BAD SAMARITAN (2018)
Rasyidharry
Juni 27, 2018
Brandon Boyce
,
Carlito Olivero
,
David Tennant
,
Dean Devlin
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Robert Sheehan
,
Thriller
2 komentar
Bad Samaritan menampilkan Robert Sheehan sebagai
Sean Falco, sang protagonis yang bersama rekannya, Derek (Carlito Olivero),
menjalankan aksi perampokan berkedok parkir valet di sebuah restoran. Modus
operandinya, salah satu dari keduanya akan menyatroni rumah korban dengan memanfaatkan
GPS dalam mobil, lalu mengambil barang-barang kecil agar korban tak menyadari
aksi tersebut. Sean dan Falco pikir metode itu menjamin mereka lolos, tapi
tidak, sebab Bad Samaritan memastikan
kejahatan itu, serta hal-hal buruk lain yang Sean perbuat (sengaja/tidak,
besar/kecil) akan menerima balasan. Ini bukan soal justifikasi kriminalitas atau
kebodohan muda-mudi yang berbuat tanpa pikir panjang, sebagaimana bertebaran di
banyak sajian thriller, melainkan
soal penebusan kesalahan, dan itu yang membuatnya menarik.
Melalui naskahnya, Brandon Boyce ingin menghukum Sean tanpa
membuat filmnya menjadi nihilis. Prosesnya tidak mudah, konklusinya pun tak
bisa sepenuhnya disebut “akhir bahagia”, namun ada secercah cahaya tatkala
perlahan sang tokoh utama mampu berubah melalui cara yang bisa dipercaya. Sebab
cuma orang dengan kebebalan luar biasa yang menolak berubah pasca menghadapi
permasalahan serupa Sean. Fakta bahwa ia pun berusaha menyelamatkan nyawa turut
membuat prosesnya bukan Cuma believable,
pula likeable.
Sekali lagi, ini bukan perjalanan mudah. Target perampokan
terbaru Sean dan Derek adalah Cale Erendreich (David Tennant), pria pengendara
Maserati yang sombong, necis, dan tentu saja kaya raya. Merasa mendapat durian
runtuh, Sean bergegas menguras barang-barang di rumah Cale, sampai ia menemukan
seorang wanita dirantai di sebuah kamar dalam kondisi mengenaskan. Sean memilih
kabur, keputusan yang memicu rasa bersalah, yang ujungnya, juga memicu “kucing-kucingan”
ketika Cale menyadari perbuatan Sean. Cale bukan kucing sembarangan.
Bermodalkan sumber daya (baca: kekayaan) melimpah, Cale membuat pertarungan ini
berat sebelah. Betapa tidak? Cale mampu mengontrol seisi rumahnya dari telepon
genggam, memiliki senjata, pun alat pelacak.
Di bawah penyutradaraan Dean Devlin (Geostorm), “kucing-kucingan” itu mengalir dinamis, punya ketepatan
tempo, bertabur kejutan dengan kadar memadahi. Mencapai pertengahan, alih-alih
kehabisan bensin, Bad Samaritan
justru melangkah ke arah tak terduga. Ketimbang meruncing, konfliknya justru
melebar, selaku cara menunjukkan sejauh apa Cale mampu menghancurkan
kehidupan Sean, meski detail terkait “bagaimana” urung dijabarkan. Seperti
perkataan Cale, “You don’t know how rich
I am”, akhirnya memang sebatas itu yang kita tahu. Hal serupa terjadi saat
filmnya berusaha memaparkan motivasi sang antagonis melalui penjelasan latar
belakangnya oleh FBI (yang muncul hanya untuk memberi eksposisi). Cale
menderita masalah psikologis yang dipicu peristiwa masa kecil. Itu saja.
Tapi melihat penampilan David Tennant, melihat tatapan
bengisnya, mengamati senyum yang tersungging di bibirnya, mengikuti kecerdikan serta kecermatan taktiknya, mudah meyakini bahwa Cale
adalah pria dengan gangguan mental sewaktu naskahnya gagal tampil semeyakinkan
itu. Terkait naskah, saya pun terganggu dengan beberapa lubang logika. Cale
merupakan sosok cerdik, cermat, nan teliti, tetapi saat ia coba menjebak Sean menggunakan
bom, Cale justru meninggalkan Maserati disertai kuncinya yang tergeletak di tempat
biasa, memberi Sean jalan melarikan diri. Mengapa tidak menyingkirkannya dulu? Paling
tidak, cukup dengan melenyapkan kuncinya. Dengan uang plus kekuatan melimpah
miliknya, tak bisakah Cale menyewa orang untuk mengambil mobil itu?
Bodoh memang, dan karena Bad
Samaritan digarap memakai pendekatan serius, dilengkapi segala elemen
moralitasnya. Lain cerita kalau keseluruhan filmnya memakai gaya seperti third act-nya, kala selama sekitar 10
menit, Bad Samaritan
bertransformasi jadi lebih ringan, menyelipkan humor menggelitik, enggan
menganggap dirinya terlampau serius. Pada momen singkat itu pula David Tennant
melepaskan topeng ketenangan yang ia kenakan, tampil meletup sebagai antagonis over-the-top yang tetap menyenangkan
disaksikan. Tapi bukan masalah. Lubang-lubang logika yang ada hanya “kejahatan
kecil” yang berhasil ditebus oleh kebaikan lebih besar lain berupa poin-poin
positif filmnya. Seperti tokoh utamanya, Bad
Samaritan mampu menebus keburukan dirinya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:apakah menyerempet ke "gore" kah film ini?
Nope, no gore.
Posting Komentar