BAD SAMARITAN (2018)

2 komentar
Bad Samaritan menampilkan Robert Sheehan sebagai Sean Falco, sang protagonis yang bersama rekannya, Derek (Carlito Olivero), menjalankan aksi perampokan berkedok parkir valet di sebuah restoran. Modus operandinya, salah satu dari keduanya akan menyatroni rumah korban dengan memanfaatkan GPS dalam mobil, lalu mengambil barang-barang kecil agar korban tak menyadari aksi tersebut. Sean dan Falco pikir metode itu menjamin mereka lolos, tapi tidak, sebab Bad Samaritan memastikan kejahatan itu, serta hal-hal buruk lain yang Sean perbuat (sengaja/tidak, besar/kecil) akan menerima balasan. Ini bukan soal justifikasi kriminalitas atau kebodohan muda-mudi yang berbuat tanpa pikir panjang, sebagaimana bertebaran di banyak sajian thriller, melainkan soal penebusan kesalahan, dan itu yang membuatnya menarik.

Melalui naskahnya, Brandon Boyce ingin menghukum Sean tanpa membuat filmnya menjadi nihilis. Prosesnya tidak mudah, konklusinya pun tak bisa sepenuhnya disebut “akhir bahagia”, namun ada secercah cahaya tatkala perlahan sang tokoh utama mampu berubah melalui cara yang bisa dipercaya. Sebab cuma orang dengan kebebalan luar biasa yang menolak berubah pasca menghadapi permasalahan serupa Sean. Fakta bahwa ia pun berusaha menyelamatkan nyawa turut membuat prosesnya bukan Cuma believable, pula likeable.

Sekali lagi, ini bukan perjalanan mudah. Target perampokan terbaru Sean dan Derek adalah Cale Erendreich (David Tennant), pria pengendara Maserati yang sombong, necis, dan tentu saja kaya raya. Merasa mendapat durian runtuh, Sean bergegas menguras barang-barang di rumah Cale, sampai ia menemukan seorang wanita dirantai di sebuah kamar dalam kondisi mengenaskan. Sean memilih kabur, keputusan yang memicu rasa bersalah, yang ujungnya, juga memicu “kucing-kucingan” ketika Cale menyadari perbuatan Sean. Cale bukan kucing sembarangan. Bermodalkan sumber daya (baca: kekayaan) melimpah, Cale membuat pertarungan ini berat sebelah. Betapa tidak? Cale mampu mengontrol seisi rumahnya dari telepon genggam, memiliki senjata, pun alat pelacak.

Di bawah penyutradaraan Dean Devlin (Geostorm), “kucing-kucingan” itu mengalir dinamis, punya ketepatan tempo, bertabur kejutan dengan kadar memadahi. Mencapai pertengahan, alih-alih kehabisan bensin, Bad Samaritan justru melangkah ke arah tak terduga. Ketimbang meruncing, konfliknya justru melebar, selaku cara menunjukkan sejauh apa Cale mampu menghancurkan kehidupan Sean, meski detail terkait “bagaimana” urung dijabarkan. Seperti perkataan Cale, “You don’t know how rich I am”, akhirnya memang sebatas itu yang kita tahu. Hal serupa terjadi saat filmnya berusaha memaparkan motivasi sang antagonis melalui penjelasan latar belakangnya oleh FBI (yang muncul hanya untuk memberi eksposisi). Cale menderita masalah psikologis yang dipicu peristiwa masa kecil. Itu saja.

Tapi melihat penampilan David Tennant, melihat tatapan bengisnya, mengamati senyum yang tersungging di bibirnya, mengikuti kecerdikan serta kecermatan taktiknya, mudah meyakini bahwa Cale adalah pria dengan gangguan mental sewaktu naskahnya gagal tampil semeyakinkan itu. Terkait naskah, saya pun terganggu dengan beberapa lubang logika. Cale merupakan sosok cerdik, cermat, nan teliti, tetapi saat ia coba menjebak Sean menggunakan bom, Cale justru meninggalkan Maserati disertai kuncinya yang tergeletak di tempat biasa, memberi Sean jalan melarikan diri. Mengapa tidak menyingkirkannya dulu? Paling tidak, cukup dengan melenyapkan kuncinya. Dengan uang plus kekuatan melimpah miliknya, tak bisakah Cale menyewa orang untuk mengambil mobil itu?

Bodoh memang, dan karena Bad Samaritan digarap memakai pendekatan serius, dilengkapi segala elemen moralitasnya. Lain cerita kalau keseluruhan filmnya memakai gaya seperti third act-nya, kala selama sekitar 10 menit, Bad Samaritan bertransformasi jadi lebih ringan, menyelipkan humor menggelitik, enggan menganggap dirinya terlampau serius. Pada momen singkat itu pula David Tennant melepaskan topeng ketenangan yang ia kenakan, tampil meletup sebagai antagonis over-the-top yang tetap menyenangkan disaksikan. Tapi bukan masalah. Lubang-lubang logika yang ada hanya “kejahatan kecil” yang berhasil ditebus oleh kebaikan lebih besar lain berupa poin-poin positif filmnya. Seperti tokoh utamanya, Bad Samaritan mampu menebus keburukan dirinya.

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

apakah menyerempet ke "gore" kah film ini?

Rasyidharry mengatakan...

Nope, no gore.