Monty Tiwa (juga sebagai sutradara), Aviv Elham, Riza Pahlevi, dan Vidya Talisa Ariestya, luput menerapkan standar pasti terkait kehadiran Ifrit. Apakah saya yang terpancing melakukan ghibah di grup Whatsapp dan Twitter saat menonton film ini juga bakal dihantui? Kalaupun iya, setidaknya saya hafal ayat kursi, yang rupanya cukup untuk menumpas Ifrit, sebagaimana dilakukan Asri Welas.

Anda tidak salah baca. Asri Welas memerankan Umi Asri, ibu kos Firly sekaligus keturunan Mataram yang sakti. Pilihan tidak biasa, namun saya mengapresiasi. Tidak semua karakter orang sakti atau dukun atau indigo harus digambarkan serius, misterius, dan memakai baju serba hitam. Pun Asri, bersama Opie Kumis (memerankan Mang Opie, suami Umi Asri), tetap menangani momen komedik, yang seperti saya sebutkan, tidak lucu.

Bukan salah keduanya. Naskahnya memaksa menabur komedi setiap ada celah. Selain Asri dan Opie, dua penghuni kos lain, Ulfa (Arafah Rianti) dan Dina (Zsa Zsa Utari) juga dituntut melakukan hal serupa. Jika diibaratkan masakan, humor film ini bukan bumbu, melainkan tambahan lauk yang terus dijejalkan ke mulut kita, sampai terasa muak dan mual. 

Saat tidak melucu, Ghibah malah mengocok perut lewat kekonyolan, yang muncul karena eksekusi buruk. Misal, penampakan hantu di handphone Firly yang bak sedang selfie sambil memasang pose sok genit, ucapan "sosisnya enak ya" dari mulut Yola sewaktu berhalusinasi dan memakan jarinya sendiri, sampai desain hantu berlidah panjang yang mengingatkan ke boneka-boneka berwajah tumpahan bubur ayam khas era keemasan Dheeraj Kalwani alias Baginda Maha Besar KKD dahulu. Oh, benar juga. Saya lupa Ghibah diproduksi Sang Agung KKD. Mau berharap apa lagi? 

Masih banyak contoh lain, tapi kalau dilanjutkan, saya khawatir Ifrit benar-benar datang. Jadi, mari beralih ke pujian. Anggika Bolsterli tampil total. Ekspresi takut, jijik, semua dilakukan 100%. Tapi Anggika pantas mendapat film yang 12483749 kali lipat lebih bagus. Dia pantas mendapat tantangan lebih, di horor yang memberinya materi memadai. 

Teror apa yang paling sering menimpa Firly? Jawabannya, "kecipratan". Kecipratan darah kambing, darah teman sendiri, sampai cairan hijau kehitaman dari toilet. Rasanya itu cukup menjelaskan, seberapa kreatif orang-orang di balik Ghibah. Film ini lebih tepat disebut Kecipratan The Movie. 

Tersimpan beberapa niat baik di sini, seperti menyampaikan wejangan agar menghindari ghibah, dan mengutarakan tentangan atas kekerasan hewan. Bagus, meski bakal lebih bagus kalau diimbangi dengan kualitas yang juga bagus. 

Ada pula upaya menghembuskan diversity melalui karakter Dina, yang beragama Kristen, dan diajak ikut berdoa sesuai kepercayaannya ketika proses pengusiran jin. Tapi menjadi percuma, karena pada akhirnya, film ini tetap Islam-sentris. Dina malah seperti terkucilkan, layaknya minoritas di realita, yang terjebak dalam hegemoni para mayoritas, yang.....ah, sudahlah. Saya sudah melantur. Ghibah memang film tentang anti-ghibah yang memancing penontonnya untuk melakukan ghibah.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

REVIEW - LAYLA MAJNUN

Film terbaru buatan sutradara Monty Tiwa ini dibuat berdasarkan kisah cinta Layla dan penyair bernama Qays ibn al-Mullawah dari abad ke-7, yang telah diabadikan melalui banyak media, salah satunya puisi Layla and Majnun karya Nizami Ganjavi yang ditulis pada 1188. Acha Septriasa memerankan Layla, sosok wanita religius, mandiri, sekaligus cerdas. Dia menjalani hidup sesuai keinginannya, baik sebagai pengajar sebuah pondok pesantren, maupun penulis novel. 

Hingga suatu hari, ia dipaksa menjalani perjodohan dengan Ibnu (Baim Wong), teman masa kecilnya sekaligus calon bupati. Awalnya Layla menolak. Selama ini ia begitu vokal menentang perjodohan, khususnya jika itu merenggut kebebasan seorang wanita. Tapi karena sang ibu (Dian Nitami) sudah banyak menerima bantuan dari ayah Ibnu (August Melasz), Layla tak mampu menolak. Selepas kepergiannya selama dua minggu ke Azerbaijan untuk menjadi dosen tamu, Layla bakal langsung menikahi Ibnu. 

Di sanalah Layla bertemu Samir (Reza Rahadian), salah satu mahasiswanya, yang dahulu sempat belajar di Indonesia. Hanya dalam waktu singkat, Layla yang di awal film enggan menikah, seketika jatuh hati kepada Samir. Apakah masuk akal? Pertanyaan itu bakal selalu bisa dimentahkan dengan jawaban, "Bukankah cinta memang tidak logis?", sehingga izinkan saya memodifikasinya sedikit. "Apakah penonton bisa mempercayai cinta keduanya?". 

Naskah buatan Alim Sudio kurang berhasil menciptakan rasa percaya itu. Ya, Samir jatuh hati setelah karya Layla menyembuhkan lukanya (elemen yang bisa ditarik ke gagasan lebih besar, soal kekuatan dari keindahan suatu karya literatur mengobati luka suatu bangsa tanpa memedulikan sekat jarak dan budaya). Tapi bagaimana dengan Layla? Andai tidak ada perjodohan, akankah Layla sebegitu mencintai Samir? Andai perangai Ibnu tak menghasilkan perbandingan "baik vs buruk" yang jomplang, akankah Layla sebegitu mencintai Samir?

Kalau bukan karena performa Reza dan Acha, mungkin Layla Majnun bakal hambar, pula menjemukan. Keduanya membuat saya betah melakoni perjalanan menikmati pemandangan Azerbaijan, yang ditangkap dengan cukup baik oleh Anggi Frisca selaku penata kamera. Acha selaku kuat perihal mengolah emosi, sedangkan Reza kembali membuktikan, kalau tuntutan berbicara menggunakan logat asing (sesekali bahasa setempat juga dipakai) tak mengahalangi ekspresi rasanya.

Ending-nya berusaha menjauhkan film ini dari tragedi yang mengisi kisah aslinya. Bukan semata demi akhir bahagia yang lebih disukai penonton, melainkan wujud pesan dari naskahnya, seputar ikatan keluarga. Gagasan yang menarik, walau lemahnya eksplorasi soal elemen kekeluargaan, membuat keputusan tersebut lebih mudah diapresiasi ketimbang dicintai.


Available on NETFLIX

REVIEW - NONA

“Perjalanan adalah sebuah proses untuk mengerti”, ucap Nona (Nadya Arina) saat mengakhiri kisahnya. Nyatanya, sulit mengerti apa yang coba disampaikan filmnya, maupun proses apa yang dilalui karakternya. Saya kerap mendengar sebuah prinsip dari para pendaki, bahwa “perjalanan lebih penting daripada destinasi”. Nona bak miskonsepsi atas prinsip tersebut, di mana destinasi seolah dikesampingkan, sampai titik di mana tidak ada kejelasan.

Alkisah, terjalin persahabatan antara Nona dengan Ogy (Augie Fantinus). Ogy selalu ada bagi Nona. Sejak kecil, saat pertengkaran orang tua mengisi hari-harinya, hingga dewasa, ketika Nona mulai menjalin romansa bersama pria lain, tanpa tahu kalau sang sahabat diam-diam mencintainya. Lalu terjadilah tragedi. Ogy meninggal setelah terjatuh dari gunung. Anggi Frisca (Negeri Dongeng) selaku sutradara mengeksekusi momen tersebut dengan begitu meyakinkan, melahirkan intensitas tinggi walau kemunculannya bisa ditebak, berkat minimnya “trik” kamera serta penyuntingan.

Kehilangan itu menarik Nona, yang sudah dihantam banyak masalah termasuk kekasihnya yang abusive, lebih jauh ke jurang depresi. Kemudian keajaiban terjadi. Ogy kembali, namun dalam wujud boneka orang utan yang ia berikan kepada Nona sebagai kado ulang tahun. Apakah itu memang keajaiban? Atau sebatas sistem pertahanan diri Nona yang makin terguncang mentalnya? Filmnya tak memberi jawaban gamblang, tapi naskah buatan Monty Tiwa menanam beberapa petunjuk yang jelas mengarah ke satu sisi, yang juga menggambarkan dinamika psikis protagonisnya.

Nona memutuskan membawa Ogy ke Azerbaijan, guna mengunjungi pegunungan yang diduga sebagai lokasi terdamparnya kapal Nabi Nuh. Muncul pertanyaan. Bagaimana Nona bisa semudah dan secepat itu memutuskan pergi ke Azerbaijan? Kita tidak pernah tahu pekerjaannya, pun ia tak nampak berasal dari keluarga kaya. Filmnya memilih menutup mata atas detail penokohan tersebut.

Kembali soal kapal Nabi Nuh. Konon, kapal itu membawa semua hewan di dunia, masing-masing sepasang. Nabi Nuh menyelamatkan hewan-hewan itu dari akhir dunia. Nona pun ingin jadi penyelamat, meski sejatinya, dialah yang perlu diselamatkan. Jadi perjalanan ke Azerbaijan membahas tentang itu? Saya tidak yakin, sebab sepanjang durasi, kita lebih sering melihat Nona terjebak dalam masalah-masalah yang dipicu penyimbulan terburu-buru, sehingga ia tak sempat mengetahui realitanya (kabur setelah mengira sudah menusuk penjaga toko, mencuri ayam akibat tidak memahami bahasa setempat).

Sebagai suatu road trip, film ini tak punya destinasi dan proses jelas. Alhasil perjalanannya tak memunculkan dampak emosional. Dibantu sinematografi garapan Yudi Datau, sekali lagi Anggi membuktikan kelihaian menangkap keindahan alam melalui lanskap-lanskap memukau. Tapi keindahan itu terasa semu. Hampa. Semakin jauh filmnya melangkah dan karakternya tersesat, penonton pun dibuat sama tersesatnya.

Emosi kurang berhasil disalurkan, salah satunya juga akibat humor yang tidak pada tempatnya. Benar bahwa Ogy versi orang utan hadir guna menghibur Nona, tapi voice over Augie acap kali berlebihan melontarkan humor konyol, termasuk pada saat tidak dibutuhkan sekalipun. Beruntung Nona punya Nadya Arina, yang di titik ini, sanggup mengangkat film seorang diri. Tangisannya bakal menyesakkan dadamu, sedangkan senyumnya membuatmu ingin Nona tiba di tempat yang lebih baik.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

MAHASISWI BARU (2019)

Pada satu titik, Sarah (Mikha Tambayong) menawarkan bantuan ada Lastri (Widyawati) yang tak mempunyai laptop agar mengerjakan tugas di kamarnya. Mereka turut mengajak Reva (Sonia Alyssa) yang duduk sendirian dengan wajah muram. Adegan ini bukan momen paling dramatis dalam Mahasiswi Baru, tapi merangkum inti filmnya tentang “menemukan orang yang mencintai kita saat kita jatuh, tersesat, dan kesepian”, secara sederhana namun efektif.

Begitulah kondisi Lastri kala pertama kita menemuinya karena ia baru saja kehilangan sosok terkasih. Merasa perlu menjalani hidup semaksimal mungkin (dan satu alasan lain yang filmnya simpan), Lastri memutuskan berkuliah meski usia sudah menginjak kepala tujuh. Sang puteri, Anna (Karina Suwandi) dibuat pusing ketika Lastri mulai kerap pulang larut, bahkan terluka akibat terjebak tawuran.

Universitas Cyber Indonesia jadi kampus pilihannya. Setelah menyulut kehebohan di hari ospek—yang menampilkan penampilan berkesan meski singkat dari Della Dartyan dan Ananta Rispo—Lastri menjalin pertemanan dengan empat orang: Sarah yang bermimpi menjadi desainer, Reva yang sering bermalam di kampus dan selalu mengantuk, Erfan (Umay Shahab) si aktivis, dan Danny (Morgan Oey) si selebriti-wannabe yang senantiasa membuat live di Instagram.

Bersama, mereka kerap terlibat masalah, membuat Chaerul (Slamet Rahardjo) selaku dekan kelimpungan. Begitu bermasalah, Lastri sempat dua hari beruntun dibawa ke kantor dekan, “memaksa” Chaerul mengucapkan kalimat sama persis dalam dua kesempatan tersebut (Lastri akan dikeluarkan bila di akhir semester nilainya di bawah rata-rata). Entah trio Sarahero, Monty Tiwa (Critical Eleven, Lagi-Lagi Ateng), dan Jujur Prananto (Petualangan Sherina, AADC?, Doremi & You) selaku penulis naskah lalai, atau bentuk kesengajaan sebagai penekanan yang justru terkesan repetitif.

Hal yang walau diulang tak pernah melelahkan adalah interaksi antara Lastri dan “gengnya”, masing-masing dengan ciri komedik kuat yang tak pernah gagal memancing tawa berkat kemampuan jajaran pemain memanfaatkan ciri tersebut. Umay kembali membuktikan ketenangan dan kenaturalan aktingnya, sementara Morgan menghibur lewat kepiawaian bertingkah alay serta melontarkan catchphrase “asolole” dan “guys”. Celetukan hasil improvisasi Morgan bahkan memaksa Umay dan Mikha susah payah menahan tawa di adegan “teras”, yang justru menambah kelucuan.

Bagaimana dengan Widyawati? Rupanya, selain kelucuan di trailer masih banyak yang sang aktris legendaris tawarkan. Beliau jelas melucu, tapi bukan lewat usaha tampak sekonyol mungkin, melainkan dengan memahami bahwa kondisi di mana orang tua bertingkah bak anak muda sudah merupakan pemandangan menggelitik. Cukup berlaku sewajarnya (tentu tetap menabur sedikit bumbu).

Sudah bisa ditebak, akting dramatiknya pun tidak kalah apik, berkat kebolehan “berganti wajah” secara berulang, dari seorang nenek konyol menjadi sosok penyayang, dan sebaliknya. Transformasi yang lebih mulus dibandingkan penyutradaraannya. Monty kuat perihal menangani adegan yang hanya melibatkan drama. Tengok saat Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki mengiringi momen intim banjir air mata Lastri dan Anna. Tapi jika drama itu bersandingan dengan komedi, tercipta kekacauan rasa yang membingungkan.

Contohnya pertengkaran Lastri-Anna di meja makan. Amarah keduanya tersulut akibat topik pembicaraan sensitif, namun Amri (Iszur Muchtar), suami Anna, selalu melemparkan celotehan-celotehan konyol, bahkan sewaktu tensi berada di puncak dengan musik melodramatis masih mengalun di belakang.

Naskahnya juga menyimpan masalah. Chaerul mengancam akan mengeluarkan Lastri apabila nilainya jeblok, tapi tak sekalipun kita menyaksikan prosesnya mengejar ketinggalan. Kita hanya tahu IPK-nya berhasil melonjak jauh di akhir. Persoalan ancaman Chaerul pun diselesaikan bukan oleh perjuangan Lastri, melainkan berkat bantuan subplot tentang Reva, yang signifikansinya layak dipertanyakan karena tidak lebih dari sekadar tambalan ketimbang elemen yang mempengaruhi alur utama.

Biarpun Mahasiswi Baru kekurangan proses pembelajaran akademis Lastri, percintaannya dengan Chaerul adalah hubungan yang manis. Karena merupakan romantika dua individu berusia tua, tiap rayuan atau gombalan jelas bukan asmara omong kosong, namun ekspresi kebahagiaan ketika menemukan individu yang dapat diajak “berdansa” menikmati “lagu” sebelum “lagu” tersebut usai.

POCONG THE ORIGIN (2019)

Pocong the Origin, selaku (meminjam istilah Monty Tiwa) “reinkarnasi” Pocong (2006) yang dilarang tayang oleh LSF karena dianggap membangkitkan luka lama  terkait tragedi 1998 (konon film ini dibuat berdasarkan naskah sama), berusaha mencampur elemen horor dengan komedi, mengingatkan akan judul-judul legendaris Suzzanna. Tapi ada satu masalah besar: filmnya gagal tampil menyeramkan.

Adegan pembukanya menjanjikan, kala pembunuh berantai bernama Ananta (Surya Saputra) sedang menanti waktu eksekusi sambil mendengarkan lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama milik Sundari Soekotjo. Saya menyukai keputusan film ini memakai nomor-nomor keroncong, yang di balik keindahannya sebagai karya seni, menyimpan mistisisme yang dapat menciptakan kengerian bila digunakan secara tepat.

Selepas dieksekusi, jenazah Ananta mesti dimakamkan di kampung halamannya sebelum lewat 24 jam. Jika tidak, ilmu banaspati yang ia miliki akan terus bangkit. Karenanya, Sasthi (Nadya Arina), puteri tunggal Ananta yang hidup menyendiri di bawah tekanan sosial akibat status sang ayah, ditemani Yama (Samuel Rizal) si sipir penjara, mesti mengantar jenazah itu, dalam sebuah perjalanan penuh gangguan gaib.

Jalur menarik ditempuh Pocong the Origin, sebagai horor lokal langka (kalau bukan satu-satunya) yang meminjam unsur film road trip. Sayang, naskah besutan Monty bersama Eric Tiwa (Laskar Pemimpi, Barakati) tak cukup kreatif dalam menangani elemen tersebut, dan berujung melahirkan repetisi. Gangguan terjadi tiap Yama dan Sasthi menghentikan perjalanan, yang tidak pernah jauh dari dua hal, yakni antara Yama ingin kencing atau mobil yang rusak. Pun respon keduanya hampir selalu sama: membuka telepon genggam, lalu mengeluhkan hilangnya sinyal.

Seperti telah saya sebut, Pocong the Origin berniat menciptakan lagi sensasi horor-horor Suzzanna. Filmnya ingin memancing keriuhan penonton, di mana kita diharapkan berteriak histeris sembari tertawa lepas. Tawa bisa ditemukan berkat humor efektif berupa situasi jenaka saat tokoh-tokohnya dibuat tunggang langgang oleh penampakan hantu, namun teriakan ketakutan urung hadir.

Menolak mengeksploitasi jump scare pantas diapresiasi, tapi pilihan itu tak otomatis membuat terornya lebih berdampak. Padahal Monty adalah orang di balik adegan penampakan pocong paling mengerikan sepanjang masa di Keramat (2009). Bukan cuma itu, kali ini Monty sempat coba melakukan “reka ulang” terhadap adegan “keranda mayat” dari film tersebut, tapi gagal memproduksi intensitas serupa. Terlebih, bagi sebagian penonton, riasan bagi para hantu di momen tersebut mungkin bakal tampak menggelikan.

Sedangkan perihal membangun atmosfer melalui penerangan minimalis justru kerap menjadi bumerang. Tidak jarang adegan tampil terlampau gelap, meski harus diakui, gambar-gambar memikat masih bisa sesekali ditemukan, berkat kelihaian Anggi Frisca (Sekala Niskala, Negeri Dongeng, Night Bus) selaku penata kamera bermain cahaya.

Jajaran pemain berusaha maksimal, khususnya Samuel dan Nadya. Semenjak Target tahun lalu, Samuel mengambil jalur tepat bagi babak baru karir layar lebarnya, dengan menjauh dari peran “cowok keren”, dan berani memainkan sosok konyol. Di sini ia tampil menghibur, meski saya bingung, bagaimana bisa momen saat ia salah mengucap “mas” menjadi “mbak”, lolos dari penyuntingan. Sementara Nadya cukup solid memerankan gadis yang terjebak di konflik batin. Biarpun amat menyayangi sang ayah, ia tak bisa menyangkal  jika Ananta adalah pembunuh berantai. Sebuah dilema menarik yang tidak sanggup dipresentasikan secara memuaskan oleh naskahnya.

“Lawan” Nadya adalah Jayanthi (Della Dartyan), jurnalis yang diam-diam mengikuti Yama dan Sasthi demi memperoleh berita, sambil mengusung alasan personal karena sahabatnya merupakan salah satu korban Ananta. Ketimbang drama thought-provoking berupa gesekan argumen dua pihak berlawanan, kita hanya disuguhi debat kusir tanpa akhir maupun jiwa, tatkala hanya volume suara yang meninggi, bukan kadar emosi.

Sebagaimana nasib banyak horor belakangan baik dalam atau luar negeri, Pocong the Origin kesulitan menciptakan babak ketiga yang mumpuni. Setelah lama menanti, konfrontasi final ketika banaspati mencapai puncak kekuatan berkat keberadaan blood moon, malah berujung pertarungan canggung nan antiklimaks, yang gagal menangkap reputasi pocong sebagai salah satu hantu Indonesia paling mengerikan.

POHON TERKENAL (2019)

Daripada propaganda penuh usaha mengagungkan Akademi Kepolisian (Akpol) atau iklan layanan masyarakat berkedok film, saya mengapresiasi usaha Pohon Terkenal tampil ringan nan menghibur dengan memakai sampul film romansa anak muda. Walau bagaimana ceritanya bergulir bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan. Lahir satu lagi film dengan niatan baik namun tersandung penuturan lemah di mana beberapa konflik selesai secara ajaib, sedangkan lainnya ditinggalkan begitu saja untuk hilang tanpa bekas.

Judulnya merujuk pada sebutan bagi biang onar di Akpol. Para biang onar itu adalah tiga sahabat: Johanes (Raim Laode) si jenaka dari Papua, Ayu (Laura Theux) si anak jenderal yang punya hubungan renggang dengan sang ayah, dan Bara (Umay Shahab) yang terpaksa masuk Akpol karena terlanjur bernazar saat berdoa demi kesembuhan ibunya.

Di antara ketiganya, Bara paling sering membuat masalah, yang bahkan kerap membuat satu angkatan dikenai tindakan (hukuman). Dia bahkan sempat mencoba kabur di satu titik, sebab baginya tak ada alasan untuk tetap tinggal menjalani pelatihan keras di sana. Sampai romansa antara ia dan Ayu mulai bersemi, memberi Bara alasan bertahan di Akpol. Apakah nantinya Bara menemukan alasan selain cinta? Rupanya tidak.

Saya mengira alasan lain itu bakal muncul dalam wujud sang ibu, tapi elemen ibu-anak yang dibangun di awal, hilang sejak pertengahan tanpa memberi emotional payoff sepantasnya. Hal serupa menimpa konflik antara Ayu dengan salah satu senior Taruni yang menuduhnya bersikap manja sebagai puteri jenderal. Pertikaian panas mereka yang bahkan sempat menjurus ke arah benturan fisik mendadak usai, sama mendadaknya dengan menguapnya cemoohan publik terhadap protagonis kita pasca mereka melakukan suatu pelanggaran serius.

Bahkan Pohon Terkenal ditutup lewat cara serupa, sehingga bukan mustahil banyak penonton akan mengira filmnya belum usai. Ketimbang menutup secara pantas, diselipkanlah voice over merangkup nasib karakter-karakternya selepas masa pendidikan yang terasa seperti sebuah langkah malas, kemudian disusul mid-credits scene dengan eksekusi cringey. Tapi saya berbohong jika berkata tidak sekalipun merasa terhibur. Beberapa humornya bekerja cukup baik, khususnya yang melibatkan karakter komikal Johanes.  

Sedangkan romansanya diawali kurang meyakinkan akibat sebuah adegan “ciuman di kening” yang terasa canggung (for the wrong reason), sebab naskah serta penyutradaraan Monty Tiwa (Critical Eleven, Lagi-Lagi Ateng) yang berduet bersama mantan asistennya, Annisa Meutia, menghasilkan proses stimulus-respon yang aneh. Setidaknya performa Laura dan Umay menjadikan romansanya layak tonton. Laura memancarkan aura gadis bertekad kuat, sementara Umay cukup piawai bermain rasa.

Satu hal yang melukai akting Umay adalah tubuhnya. Bukan, ini bukan komentar bernada bodyshaming, melainkan murni logika. Diceritakan, Bara menjalani empat tahun latihan keras di Akpol, namun tubuh sang aktor tak memperlihatkan itu. Gesturnya lembek, posturnya jauh dari tegap, dan tubuhnya belum mengering (berbeda dengan kurus). Dia masih tampak bagai remaja awal yang baru lulus SMA.

Saya tak pernah tertarik pada Akpol atau instansi serupa lain. Walau Pohon Terkenal takkan tiba-tiba memancing rasa kagum, saya suka caranya menggambarkan Akpol sebagai tempat di mana hal-hal keseharian seperti jatuh cinta dan persahabatan bisa terjadi. Penuh ketegasan, tapi bukan neraka dunia, sebab perbedaan ras, agama, atau gender tak jadi masalah. Bukannya membusungkan dada soal kehebatan Akpol, film ini menginformasikan bahwa mereka membuka tempat membangun masa depan bagi masyarakat dengan finansial lemah. “Daripada menganggur tanpa arah, lebih baik masuk Akpol”. Biar bagaimanapun, saya mengamini pernyataan tersebut.

Pohon Terkenal tak lupa menyinggung dualitas peran anggota kepolisian, yakni sebagai individu dan pelayan negara lewat hubungan Ayu dengan sang ayah (Cok Simbara), yang meski pendek pula urung menyentuh tingkat emosi yang diharapkan, cukup selaku penjelas kondisi di atas. Presentasinya pun bukan melalui teriakan nasionalisme berlebihan, tapi tuturan hangat. Andai saja naskah hasil tulisan Monty Tiwa, Annisa Meutia, dan Lina Nurmalina (Bukan Bintang Biasa The Movie, Istri Bo’ongan) mampu tampil solid guna menyokong pesan baik filmnya.

MATT & MOU (2019)

Tidak semua film perlu cerita kompleks atau mengusung konflik berat. Terkadang, kesederhanaan dan sentuhan ringan justru opsi terbaik. Semua tergantung kebutuhan. Matt & Mou adalah contoh terkini tentang bagaimana kegagalan menyadari itu berujung melemahkan filmnya, yang sebenarnya merupakan romansa remaja ceria nan menyenangkan, andai tak dibarengi hasrat “melakukan lebih”.

Di antara Matt (Maxime Bouttier) dan Mou (Prilly Latuconsina) terjalin hubungan “kakak-adik” yang bersemi sejak keduanya bertemu semasa kecil. Matt dan Mou tinggal bersebelahan, dalam dua rumah yang—sama semaraknya dengan pertemanan mereka—dikelilingi warna-warni pastel juga motif bunga-bunga menghiasi dinding. Sebuah sentuhan artistik apik yang sempurna mewakili hubungan dua tokoh utamanya.

Bentuk interaksi mereka pun menggemaskan, dari memanggil diri sendiri memakai nama hingga bicara melalui telepon kaleng yang menghubungkan kedua kamar. Mereka begitu dekat, sampai Mou membutuhkan persetujuan Matt tentang siapa lelaki yang pantas menjadi kekasihnya. Matt sendiri belum pernah berpacaran, dan kita tahu pasti alasan yang ia pilih untuk pendam.

Sampai suatu hari, Mou benar-benar jatuh hati kepada Reza (Irsyadillah), penyanyi cafe yang dikenalnya lewat Instagram. Tentu Matt enggan semudah itu memberi Reza jalan. Syarat-syarat berat ia ajukan sebelum merestui Reza dan Mou berpacaran. Di sinilah Matt & Mou semestinya “berhenti”. Di situlah sebaiknya naskah buatan Alim Sudio (Kuntilanak, Chrisye, Ayat-Ayat Cinta 2), yang mengadaptasi novel berjudul sama Wulanfadi, meletakkan fokus alih-alih melangkah menuju rangkaian problematika kelam.

Mou berasal dari keluarga yang jauh dari kata harmonis. Elemen ini bukanlah permasalahan, selama bertujuan menguatkan serta memperdalam penokohan. Bahkan eksistensi Matt bisa saja menjadi lebih bermakna karena elemen tersebut. Tapi sayangnya tidak demikian. Matt & Mou memilih memperluas cakupan begitu mencapai sebuah titik balik berupa twist. Sejak itu, alur bukan lagi mengetengahkan relasi dua protagonis, yang akhirnya melemahkan intimasi yang semestinya merupakan menu utama.

Titik balik itu pun terlalu kelam, memberi distraksi dan inkonsistensi tone bila disandingkan rasa manis yang dijadikan jualan utama filmnya, walau paling tidak, berkat aspek tersebut, kita berkesempatan melihat performa solid Marthino Lio sebagai sang antagonis. Tidak jelas apa yang coba diraih twist-nya selain untuk membuat penonton tercengang. Jika tujuan akhirnya adalah menggambarkan kuatnya perasaan Matt, maka momen ketika ia merestui hubungan sahabatnya (selama Reza berjanji bakal terus menjaga Mou) justru lebih efektif.

Perubahan jalur filmnya pun tak memfasilitasi performa bertenaga Prilly, yang berjasa menjadi mesin penggerak Matt & Mou. Sewatu Maxime masih belum juga mampu memberi penampilan natural yang nyaman disaksikan (terlebih caranya bicara), Prilly berhasil menghidupkan sosok lovable, yang termasuk salah satu alasan mengapa karir layar lebarnya pantas dihargai lebih dari sekadar “That lead actress from ‘Danur’ movie series”.

Konklusi milik Matt & Mou berusaha membawa kembali atmosfer jenaka nan menggemaskan sebagaimana di paruh awal. Hasilnya memuaskan. Matt & Mou sukses ditutup dengan manis, bahkan berpotensi mengharukan bagi sebagian penonton. Penyutradaraan Monty Tiwa pun masih menunjukkan kehandalan merangkai momen romantis emosional bermodalkan situasi sederhana. Meski di saat bersamaan, mengembalikan "rasa cotton candy” membuat tonal jump pasca titik balik di babak keduanya semakin kentara.

LAGI-LAGI ATENG (2019)

Lagi-Lagi Ateng merupakan korban dari marketing lemah. Kaum muda sekarang tidak terlalu mengenal sosok Ateng dan Iskak, karena film-film mereka yang “meledak” di era 70-an seperti Ateng Minta Kawin (1974), Ateng Sok Tahu (1976), dan lain sebagainya, semakin jarang diputar di layar kaca. Melihat poster serta trailer, saya meragukan kemampuannya memikat penonton baru. Sebelum menontonnya, jika ada yang menyebut Lagi-Lagi Ateng layak menjadi kandidat awal film Indonesia terbaik 2019, saya hanya akan tertawa tak percaya.

Tapi begitulah kenyataannya. Saya bisa melihat karya terbaru Monty Tiwa (Rompis, Critical Eleven, Kapan Kawin?) ini bertengger di beberapa daftar film terbaik akhir tahun nanti. Para pembuatnya sadar, untuk memenangkan penggemar baru, komedi beraroma nostalgia saja tidak cukup, sehingga dihembuskanlah drama keluarga kaya rasa. Elemen yang sayangnya gagal dipresentasikan materi promosinya, yang berakibat banyak berkurangnya jumlah layar di hari kedua penayangan.

Sekitar 30-45 menit pertama memang murni komedi, memperlihatkan kehidupan Ateng (Augie Fantinus), pria 26 tahun dengan tingkah bak bocah karena amat dimanjakan oleh ayahnya, Budiman (Surya Saputra), yang juga seorang bangsawan. Sebagai kado ulang tahun, Ateng meminta diperbolehkan berlibur ke Jakarta. Walau awalnya menolak, Budiman akhirnya mengizinkan, selama Iskak (Soleh Solihun) turut serta demi menjaga puteranya.

Cukup melihat bagaimana semua lelucon disatukan, jelas bahwa Lagi-Lagi Ateng bukan komedi sembarangan. Naskah buatan Monty tidak asal mengumpulkan materi-materi humor acak guna disatukan paksa ibarat sketsa. Lucu, ditambah penghantaran sempurna dari kedua pemeran utama, tersajilah kumpulan humor yang bergerak mulus sebagai narasi utuh berstruktur rapi.

Satu detail menarik lain terletak pada kemasan bagi kamar Budiman. Tata artistik garapan sutradara video klip veteran Tepan Cobain (Mau Jadi Apa?, Reuni Z) serta bagaimana sinematografer Anggi Frisca (Night Bus, Sekala Niskala, Negeri Dongeng) memainkan pencahayaan adalah sesuatu yang jarang kita temui di komedi-komedi dalam negeri kebanyakan.

Sesampainya di Jakarta, Ateng bertemu Agung (Augie Fantinus), motivator dengan slogan “Masa lalu ditambah masa sekarang sama dengan masalah” yang rupanya adalah saudara kembarnya. Mereka berdua terpisah seiring perpisahan Budiman dengan sang istri, Ratna (Unique Priscilla). Didorong ide dari asisten Agung, Cemplon (Julie Estelle), reuni kakak-beradik ini segera berubah menjadi rencana gila: Ateng dan Agung bertukar posisi guna bertemu orang tua yang belum pernah mereka kenal.

Di dalam cerita ala The Parent Trap ini, mengasyikkan mengamati Augie silih berganti memainkan dua tokoh dengan sifat berkebalikan, walau di beberapa kesempatan, ia sendiri bagai kebingungan tengah memerankan siapa. Ateng? Agung? Ateng yang menjadi Agung? Atau sebaliknya? Tapi di samping itu, Augie bersama Soleh Solihun terbukti merupakan duet maut perihal melontarkan lawakan khas Ateng-Iskak yang efektif mengocok perut. Tidak kalah menghibur tentu saja Julie Estelle lewat peran paling komedik sepanjang karirnya.

Begitu rencana Cemplon dieksekusi, Lagi-Lagi Ateng mulai merambah jalur drama, di mana humor berdaya bunuh tinggi tetap menyeruak di sana-sini. Berkat kemahiran Monty Tiwa menyusun momen emosional, dramanya sukses mencuri hati. Monty bak tengah “panas” di sini. Kita bisa mengambil adegan dramatik mana pun dari Lagi-Lagi Ateng, lalu menjadikannya titik puncak emosi di film lain. Selaku penulis naskah pun, Monty terbukti piawai merangkai kata. Dia tahu cara memancing rasa dari kata-kata singkat, sederhana, namun bermakna, sebutlah saat Budiman bertanya kepada Ratna, “Di mana istriku?”.

Keberhasilan dramanya turut dilatari penampilan apik dua pemeran orang tua. Surya Saputra selalu menyentuh hati tiap Budiman mengenang masa indah bersama Ratna, kemudian mulai bicara sambil menahan air mata. Demikian pula Unique Priscilla, yang “ketiban sial” karena harus mendapati momen unscripted kala Surya Saputra “mengunjungi” masa lalunya sebagai personel boy band.

Jikalau elemen melodrama film ini memiliki kelemahan, itu tak lain kuantitas yang agak terlalu banyak. Beberapa titik jelang akhir mungkin takkan lagi memancing haru, sebab adegan-adegan yang hadir sebelumnya telah menempatkan standar tinggi. Tidak peduli seberapa berkualitas, ketika suatu hal diulang terus-menerus, cepat atau lambat, niscaya kekuatannya bakal melemah.

Saya mendorong anda menonton film ini segera, sembari berharap Lagi-Lagi Ateng akan mendapat sedikit tambahan layar yang mana layak didapatkan. This movie will give you big laughs and also (surprisingly) has a big heart too. Pada akhir film, tampak foto Ateng dan Iskak tersenyum lebar. Mungkin itu reaksi mereka tatkala menyaksikan tribute ini dari surga.