102 NOT OUT (2018)

16 komentar
Film Indonesia, khususnya melodrama, patut mencontoh pendekatan sineas-sineas Bollywood belakangan, dalam usaha menguras air mata penonton. Kecenderungan film lokal (ingat, “kecenderungan”, bukan “semua”) bakal menempatkan tokoh utama di titik terendah maupun penyakit terparah. Dia menangis, meratap, terus berjuang, tapi sungguh perjuangan yang teramat berat. Penonton mesti dibuat merasa betapa menderita perjuangan tersebut. Produk Bollywood, punya kecenderungan sebaliknya, di mana tokoh utama memilih tersenyum, mencari sisi positif sembari mencari jalan keluar yang seringkali unik. Bukan kesedihan karakter yang menyentuh, tapi bagaimana ia enggan berkubang di kesedihan meski dihantam beragam problematika.

102 Not Out yang diangkat dari pertunjukan panggung buatan Saumya Joshi (juga merangkap penulis naskah filmnya) menampilkan tokoh utama seorang kakek berusia 102 tahun yang berjiwa muda. Dattatraya Vakharia (Amitabh Bachchan) namanya. Kakek ini sedikit “gila”, tapi bukan tipikal tokoh pria tua mesum macam yang diperankan Robert DeNiro dalam Dirty Grandpa (2016) misalnya. Dattatraya gemar bersenang-senang, tapi lebih dari itu, ia ingin sang putera, yang juga telah menginjak usia senja, merasakan kesenangan serupa. Berbanding terbalik dengan sang ayah, Babulal “Babu” Vakharia (Rishi Kapoor) yang “baru” 75 tahun, hidup dengan kekakuan rutinitas membosankan.
Pengecekan medis rutin walau tak menderita sakit, menu makanan sehat, bahkan lama waktu di bawah shower pun dibatasi tak boleh mencapai 15 menit dengan cara memasang alarm, sebab lebih dari itu, ia yakin penyakit bakal menyerang. Sudahkah saya menyebut Babu tidur memakai selimut yang sama selama 60 tahun? Maka tersentaklah ia begitu sang ayah mengacaukan segala rutinitas itu kala mengumumkan niat memecahkan rekor dunia sebagai manusia tertua. 118 tahun, alias 16 tahun lagi jadi target. Di sini kekonyolan mulai mengisi. Meyakini bahwa tinggal bersama kekakuan Babu bakal membuatnya cepat mati, Dattatraya melakukan hal mengejutkan: mengirim puteranya sendiri ke panti jompo!

Sutradara Umesh Shukla (All Is Well, Oh My God) membuka 102 Not Out dengan sekuen animasi ditemani lagu jazz Kuch Anokhe Rules yang dibawakan Armaan Malik. Kombinasi tersebut menghasilkan suasana ceria yang menegaskan tone film secara menyeluruh, meski membahas perihal serius soal masa tua dan hubungan ayah-anak. Seperti judul lagu di atas yang berarti “beberapa aturan unik”, Dattatraya memberi berbagai persyaratan tak biasa yang harus dijalankan Babu supaya ia diperbolehkan tetap tinggal di rumah. Syarat-syarat aneh yang membuat bukan cuma Babu, tapi penonton pun garuk-garuk kepala, pula berfungsi memancing tawa di awal. Namun begitu intensi tiap persyaratan itu diungkap, 102 Not Out mulai memancing bentuk emosi lain: haru.
Tentu ada dramatisasi di situ, namun air mata yang mengalir di pipi saya (serta banyak penonton lain bahkan setelah lampu teater dinyalakan) disebabkan hal-hal murni yang mudah membuat penonton terikat karena amat mungkin terjadi di kehidupan nyata. Sebuah napak tilas masa-masa indah yang telah lalu tatkala senyum bahagia masih menghiasi bibir karakternya. Rishi Kapoor menangani masing-masing napak tilas itu dengan sensitivitas tinggi. Melihatnya, saya ikut terlempar menuju memori atas kenangan-kenangan serupa. Sedangkan Amitabh Bachchan menyimbangkan absurditas pria 102 tahun penuh energi dengan paparan kasih sayang seorang ayah. Menjalani reuni setelah terakhir berkolaborasi di Ajooba pada 1991 (ini kali keenam mereka berduet), keduanya menjalin chemistry ayah-anak solid meski selisih usia mereka cuma 10 tahun dan belum lama ini terlibat konflik akibat tudingan Rishi Kapoor dalam otobiografinya bahwa Amitabh tak mengharai para co-star.

Sepanjang 102 menit (kesamaan judul dan durasi yang entah disengaja atau tidak), intensitas mampu terjaga konsisten berkat permainan tempo efektif Umesh Shukla yang memaparkan tiap titik seperlunya tanpa perlu berlarut-larut. Tangis haru kemungkinan besar bakal hadir, tetapi anda takkan berujar “this is so sad, I want to cry”, melainkan “what a beautiful relationship, what a beatiful life”. Keindahan itu yang akan menyajikan haru. Pun twist yang menanti di ujung bukan dipandang selaku eksploitasi penderitaan, namun satu lagi alasan mengapa hidup wajib dijalani dan dirayakan.  

16 komentar :

Comment Page:
Billy Jefferson Simamora mengatakan...

Nih tayang di bioskop Indonesia gak yaa bang?

irisanselotak.blogspot.com mengatakan...

Film-film bollywood makin keren ya bang, semakin berani mengangkat isu sosial dari berbagai aspek kehidupan, disajikan detail tapi menghibur dan punya semacam ‘nyawa’ untuk memberikan emosi terhadap penonton.

Rasyidharry mengatakan...

@Billy Tayang, dari Jumat kemaren

@Iris Nah itu. Isunya tepat sasaran, dalem, tapi kok ya bisa fun. Itulah kalo bikin film pake hati :)

Anonim mengatakan...

mantap nih reviewnya ane udah nonton,emang bner2 wonderful...

agoesinema mengatakan...

Berharap tayang di kendari jg. Dulu sy paling anti bollywood namun sekarang sy menggemarinya temanya beragam dan dekat dgn kehidupan sosial di indonesia

Unknown mengatakan...

Bang rasyd rekomendein dong film. Bolywood yg bagus2

Rasyidharry mengatakan...

@agoesinema Sayang sih emang, kebanyakan Bollywood, apalagi kalau bukan SRK cuma tayang di Jakarta dan sedikit kota lain.

@Pajri Mulai dari film-film Salman Khan & Aamir Khan dulu coba.

Chan hadinata mengatakan...

Mas rasyid.. gak ada niatan review "prekuel"nya wiro sableng yg judulnya 212 the power of....?? Wkwk

dim mukti mengatakan...

Ada joged-jogednya ga mas??

dear mengatakan...

Aduh lagi2 gak tayang di Surabaya Kayaknya nih. Pad Man Yg lalu pun nggak tayang di Surabaya.

Rasyidharry mengatakan...

@Chan Nggak sudi keluar duit buat orang-orang itu :)

@dimas Cuma ada montage dibarengin musik beberapa kali, bukan jadi sekuen musikal tradisional Bollywood tapi.

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

mau nonton cuman ada di cgv
yg paling deket cgv yg GI
sedih deh tiketnya kemahalan πŸ˜‘πŸ˜‘πŸ˜‘

Rasyidharry mengatakan...

@Teguh Loh, di Bella Terra kan murah. Nggak sampe sejam dari GI

Imam rahmad raharja mengatakan...

Berati mirip mirip kal ho naa ho nya SRK ya bang? Ane dari dulu sampai skrg masih suka nonton film2 india, entah kenapa film2nya yg bertema sosial berasa sama dengan keadaan di negeri kita.. Jd selalu ada pertanyaan "kenapa film2 kita gak pernah ada yg kek gitu ya?..

Rasyidharry mengatakan...

@Imam Eh? Mirip gimana? Kal Ho Naa Ho kan romcom.
Nggak cuma kita, bahkan Hollywood aja nggak sebagus Bollywood soal kombinasi kritik sosial tajam & hiburan. Dan film kita kecenderungannya, kalo bahas kesulitan hidup, karakternya dibikin semenderita dan sesedih mungkin.

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

kalo mau yg nyindir isu sosial saya memang prefer bollywod,
kalo lg butuh romcom saya tonton korea (series),
butuh yg sedih sedih menyesakan hati nonton korea/asian movie
kalo butuh ketawa terpingkal pingkal nonton thailand movie(komedinya cocok dengan selera saya dan kayanya sama juga dengan kebanyakan orang indo)