REVIEW - SAYAP-SAYAP PATAH
Saya ingat betul suasana kala kerusuhan pecah selama 36 jam di rutan Mako Brimob Kelapa Dua, pada 8-11 Mei 2018. Walau cuma mengikuti perkembangan lewat berita di media sosial dan televisi, ada perasaan mencekam yang teramat kuat. Bagaimana tidak? Para napi terorisme menguasai tempat mereka ditahan, yang juga markas penegak hukum. That sounds like hell on earth.
Sebuah peristiwa yang sangat "film material", namun alih-alih melahirkan suguhan intens sekaligus emosional, Sayap-Sayap Patah lebih seperti usaha seadanya (kalau tak mau disebut "malas"), yang asal memakai kerusuhan tersebut, semata sebagai alat jualan.
Jangan salah, saya tahu maksud pembuatannya apa. Saya tidak naif dan mengharapkan penelusuran mendalam nan kompleks atas peristiwanya. Sayap-Sayap Patah adalah presentasi kepahlawanan polisi sekaligus kampanye anti-terorisme, yang bahkan kurang berhasil menjalankan tugasnya.
Bereuni dengan sutradara Rudi Soedjarwo sejak Ada Apa Dengan Cinta? 21 tahun lalu, Nicholas Saputra memerankan Aji, anggota Densus 88 yang bertugas memberantas pelaku terorisme di Surabaya. Salah satu rekan Aji diperankan oleh Revaldo. Tahukah kalian bahwa ini kali pertama dua pemeran Rangga (versi film dan sinetron) tampil bersama? Andai reuni serta pertemuan perdana itu terjadi dalam film yang lebih baik.
Target operasi Aji adalah Leong (Iwa K), yang telah banyak merekrut teroris. Perburuan itu menyita banyak waktu Aji, sehingga ia jarang menemani sang istri, Nani (Ariel Tatum), yang tengah hamil tua. Di satu titik Nani memilih pulang ke Jakarta untuk tinggal bersama ibunya (Dewi Irawan) akibat rasa cemas yang mengancam kesehatan kandungannya. Selepas sukses meringkus Leong, barulah Aji menyusul Nani ke Jakarta. Naas, tepat sebelum Nani melahirkan, sekaligus hari pertama Aji bekerja di Mako Brimob, terjadi kerusuhan. Di bawah arahan Leong, para napi mengamuk, menyandera, bahkan membunuh polisi.
Paragraf di atas menjabarkan alur filmnya sampai sekitar 30 menit terakhir, sebab baru di situlah Sayap-Sayap Patah mulai memaparkan kerusuhan yang jadi sumber inspirasinya. Saya menyebut "30 menit", tapi itu termasuk pembangunan awal dan konklusi. Jika cuma menghitung momen kerusuhan pecah, maka hanya sekitar 20 menit, dari total durasi 110 menit.
Menjadikan kerusuhan sebagai third act semata sejatinya bukan masalah. Saya bisa berargumen kalau perisitwa itu punya cukup bahan untuk melahirkan satu film utuh, tapi itu berarti saya mengharapkan hal yang bukan jadi tujuan filmnya. Pun bukankah prinsip "quality over quantity" dapat diterapkan? Tapi bahkan eksekusinya terkesan ala kadarnya. Seolah para pembuatnya berpikir, "Ah yang penting ada sekuen kerusuhan".
Di fase itu Iwa K sebagai teroris intimidatif, dan Nugie sebagai komandan Mako Brimob yang selalu tenang kala menginterogasi penjahat, sama-sama tampil mengesankan. Lebih mengesankan dibanding Nicholas Saputra yang.....well, memerankan Nicholas Saputra. Tapi semuanya terlalu buru-buru. Mendadak dimulai, mendadak usai. Mengubah teror 36 jam menjadi tak sampai semalam sama sekali tidak membantu.
Kelemahan naskah buatan Monty Tiwa, Eric Tiwa, dan Alim Sudio itu sebenarnya dapat tertolong andai Rudi Soedjarwo menambalnya lewat pengadeganan intens. Sayangnya tidak. Rudy tak mampu menghadirkan gambar-gambar mencekam, sebagaimana ia gagal mengemas aksi dalam sekuen penggerebekan Leong, yang penuh kamera shaky dan koreografi baku tembak clumsy. Tidak mengejutkan. Kapan terakhir kali Rudi merilis film bagus?
Presentasi dramanya bernasib sedikit lebih baik. Biarpun kerap diganggu oleh sulitnya mendengar ucapan karakter (kadang akibat tata suara buruk, kadang artikulasi pemain yang buruk, kadang keduanya), ada gagasan menarik soal "tiada satu pun yang siap kehilangan". Rudi juga lebih nyaman mengarahkan drama, yang nampak dari timbulnya beberapa guratan emosi. Musik gubahan Andi Rianto turut berkontribusi menambah rasa, walau ada kalanya, lagi-lagi akibat kurang apiknya penataan suara, volumenya terdengar berlebihan.
Sebagai kampanye anti-terorisme, Sayap-Sayap Patah diawali dengan menjanjikan. Terjadi ledakan bom di kantor lama Aji, dan menyaksikan mayat bergelimpangan bersimbah darah, diiringi tangisan anak kecil, ampuh untuk membuat penonton mengutuk para teroris, yang melakukan aksi biadab dengan kedok "perjuangan menuju surga".
Tapi apa motivasi Leong menguasai Mako Brimob?. Di kisah aslinya, baik versi polisi maupun napi, sama-sama menyebut bahwa kerusuhan dipicu amarah narapidana. Sedangkan di film, aksi itu telah direncanakan jauh-jauh hari. Bukan tindak impulsif selaku luapan emosi. Saya paham, mungkin pembuat filmnya ingin menghindari potensi penggambaran negatif polisi sekaligus menegaskan kebengisan teroris, namun melihatnya dari kacamata penceritaan, itu merupakan lubang mengaaga.
REVIEW - MADU MURNI
Madu Murni mengingatkan ke pola banyak naskah teater dari era 70-an hingga 80-an, yang sampai sekarang masih dijadikan bahan belajar para mahasiswa pelakon drama panggung. Kenakalan (baik dalam caranya membicarakan isu sosial maupun elemen seksualitas), monolog yang menyelipkan sentilan tajam, permainan simbol, karakter dengan ciri khas unik cenderung aneh, hingga sempilan keabsurdan. Bukan berarti hasilnya memuaskan, sebab Madu Murni tampil bak pisau tumpul. Kurang tajam dalam menyentil, kurang nakal dalam bermain-main.
Protagonisnya adalah Mustaqim (Ammar Zoni), mantan guru ngaji yang akibat tuntutan finansial, banting setir menjadi penagih hutang bersama partnernya, Rojak (Tanta Ginting). Tapi sebanyak apa pun uang dihasilkan, sang istri, Murni (Irish Bella), enggan menerima. Murni menentang profesi baru Mustaqim.
Mustaqim merupakan perwujudan maskulinitas. Setidaknya itu yang ia inginkan. Badan kekar, rajin angkat beban, meminta istrinya berhenti berjualan di warung dan jadi ibu rumah tangga, karena malu dianggap tidak sanggup menafkahi. "Harga diri laki-laki" amat dipujanya, sampai kerap menyulut pertengkaran rumah tangga.
Sebuah pertengkaran pecah di meja makan, saat Murni lagi-lagi menolak uang pemberian suami. Mustaqim berdiri, lalu berseloroh soal memajang uang-uang itu di dinding. Latar, pilihan diksi, serta bagaimana Monty Tiwa selaku sutradara menerapkan one take, jelas mencerminkan pendekatan khas drama panggung. Sayang, monolog itu kurang berkesan gara-gara tiga poin: sebatas banyolan kosong nihil sentilan, akting Ammar Zoni yang belum cukup matang, dan inkonsistensi bahasa.
Poin terakhir acap kali terjadi. Kadang naskah buatan Musfar Yasin bak produk dari dekade lampau dengan segala kebakuannya, tapi kadang terdengar kekinian. Parahnya, inkonsistensi dapat muncul dalam satu adegan.
Bingung mesti memberikan uangnya ke siapa, Mustaqim terdorong untuk berpoligami atas saran Rojak. Apalagi ia merasa Murni belum mampu memberinya momongan. Pilihan pun jatuh pada Yati (Aulia Sarah), yang perangainya paling tepat dideskripsikan sebagai "menggoda".
Saya merasa perlu menekankan "karakterisasi" Yati di atas, sebab Musfar Yasin memang masih terjebak di kedangkalan stigma dalam mengemas karakter wanitanya. Murni adalah istri tua, sehingga ia digambarkan lebih "lurus", alim, dan berhijab. Sedangkan Yati si istri muda gemar berpakaian terbuka, seksi, pula cenderung nakal. Oh, dan tentu ia seorang janda, yang kerap diidentikkan dengan hal-hal negatif.
Singkat cerita (sangat singkat, sampai terasa mendadak), Mustaqim dan Yati menikah. Tapi di malam pertama, Mustaqim justru impoten. Tidak perlu jadi pakar semiotika guna menangkap bahwa impotensi tersebut merupakan sindiran atas obsesi karakternya terhadap maskulinitas. Anggap saja versi lebih ringan dari Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Ringan karena fokus utamanya memang terletak pada komedi soal "burung". Beberapa mampu mengundang sedikit tawa, meski lebih banyak yang gagal mengenai sasaran. Beruntung kegagalan tersebut masih bisa disamarkan oleh tempo penuturan cepat milik Monty Tiwa. Tatkala ada satu humor tampil kurang lucu, kita sudah dibawa berpindah ke momen berikutnya, sebelum sempat merasa terganggu.
Begitu pun ketika alurnya mulai repetitif, hanya berpindah-pindah antara konflik domestik Mustaqim dan upayanya bersama Rojak menggusur Pak Salim (Jaja Mihardja) dari kediamannya. Lagi-lagi ini pendekatan ala drama panggung dengan keterbatasan kuantitas latar yang dapat dipakai dalam suatu cerita (walau jika diterapkan ke panggung, alur Madu Murni bakal tetap repetitif). Kembali, pacing sang sutradara membuat repetisi naskah tak sampai merusak keseluruhan film.
Aspek dramatisnya lain cerita. Entah karena keterbatasan akting pemain, keputusan sutradara, atau panduan dari naskah, tiap situasi dramatis selalu menampilkan teriakan. Apa pun pokok masalahnya, siapa pun yang terlibat, seluruh amarah seolah wajib dihantarkan dengan volume teriakan paling tinggi. Baik Irish Bella selaku penampil terbaik maupun Aulia Sarah sebagai sumber hiburan terbesar (akan banyak celotehan "Badarawuhi kok jadi gini?"), bermain dengan prinsip "the louder the better".
Sedangkan perihal seksualitas, Madu Murni kurang liar kala bermain-main, berhenti di taraf membuat Aulia Sarah tampil menggoda, dan melempar lawakan "penetrasi jari" yang seperti muncul dari otak bocah yang "baru mulai nakal". Ketimbang mengolah itu, naskahnya malah sibuk menghias kantor Boss (Epy Kusnandar) dengan sentuhan performance arts, yang nyeni tidak, lucu pun tidak. Sama seperti keseluruhan filmnya.
REVIEW - BACKSTAGE
Di suatu kesempatan, Robert Ronny selaku produser sekaligus penulis naskah (bersama Vera Varidia, Monty Tiwa, dan Titien Wattimena), menyampaikan bahwa salah satu inspirasi Backstage berasal dari kasus Milli Vanilli, yang memenangkan Grammy Award, tanpa menyanyikan satu pun lagu di album mereka. Penyanyi bayangan (ghost singer) mengisi suara duo tersebut.
Backstage pun mengangkat soal penggunaan penyanyi bayangan, yang didasari ambisi akan uang serta popularitas, yang tentu saja melibatkan akal-akalan pelaku industri. Bedanya, karakter film ini bukan semata didorong oleh ambisi personal, pula demi keluarga.
Alkisah, Elsa (Vanesha Prescilla) rutin mengikuti audisi guna menggapai mimpi menjadi aktris. Sedangkan bagi kakaknya, Sandra (Sissy Priscillia), mimpi adalah kemewahan yang coba ia pendam. Bakat menyanyinya luar biasa, namun demi membantu sang ibu (Karina Suwandi) menyokong finansial keluarga, Sandra memilih berpaling ke realita.
Pintu kesempatan terbuka, saat Bayu (Verdi Solaiman), seorang produser, berniat menjadikan Elsa penyanyi, pasca menyaksikan video audisinya. Rencana Bayu adalah, mengorbitkan nama Elsa sebagai penyanyi dengan memakai suara Sandra. Baru setelah pamornya melambung, peran di film layar lebar bisa didapat.
Meski Sandra sempat ragu, mengingat ini sama saja membohongi publik, rencana itu rupanya berjalan mulus. Video Elsa viral, lagunya meledak di pasaran, bahkan Elsa kini bisa menjalin kedekatan dengan idolanya, Michael (Achmad Megantara), penyanyi yang popularitasnya tengah redup. Keuangan keluarga pun seketika membaik. Ketika single perdana baru di tahap awal kesuksesan, rasanya peruntungan yang berubah 180 derajat ini (rumah baru, mobil baru, segalanya baru) terjadi terlampau cepat. Apalagi berkaca pada kondisi Elsa sekeluarga sebelumnya.
Tapi lubang itu hanyalah gangguan minor dibanding keunggulan yang Backstage tawarkan. Naskahnya masih berkutat di beberapa keklisean, baik di progresi alur maupun pilihan kata, namun juga menyimpan banyak ide kuat. Terutama terkait caranya menghantarkan emosi. Contohnya ucapan "Aku berharap Tuhan mindahin suara aku ke Elsa" yang keluar dari mulut Sandra, selaku kalimat dengan daya bunuh terampuh.
Pastinya akting pemain berperan besar dalam keberhasilan ekspresi emosi Backstage. Walaupun status sebagai saudara sungguhan tentu memberi pengaruh, tapi itu bukan satu-satunya faktor kesuksesan Vanesha dan Sissy menjalin chemistry kuat. Keduanya memang pelakon berkualitas yang sanggup menyuntikkan realisme di tiap interaksi. Khususnya sang kakak, yang mampu mengubah perasaan-perasaan rumit jadi momen menyentuh. Kata-kata bernada dukungan darinya bak pelukan hangat, tangisan sakit hatinya terasa meremukkan. Tambahkan Karina Suwandi, dan Backstage pun memiliki trio yang sangat bisa diandalkan.
Izinkan pula saya memberi pujian khusus untuk Megantara. Aktingnya belum layak disebut "luar biasa", tapi jelas lompatan drastis dibanding sebelumnya. Tidak ada lagi usaha sok keren dengan memberat-beratkan suara. Entah karena ia menyadari kekurangan, atau berkat arahan Guntur Soeharjanto selaku sutradara, mana pun tak masalah. Peningkatan adalah peningkatan.
Terkait penyutradaraan, seperti biasa Guntur ahlinya mengkreasi adegan agar terlihat mahal. Dibantu tata kamera Hani Pradigya, bukan cuma di adegan-adegan yang melibatkan aksi panggung, peristiwa sederhana pun dibuat memanjakan mata. Kekurangan Guntur sejak dulu masih sama, yakni soal belum mulusnya penyampaian emosi (kadang artificial, kadang timing-nya meleset, kadang pilihan shot-nya kurang mendukung), yang untungnya berhasil ditambal oleh departemen lain.
Klimaksnya jadi puncak pencapaian hampir seluruh departemen. Vanesha dan Sissy bertukar rasa secara luar biasa lewat nyanyian (menekankan pesan "mendapatkan kekuatan melalui kebersamaan"), naskahnya jeli mengolah keintiman kedua tokoh utama saat memberi jeda sebelum memasuki puncak lagu (you'll know it when you see it), sementara musiknya jadi amunisi yang efektif.
Terdapat beberapa nomor familiar, sebutlah Seberapa Pantas, Terbaik Untukmu, hingga I Remember, tapi yang paling menonjol adalah original soundtrack berjudul Melangkah gubahan Andi Rianto dan Monty Tiwa. Langsung menempel di kepala, kuat menyentuh hati. Sama seperti filmnya sendiri.
REVIEW - KUKIRA KAU RUMAH
Ada kekhawatiran sebelum menonton adaptasi lagu berjudul sama milik Amigdala ini. Perihal kesehatan mental (dalam konteks film ini, bipolar) amat penting, tapi jika ditangani secara keliru, justru bisa melanggengkan stigma negatif dan kesalahan-kesalahan persepsi publik awam. Untungnya Kukira Kau Rumah, selaku debut penyutradaraan Umay Shahab (juga menulis naskah bersama Monty Tiwa dan Imam Salimy), dibuat dengan ketepatan, didasari kesadaran atas urgensi temanya.
Karena bipolar yang ia derita, Niskala (Prilly Latuconsina) merasa hidup dalam kurungan. Biarpun sang ibu (Unique Priscilla) cenderung suportif, ayahnya (Kiki Narendra) bersikap sangat protektif. Bahkan Niskala mesti berkuliah secara diam-diam di belakang sang ayah. Kedua sahabatnya sejak kecil, Dinda (Shenina Cinnamon) dan Oktavianus (Raim Laode), jadi pemberi kekuatan terbesar, yang senantiasa mendukung dan menjaga Niskala.
Lalu Niskala bertemu Pram (Jourdy Pranata), seniornya di kampus, sekaligus aspiring singer yang rutin menulis lagu, namun belum mendapat kesempatan memperdengarkannya ke khalayak. Serupa Niskala, Pram juga merasakan lubang di hidupnya. Dua individu yang akrab dengan sepi ini pun akhirnya saling mengisi lewat musik, kemudian menemukan "rumah" dalam diri satu sama lain.
Alurnya memang tidak jauh-jauh beranjak dari formula romansa tentang sepasang individu "bermasalah" yang bersatu lalu saling menguatkan. Tapi bagaimana elemen kesehatan mental diterapkan, tanpa harus jatuh ke ranah iklan layanan masyarakat, adalah suatu pencapaian. Apalagi, seperti saya singgung di atas, penggambarannya akan bipolar tergolong tepat.
Memang presentasinya masih di tataran permukaan, namun mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat kita mengenai bipolar, "perkenalan" seperti ini saja rasanya sudah memadai. Salah satu poin terpenting adalah pengenalan dua sisi, yakni manik dan depresif, pada pengidap bipolar.
Masih banyak yang mendefinisikan bipolar sebagai "mudah ngamuk". Kukira Kau Rumah meluruskannya lewat sebuah sekuen, kala suasana hati Niskala berubah secara ekstrim, dari luapan emosi tinggi (mania) ke rendah (depresi). Sebagai sutradara dan penulis, Umay tahu batasan antara "informatif" dan "iklan layanan masyarakat". Dia memotret kondisi karakternya, menampilkannya, tanpa dibumbui penjabaran cerewet bak sebuah kelas.
Sedangkan kisah cintanya pun mampu tampil solid. Saya terpikat pada momen kali pertama Niskala dan Pram berduet di atas panggung. Selain karena lagu Belenggu memang manis (bukan cuma titular song milik Amigdala, Kukira Kau Rumah punya deretan soundtrack apik, yang beberapa di antaranya buatan Umay sendiri), Prilly dan Jourdy pun saling berbagi rasa, melahirkan momen yang berhasil ditangkap oleh sang sutradara berkat sensitivitasnya atas romantisme.
Prilly luar biasa di sini, memamerkan totalitas dengan range yang cukup luas, guna menghidupkan dua sisi pengidap bipolar. Juga kuat dalam mengolah rasa walau dengan porsi kemunculan terbatas adalah Unique Priscilla dan Kiki Narendra. Unique melalui kehangatan, sedangkan Kiki sejak awal bak gunung berapi, yang kita tahu nantinya bakal meletus, pula dengan kadar letusan tidak main-main.
Solidnya presentasi Kukira Kau Rumah sayangnya agak terganggu oleh cara konklusinya dikemas. Di situ terjadi peristiwa mengejutkan yang tak bisa saya sebut. Apakah peristiwa itu sebuah ketidaksengajaan? Atau memang disengaja? Jika disengaja, apa alasan di belakangnya? Dampak emosi berkurang, bahkan memunculkan kebingungan, akibat kurang jelasnya penyampaian gejolak batin salah satu tokoh (bukan cuma di peristiwa itu, juga di keseluruhan cerita), baik di naskah maupun cara Umay merangkai bahasa visual.
Kekurangan tersebut hadir pada babak konklusi, sehingga berdampak cukup besar (ending can make or break a movie). Tapi tidak mengurangi fakta, bahwa Kukira Kau Rumah, selain dieksekusi dengan solid, juga penting disimak, guna memperluas pemahaman seputar kesehatan mental, khususnya bipolar.
(JAFF 2021)
REVIEW - GHIBAH
Saya punya kenalan yang....."unik". Bercandaannya selalu garing. Begitu garing, sampai sering terasa menyebalkan. Tapi saat serius malah bisa membuat teman-teman tertawa, karena dia sangat buruk dan canggung dalam tiap hal yang dilakukan secara sungguh-sungguh.
Orang itu sekarang sehat. Tapi saya tidak, gara-gara menonton Ghibah, yang ciri-cirinya hampir sama, bahkan lebih parah, dibanding teman saya tadi. Sewaktu melempar humor (yang mana kerap dilakukan), saya malah kesal, karena selain sering tidak lucu, pula berkali-kali salah tempat. Sebaliknya, ketika meneror, hasilnya buruk, cenderung konyol, hingga memancing tawa.
Jadi, bagaimana ghibah bisa berujung maut? Pertama, mari berkenalan dulu dengan Firly (Anggika Bolsterli), seorang mahasiswi yang aktif terlibat di kegiatan jurnalistik kampus. Firly adalah vegetarian, sehingga kala diminta menggantikan tugas Yola (Josephine Firmstone) yang sakit untuk meliput acara penyembelihan kurban, Firly sebenarnya keberatan.
Terkejutlah Firly, saat mendapati unggahan foto di Instagram Yola, yang memperlihatkannya sedang berada di hotel. Esoknya, Firly marah-marah di depan umum, menuduh Yola "check-in" di hotel dan meninggalkan tanggung jawab. Artinya, FIRLY SUDAH MELAKUKAN GHIBAH!! (cue musik dramatis).
Apa dampaknya? Tentu saja didatangi jin Ifrit. Karena dosa serta ancaman siksa api neraka saja tidaklah cukup. Firly berhalusinasi, dari mengelupas kulit wajah (dalam balutan gore over-the-top yang harus diakui cukup efektif), sampai memakan daging yang dia kira tempe. Teman satu kosnya, Okta (Adila Firti), juga bernasib sama, akibat menulis berita palsu tentang perselingkuhan dosen dan mahasiswi.
Kenapa tidak semua pelaku ghibah didatangi Ifrit? Naskah buatan Monty Tiwa (juga sebagai sutradara), Aviv Elham, Riza Pahlevi, dan Vidya Talisa Ariestya, luput menerapkan standar pasti terkait kehadiran Ifrit. Apakah saya yang terpancing melakukan ghibah di grup Whatsapp dan Twitter saat menonton film ini juga bakal dihantui? Kalaupun iya, setidaknya saya hafal ayat kursi, yang rupanya cukup untuk menumpas Ifrit, sebagaimana dilakukan Asri Welas.
Anda tidak salah baca. Asri Welas memerankan Umi Asri, ibu kos Firly sekaligus keturunan Mataram yang sakti. Pilihan tidak biasa, namun saya mengapresiasi. Tidak semua karakter orang sakti atau dukun atau indigo harus digambarkan serius, misterius, dan memakai baju serba hitam. Pun Asri, bersama Opie Kumis (memerankan Mang Opie, suami Umi Asri), tetap menangani momen komedik, yang seperti saya sebutkan, tidak lucu.
Bukan salah keduanya. Naskahnya memaksa menabur komedi setiap ada celah. Selain Asri dan Opie, dua penghuni kos lain, Ulfa (Arafah Rianti) dan Dina (Zsa Zsa Utari) juga dituntut melakukan hal serupa. Jika diibaratkan masakan, humor film ini bukan bumbu, melainkan tambahan lauk yang terus dijejalkan ke mulut kita, sampai terasa muak dan mual.
Saat tidak melucu, Ghibah malah mengocok perut lewat kekonyolan, yang muncul karena eksekusi buruk. Misal, penampakan hantu di handphone Firly yang bak sedang selfie sambil memasang pose sok genit, ucapan "sosisnya enak ya" dari mulut Yola sewaktu berhalusinasi dan memakan jarinya sendiri, sampai desain hantu berlidah panjang yang mengingatkan ke boneka-boneka berwajah tumpahan bubur ayam khas era keemasan Dheeraj Kalwani alias Baginda Maha Besar KKD dahulu. Oh, benar juga. Saya lupa Ghibah diproduksi Sang Agung KKD. Mau berharap apa lagi?
Masih banyak contoh lain, tapi kalau dilanjutkan, saya khawatir Ifrit benar-benar datang. Jadi, mari beralih ke pujian. Anggika Bolsterli tampil total. Ekspresi takut, jijik, semua dilakukan 100%. Tapi Anggika pantas mendapat film yang 12483749 kali lipat lebih bagus. Dia pantas mendapat tantangan lebih, di horor yang memberinya materi memadai.
Teror apa yang paling sering menimpa Firly? Jawabannya, "kecipratan". Kecipratan darah kambing, darah teman sendiri, sampai cairan hijau kehitaman dari toilet. Rasanya itu cukup menjelaskan, seberapa kreatif orang-orang di balik Ghibah. Film ini lebih tepat disebut Kecipratan The Movie.
Tersimpan beberapa niat baik di sini, seperti menyampaikan wejangan agar menghindari ghibah, dan mengutarakan tentangan atas kekerasan hewan. Bagus, meski bakal lebih bagus kalau diimbangi dengan kualitas yang juga bagus.
Ada pula upaya menghembuskan diversity melalui karakter Dina, yang beragama Kristen, dan diajak ikut berdoa sesuai kepercayaannya ketika proses pengusiran jin. Tapi menjadi percuma, karena pada akhirnya, film ini tetap Islam-sentris. Dina malah seperti terkucilkan, layaknya minoritas di realita, yang terjebak dalam hegemoni para mayoritas, yang.....ah, sudahlah. Saya sudah melantur. Ghibah memang film tentang anti-ghibah yang memancing penontonnya untuk melakukan ghibah.
Available on DISNEY+ HOTSTAR
REVIEW - LAYLA MAJNUN
Film terbaru buatan sutradara Monty Tiwa ini dibuat berdasarkan kisah cinta Layla dan penyair bernama Qays ibn al-Mullawah dari abad ke-7, yang telah diabadikan melalui banyak media, salah satunya puisi Layla and Majnun karya Nizami Ganjavi yang ditulis pada 1188. Acha Septriasa memerankan Layla, sosok wanita religius, mandiri, sekaligus cerdas. Dia menjalani hidup sesuai keinginannya, baik sebagai pengajar sebuah pondok pesantren, maupun penulis novel.
Hingga suatu hari, ia dipaksa menjalani perjodohan dengan Ibnu (Baim Wong), teman masa kecilnya sekaligus calon bupati. Awalnya Layla menolak. Selama ini ia begitu vokal menentang perjodohan, khususnya jika itu merenggut kebebasan seorang wanita. Tapi karena sang ibu (Dian Nitami) sudah banyak menerima bantuan dari ayah Ibnu (August Melasz), Layla tak mampu menolak. Selepas kepergiannya selama dua minggu ke Azerbaijan untuk menjadi dosen tamu, Layla bakal langsung menikahi Ibnu.
Di sanalah Layla bertemu Samir (Reza Rahadian), salah satu mahasiswanya, yang dahulu sempat belajar di Indonesia. Hanya dalam waktu singkat, Layla yang di awal film enggan menikah, seketika jatuh hati kepada Samir. Apakah masuk akal? Pertanyaan itu bakal selalu bisa dimentahkan dengan jawaban, "Bukankah cinta memang tidak logis?", sehingga izinkan saya memodifikasinya sedikit. "Apakah penonton bisa mempercayai cinta keduanya?".
Naskah buatan Alim Sudio kurang berhasil menciptakan rasa percaya itu. Ya, Samir jatuh hati setelah karya Layla menyembuhkan lukanya (elemen yang bisa ditarik ke gagasan lebih besar, soal kekuatan dari keindahan suatu karya literatur mengobati luka suatu bangsa tanpa memedulikan sekat jarak dan budaya). Tapi bagaimana dengan Layla? Andai tidak ada perjodohan, akankah Layla sebegitu mencintai Samir? Andai perangai Ibnu tak menghasilkan perbandingan "baik vs buruk" yang jomplang, akankah Layla sebegitu mencintai Samir?
Kalau bukan karena performa Reza dan Acha, mungkin Layla Majnun bakal hambar, pula menjemukan. Keduanya membuat saya betah melakoni perjalanan menikmati pemandangan Azerbaijan, yang ditangkap dengan cukup baik oleh Anggi Frisca selaku penata kamera. Acha selaku kuat perihal mengolah emosi, sedangkan Reza kembali membuktikan, kalau tuntutan berbicara menggunakan logat asing (sesekali bahasa setempat juga dipakai) tak mengahalangi ekspresi rasanya.
Ending-nya berusaha menjauhkan film ini dari tragedi yang mengisi kisah aslinya. Bukan semata demi akhir bahagia yang lebih disukai penonton, melainkan wujud pesan dari naskahnya, seputar ikatan keluarga. Gagasan yang menarik, walau lemahnya eksplorasi soal elemen kekeluargaan, membuat keputusan tersebut lebih mudah diapresiasi ketimbang dicintai.
Available on NETFLIX
REVIEW - NONA
“Perjalanan adalah sebuah proses
untuk mengerti”, ucap Nona (Nadya Arina) saat mengakhiri kisahnya. Nyatanya,
sulit mengerti apa yang coba disampaikan filmnya, maupun proses apa yang
dilalui karakternya. Saya kerap mendengar sebuah prinsip dari para pendaki,
bahwa “perjalanan lebih penting daripada destinasi”. Nona bak miskonsepsi atas prinsip tersebut, di mana destinasi
seolah dikesampingkan, sampai titik di mana tidak ada kejelasan.
Alkisah, terjalin persahabatan
antara Nona dengan Ogy (Augie Fantinus). Ogy selalu ada bagi Nona. Sejak kecil,
saat pertengkaran orang tua mengisi hari-harinya, hingga dewasa, ketika Nona
mulai menjalin romansa bersama pria lain, tanpa tahu kalau sang sahabat
diam-diam mencintainya. Lalu terjadilah tragedi. Ogy meninggal setelah terjatuh
dari gunung. Anggi Frisca (Negeri Dongeng)
selaku sutradara mengeksekusi momen tersebut dengan begitu meyakinkan,
melahirkan intensitas tinggi walau kemunculannya bisa ditebak, berkat minimnya “trik”
kamera serta penyuntingan.
Kehilangan itu menarik Nona, yang
sudah dihantam banyak masalah termasuk kekasihnya yang abusive, lebih jauh ke jurang depresi. Kemudian keajaiban terjadi.
Ogy kembali, namun dalam wujud boneka orang utan yang ia berikan kepada Nona
sebagai kado ulang tahun. Apakah itu memang keajaiban? Atau sebatas sistem
pertahanan diri Nona yang makin terguncang mentalnya? Filmnya tak memberi
jawaban gamblang, tapi naskah buatan Monty Tiwa menanam beberapa petunjuk yang
jelas mengarah ke satu sisi, yang juga menggambarkan dinamika psikis
protagonisnya.
Nona memutuskan membawa Ogy ke Azerbaijan,
guna mengunjungi pegunungan yang diduga sebagai lokasi terdamparnya kapal Nabi
Nuh. Muncul pertanyaan. Bagaimana Nona bisa semudah dan secepat itu memutuskan
pergi ke Azerbaijan? Kita tidak pernah tahu pekerjaannya, pun ia tak nampak
berasal dari keluarga kaya. Filmnya memilih menutup mata atas detail penokohan
tersebut.
Kembali soal kapal Nabi Nuh. Konon,
kapal itu membawa semua hewan di dunia, masing-masing sepasang. Nabi Nuh
menyelamatkan hewan-hewan itu dari akhir dunia. Nona pun ingin jadi penyelamat,
meski sejatinya, dialah yang perlu diselamatkan. Jadi perjalanan ke Azerbaijan
membahas tentang itu? Saya tidak yakin, sebab sepanjang durasi, kita lebih
sering melihat Nona terjebak dalam masalah-masalah yang dipicu penyimbulan terburu-buru,
sehingga ia tak sempat mengetahui realitanya (kabur setelah mengira sudah
menusuk penjaga toko, mencuri ayam akibat tidak memahami bahasa setempat).
Sebagai suatu road trip, film ini tak punya destinasi dan proses jelas. Alhasil
perjalanannya tak memunculkan dampak emosional. Dibantu sinematografi garapan
Yudi Datau, sekali lagi Anggi membuktikan kelihaian menangkap keindahan alam
melalui lanskap-lanskap memukau. Tapi keindahan itu terasa semu. Hampa. Semakin
jauh filmnya melangkah dan karakternya tersesat, penonton pun dibuat sama
tersesatnya.
Emosi kurang berhasil disalurkan,
salah satunya juga akibat humor yang tidak pada tempatnya. Benar bahwa Ogy
versi orang utan hadir guna menghibur Nona, tapi voice over Augie acap kali berlebihan melontarkan humor konyol,
termasuk pada saat tidak dibutuhkan sekalipun. Beruntung Nona punya Nadya Arina, yang di titik ini, sanggup mengangkat film
seorang diri. Tangisannya bakal menyesakkan dadamu, sedangkan senyumnya
membuatmu ingin Nona tiba di tempat yang lebih baik.
Available on DISNEY+ HOTSTAR