THE SHAPE OF WATER (2017)
Rasyidharry
Maret 31, 2018
Alexandre Desplat
,
Doug Jones
,
Fantasy
,
Guillermo del Toro
,
Michael Shannon
,
REVIEW
,
Richard Jenkins
,
Romance
,
Sally Hawkins
,
Sangat Bagus
19 komentar
Guillermo del Toro menyebut The Shape of Water, yang membawanya meraih Oscar untuk Best Director (pun filmnya memenangkan Best Picture), selaku ekspresi atas
hal-hal yang mengisi kekhawatirannya sebagai orang dewasa khususnya soal cinta,
setelah dalam 9 film sebelumnya, del Toro mengunjungi mimpi serta ketakutannya
semasa kecil. Mungkin ia takut dunia mulai kehabisan cinta. The Shape of Water diawali keinginan del
Toro melihat kisah cinta antar-spesies Creature
from the Black Lagoon (1954) berujung bahagia, pasca niat membuat remake-nya ditolak pihak studio. Dan
jelas ia menuturkan seluruh adegan dengan penuh cinta dan kelembutan.
Cinta yang dimaksud bukan cuma pada tataran romantis, pula
tak hanya sesama manusia, tapi antar makhluk hidup. Elisa Esposito (Sally
Hawkins) si protagonis wanita merupakan tuna wicara yang menjadi petugas
kebersihan di suatu laboratorium rahasia milik pemerintah. Elisa bertetangga
dengan Giles (Richard Jenkins), pelukis tua yang karirnya mentok, pula seorang
gay. Menengok kondisi masing-masing, keduanya berhak merasa takut jika tidak
ada lagi cinta bagi mereka. Alhasil saat Elisa bertemu “Amphibian Man” (Doug Jones) yang dikurung, disiksa, dijadikan bahan
eksperimen laboratorium tempatnya bekerja, ia hanya ingin mencintai makhluk
malang yang juga sedang sendirian pula ketakutan ini.
Mengambil setting waktu era 60-an kala Perang Dingin, del
Toro bersama Vanessa Taylor (Hope
Springs, Divergent) mendapat banyak bekal guna menyampaikan pesan melalui
naskahnya. Inilah masa di mana kebencian, kecurigaan, ketakutan, segala emosi
negatif memuncak. Narasi pada adegan pembuka—ketika kita dibawa menyelami “kamar
bawah air” ditemani musik indah gubahan Alexandre Desplat—yang Jenkins bacakan
mengandung kalimat “And the tale of love
and loss, and the monster, who tried to destroy it all”. “Monster” di sini
adalah Kolonel Richard Strickland (Michael Shannon) yang keji sekaligus pelaku
pelecehan, kubu Amerika dan Rusia yang hendak memanfaatkan bahkan membunuh si
manusia ikan, sampai pelayan cafe rasis pula homophobic.
Sejatinya isu-isu The
Shape of Water masih relevan, tetapi pemakaian latar masa lalu merupakan
keputusan tepat. Membawanya ke tatanan modern berpotensi memunculkan distraksi.
Penonton yang makin haus akan “film kritis” bakal condong memperhatikan isu
ketimbang cerita utama. Dengan begini, beragam unsur tersebut jadi sebatas
subteks yang bersifat memperkaya, sementara sorotan utama tetap seputar romansa
fantasi. Pun terkait latar lawasnya, musik Desplat bagai berasal dari suguhan
klasik Hollywood; dreamy, kental
nuansa fantasi yang memancarkan keindahan, harapan, pula imaji. Keindahan yang
turut dihasilkan tim desain produksinya, termasuk dalam mengemas rumah Elisa
yang seperti berasal dari dunia dark
fairy tale, sesuatu yang sering jadi lahan bermain del Toro.
Saya membayangkan del Toro mengarahkan di lokasi dengan mata
berbinar, tersenyum lebar, penuh aura positif. Adegan pembuka dan penutup yang
puitis itu takkan bisa dihasilkan oleh pria pemurung. Tentunya ia pun
dianugerahi daya kreasi plus imajinasi tinggi, yang terbukti ketika momen musikal
“dadakan”mulai mengisi. Momen yang diawali serta diakhiri oleh transisi cerdik
nan rapi guna mewakili isi hati Elisa, karakter yang jadi media Sally Hawkins
memperlihatkan makna ketulusan dalam berakting. Hawkins memberi performa yang
mampu seketika mencuri perasaan penonton hanya melalui senyuman. Sewaktu Elisa
berbahagia, saya berbahagia. Sewaktu Elisa jatuh cinta, cinta itu turut
menjangkiti perasaan saya.
Bagi Guillermo del Toro, cinta berbentuk seperti air. Tidak
bisa didefinisikan, namun keberadaannya senantiasa mengisi ruang-ruang kosong,
kemudian berubah menyesuaikan wujud ruang tersebut. Kita butuh film-film
semacam The Shape of Water. Film yang
selain membicarakan cinta, turut dibuat dengan cinta, tanpa melupakan
pentingnya sisi estetika.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
19 komentar :
Comment Page:sejauh ini saya selalu suka dengan visual del toro
film ini memanjakan penonton, mengalir seperti air
del toro adalah salah satu sutradara favorit saya dan selalu saya tonton film nya
"adegan diatas itu tidak dapat dihasilkan oleh pria pemurung"
Jadi kpikiran versi gimana kalo snyder jadi sutradaranya wkwk, bisa"si Elisa juga keikut sinis layaknya superman d MOS ato BVS
Bukanya dulu uda pernah review film ini bang??
Ceritanya menurut sy biasa aj mas, cm d bagian akhir yg bikin sy bingung dan me reka2 ketika kolonel Richard bilang "kamulah Tuhan"...oiyaa,,,di review sebelumnya cm dpt 3 bintang mas??
Terbukti lagi nonton di laptop dengan kualitas dvdscr ama bioskop kesannya beda, Pas di bioskop filmnya berubah jadi indah banget dan bener" ngena kisah cintanya
karena mas rasyid kalo film yang ditonton di bioskop akan direview panjang biasanya
mungkin dulu asumsinya filmnya ga akan rilis di bioskop indonesia
Semoga three billboard dpt mukjizat ditayangin di bioskop
@Lucass Snyder nggak murung, karakternya yang kelewat murung haha.
@Surya yap, tapi short review, dan ngerasa perlu nulis lagi, karena reaksinya beda setelah nonton di bioskop
@Ricky kan ceritanya emang dewa yang disembah suku Amazon kan dia. Sebelumnya kasih 3.5
@Anna mau di laptop bluray 1080 pun tetep jauh. Di laptop mah biasa aja filmnya
@Chan Amin. Emang butuh mukjizat haha. Sayangnya, di jadwal xxi sampai akhir tahun fix nggak ada. Tunggu cgv/cinemaxx
Setuju dengan penilaian bang Rasyid, 4,5/5 (yang sebelumnya 3,5/5) tapi menurut saya Pan's Labyrinth masih menjadi film terbaik dari seorang Guilermo del Toro.
Kalau boleh tau, Best to Worst nominations BP versi bang Rasyid? Khususnya, setelah menonton ulang Lady bird & The Shape of Water di bioskop
Jelas, masterpiece itu Pan's Labyrinth. Mestinya jadi nominee Best Picture gantiin The Queen.
Three Billboards > Lady Bird > The Shape of Water > Darkest Hour > Call Me by Your Name > Phantom Thread > The Post > Get Out > Dunkirk
Gila emg nih film gacuma sangat orisinil dari segi cerita tapi teknikal unggul di banyak hal, tapi dari semua nominasi Academy Award masih megang Lady Bird sebagai film tahunan terbaik (secara pribadi). Dan setuju sih Pan's Labyrinth masih jadi masterpiece bahkan bisa kita anggap kemenangan The Shape pf Water ini untuk membayar nominasi yg hilang tempo hari tapi The Queen gabisa dibilang harus menggantikan juga 😁
Btw bakalan ngulas pengabdi setan yg jadul gak bang?
Bangunan ceritanya sih klise dan ketebak banget. Tapi kejelian Del Toro memasukkan unsur2 yg relevan hingga kini (kesepian,cinta tak lazim , rasisme, homophobic, keputus asaan) membuat film ini terasa dekat dg penonton.
Belum lagi sisi artistik yg digarap sepenuh hati, membuat film ini indah sekali.
Sebenarnya Shape of Water sekilas mirip versi upgrade-nya Pan's Labyrinth kalau dilihat dr karakteristik tokoh, jalan cerita dan latar belakang yg sama2 di masa perang. Opening dan endingnya pun sama2 berisikan narasi.
Overall emang Shape of Water bagus. Banyak isu sosial di dalamnya tp hebatnya film ini seakan tdk ingin pamer terhadap isu2 tsb. Karena benar seperti yg ditulis tadi, film ini ttg cinta.
Dan ternyata benar dugaan sy... si amphibian man pemerannya sama dgn Abe Sapien temannya Hellboy
Doug Jones sih langganan jadi makhluk aneh 😁
Btw sy nontonnya hasil donlotan, apakah di bioskop tdk kena gunting Sensor LSF coz banyak adegan 17+ nya
Ada beberapa tapi halus, buat yang belum nonton dari donlot pasti nggak nyadar. Cuma ada 2 bagian yang kelihatan, itu pun bukan dipotong (blok & zoom).
Kalo versi saya:
1.THE SHAPE OF WATER
2.PHANTOM THREAD
3.THREE BILLBOARDS
4.CALL ME BY YOUR NAME
5.LADY BIRD
6.DARKEST HOUR
7.DUNKIRK
8.THE POST
9.GET OUT
Posting Komentar