TRUTH OR DARE (2018)
Rasyidharry
April 29, 2018
horror
,
Jeff Wadlow
,
Kurang
,
Landon Liboiron
,
Lucy Hale
,
REVIEW
,
Violett Beane
19 komentar
Truth or Dare adalah Final Destination rasa Disney. Pertanyaannya, bisakah menghasilkan Final Destination yang bagus berbekal keramahan
tanpa sadisme? Tidak. Adakah yang antusias menonton Final Destination dengan kadar kekerasan minim? Tidak. Mungkin
suatu hari Jason Blum tengah bermain truth
or dare, memilih dare, lalu
ditantang untuk memproduksi horor serupa Final
Destination, tapi hanya berisi remaja-remaja tertusuk, terbentur,
tertembak, dengan darah sesedikit mungkin. Blum seharusnya memilih truth dan berkata jujur bahwa ide
tersebut amatlah buruk.
Sutradara Jeff Wadlow (Kick-Ass
2) yang menulis naskah bersama istrinya, Jillian Jacobs, kawannya, Chris
Roach, dan si pemilik gagasan cerita, Michael Reisz jelas hafal tata aturan
serta urutan dalam horor remaja: anak-anak SMA berparas cantik dan tampan
berada di Meksiko guna menghabiskan liburan musim semi terakhir, menggila
sebelum berpisah, lalu entah karena dorongan libido, pengaruh alkohol,
kebodohan darah muda, atau gabungan ketiganya, mereka menciptakan masalah yang
memancing teror pengundang maut. Olivia Barron (Lucy Hale) adalah tokoh utamanya,
sang kompas moral, pun pastinya kandidat final
girl terkuat.
“Semua orang memiliki pilihan”. Itulah tema besar filmnya.
Berulang kali ditekankan, Truth or Dare
sempat memunculkan perenungan di benak saya kala mengamati keputusan-keputusan
karakternya. Bagaimana andai Olivia tetap kukuh menolak ajakan sahabatnya,
Markie (Violett Beane), berlibur? Bagaimana jika Olivia, layaknya mayoritas
manusia waras, enggan mengikuti Carter (Landon Liboiron), pria yang baru saja
ia temui, masuk ke reruntuhan gereja kemudian bermain truth or dare? Tentu perenungan itu tidak berlangsung lama,
mengingat filmnya memang tak berusaha melangkah ke ranah itu, pun tak berapa
lama, telah sibuk menghabisi satu per satu karakternya.
Permainan truth or dare
itu menjadi nyata. Menolak menjawab jujur, menolak melakukan tantangan,
apalagi menolak ikut bermain, bakal membawa kematian. Tapi, di sisi lain, jawaban
jujur berpotensi memecah belah persahabatan. Ya, serupa truth or dare di dunia nyata. Itu poin yang menarik untuk disindir,
bahkan bisa ditertawakan sebagai bahan senang-senang lewat bumbu komedi hitam.
Masalahnya, film ini tampil terlampau serius tatkala banyak sikap karakternya
meneriakkan kebodohan masa remaja. Seolah pembuatnya—dan para aktor yang
bermain tak kalah serius dan justru menghasilkan akting sekaku batang kayu—lupa
bahwa premis soal truth or dare terkutuk
sejatinya menggelikan. Padahal, beberapa momen (contohnya Markie yang selalu pergi
akibat cemburu di saat genting) plus timing
pengadeganan Wadlow justru efektif memancing tawa.
Truth or Dare merupakan horor yang dibangun berdasarkan antisipasi penonton pada tantangan apalagi yang karakternya akan
hadapi, dan terpenting, bagaimana metode untuk menghabisi mereka satu demi
satu. Naskahnya tidak menyuplai cukup amunisi bagi sang sutradara mempermainkan
kematian-kematian itu. Tikaman pisau dan lesatan peluru jadi rutinitas sebagai cara
andalan yang filmnya pakai. Memperburuk keadaan yakni keengganan Wadlow
mendorong batas rating PG-13 sejauh mungkin. Tangan dihantam palu? Hanya lecet.
Mata tertusuk pulpen? Tanpa darah (rembesan di bawah pintu tidak dihitung).
Leher terbentur meja biliar? Cukup sekilas suara tulang patah. Pun mayoritas
tak diperlihatkan gamblang.
Mengetengahkan teror dari sebuah permainan, yang tentunya
dibarengi beragam aturan, Truth or Dare
malah melanggar, atau tepatnya melupakan aturannya sendiri, yang menyiratkan
kebingungan para penulisnya merangkai konklusi. Untuk apa saya mempedulikan
film yang membuyarkan aturan yang dibuatnya? Untuk apa pula mempedulikan film
yang bercerita soal tantangan atas keberanian tokohnya apabila keberanian pun
tak dimiliki filmnya? Ada salah satu tokoh bernama Ronnie (Sam Lerner). Dia
digambarkan cuma besar mulut, berani di luar, namun ciut nyali saat menghadapi
tantangan sungguhan. Truth or Dare
sama seperti Ronnie. Hey movie, I dare
you to grow some balls!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
19 komentar :
Comment Page:Kalimat terakhir itu sangatlah luar biasa hehe. Btw, film Sajen yang naskahnya di tulis oleh Haqi Achmad sekaligus karya Hanny R. Saputra yang jarang terdengar gaungnya, dan kini kembali ke ranah horor dengan pemaen anak kemarin sore bakalan di tonton?
Film horror mendatang yg kemungkinan bagus apa dah mas Rasyid?
@Ungki haha, lha kesel, ngapain bikin ala-ala teen slasher kalo bunuhnya cupu.
Sajen bakal nonton, walau kata kebanyakan yang premier kemaren filmnya nggak oke.
@Anonim banyak yang menarik. Halloween, Suspiria, Ghost Stories, The Nun, Hereditary,The House That Jack Built, dll.
Ada film horror bagus di penghujung tahun ini Bang Rasyid judulnya Anna and the Apocalypse. Genrenya zombie horror musical comedy, reviewnya bagus bagus.
Padahal udah ada niat mau nonton min.
Trailernya terlihat menjanjikan.
Maklum, saya tertarik sama slasher remaja macam Scream dsb
Tapi pas baca review nya skip aja lah
"Tumbuhkan beberapa bola"
bang, mau nanya, udah ga review film film lawas kah?
Nope, udah nggak sempet lagi soalnya, even film yang nggak tayang bioskop pun jarang
@Yoan oh ya, baru cek, looks interesting!
@Jackman Me too. Scream, Final Destination, I Know What You Did Last Summer, semua fun karena nggak terlalu serius. Paham kalo karakter remaja itu sering bodoh
Salah satu magnet bagi saya untuk menonton Truth or Dare karena Lucy Hale, saya termasuk pengagum premis pretty little liars. Tapi entah kenapa untuk kali ini dia terlihat jauh lebih baik pada TV series, sama dengan Tyler Posey.
Hereditary menjadi waiting list tahun ini yang dikatakan akan menjadi film horror dengan premis yang tidak biasa.
Melihat cast sajen pun saya tidak tertarik walaupun digarap seorang Hanny R Saputra, lalu bagaimana dengan sekuel jailangkung tahun ini apakah akan ditonton oleh mas Rasyid? melihat ulasan sebelumnya yang hanya diberikan 2 bintang?
@Lusiana Jailangkung 2 sih tetep nonton ya, tapi nggak berharap banyak sih
Film2 produksi Blumhouse saya selalu tonton, karena horror-thriller nya yang dengan budget minim tapi gross-nya gede, lebih greget aja gitu.
Btw kayaknya kerasa banget tadi banyak yang disensornya ya, Mas. Lucas yang pilih "dare" pas di gereja, tiba2 udah aja beresnya lari2an. Sama Brad yang juga pilih "dare" di gereja, sama sekali scene-nya gak ditampilin, dan pas dia pilih "truth" ke ayahnya, juga samanya gak ditampilin. Padahal rating udah D17+ hmmp.
@Pramudya Betul, Jason Blum itu jenius yang tahu potensi horor/thriller yang bisa diproduksi murah tapi konsep kuat.
Bukan disensor itu, emang nggak dilihatin karena rating PG-13. Kalau di sini dapat 17+ karena adegan sensualnya.
@Bang Rasyid Dan kayaknya tiap Blumhouse produksi film, distributornya pasti Universal. Blumhouse anak perusahaan Universal ? Kayak Soraya Intercine punya anak perusahaan Hitmaker bukan, Mas ?
Oalah, kirain karena di sini homofobia, jadi scene tentang itunya disensor, tapi transisi scene-nya kayak yang kasar gitu ya ?
Mereka ada deal 2014-2024, semua proyek Blumhouse, Universal punya hak buat meninjau lebih dulu dibanding studio lain.
Sensor sini nggak sekejam itu kol soal violence. Death Wish contohnya, kepala pecah aja dilihatin.
@Mas Rasyid Kerja sama toh, kirain anak perusahaannya. Sepuluh tahun ya kerja samanya, berarti "Conjuring Universe" sama "Happy Death Day 2" masih tetep Universal ya, Mas ?
Sesuai sama rating mungkin ya, Mas. Semoga "Deadpool 2" nanti gak ada acara sensor-sensoran yang berlebih, hahaha.
Happy Death Day iya, tapi Conjuring kan bukan Blumhouse. Warner Bros. itu. Punya Wan yang Blumhouse Insidious.
Kalo dari film pertama sih ada sensornya. Waktu itu di-zoom kalau nggak salah.
Tertarik sama film ini karena lihat trailernya, senyumnya terlihat mengancam, tapi melihat reviewnya saya jadi menempatkan film ini di urutan yg tidak diprioritaskan
Posting Komentar