13: THE HAUNTED (2018)
Rasyidharry
Juli 28, 2018
Achmad Megantara
,
Al Ghazali
,
Andi Rianto
,
Atta Halilintar
,
Demas Garin
,
Endy Arfian
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Mikha Tambayong
,
REVIEW
,
Rudi Soedjarwo
,
Talitha Tan
,
Valerie Thomas
9 komentar
Ada masa di mana Rudi Soedjarwo termasuk salah satu sutradara
kelas satu negeri ini. Menelurkan Ada Apa
Dengan Cinta? (2001), Mengejar
Matahari (2004), Pocong 2 (2006),
sampai Mendadak Dangdut (2006),
separuh awal 2000an adalah bukti sahih. Setelahnya diisi inkonsistensi, meski
judul-judul macam Garuda di Dadaku 2 (2011)
dan Batas (2011) sesekali
mengingatkan agar jangan memandangnya sebelah mata. Rudi masih pencerita handal. Terbukti, walau
diberi bekal medioker dalam 13: The
Haunted, sang sutradara tetap mampu menghasilkan karya yang tak terbenam di
lubang kehancuran seperti banyak horor lokal belakangan.
Saya sedikit was-was ketika baru menginjak detik pertama,
sebelum tampak apa pun selain kredit, telinga ini sudah ditusuk-tusuk oleh
volume musiknya. Padahal hanya denting piano, tapi gendang rasanya mau pecah. “Ah,
satu lagi horor murahan yang asal melemparkan jump scare berisik.”, begitu pikir saya. Perkenalan dengan jajaran
protagonisnya menguatkan prasangka itu. Mereka adalah 7 remaja yang
karakteristiknya mentok di julukan masing-masing. Celsi (Valerie Thomas) misal,
yang dipanggil “Si Logis” (or something
like that). Hampir semua kalimatnya diawali “Logikanya....”.
Atau Farel (Atta Halilintar) si “Hip Hop Boy” yang gemar mengenakan kalung emas, jam tangan emas,
cincin emas, walau aksesoris tersebut sebenarnya juga bisa diidentikkan dengan
tante-tante girang. Sementara Rama (Al Ghazali) dipanggil “Mr. Perfect” meski bagian mananya yang layak disebut sempurna, saya
tidak tahu. Pastinya bukan akting Al Ghazali, yang 4 tahun pasca debut layar
lebar di Runaway, masih sekaku batang
kayu. Endy Arfian sebagai Garin si “Kentut
Boy” lebih luwes dibanding rekan-rekannya, tapi setelah Toni di Pengabdi Setan (2017), ini jelas
kemunduran.
Alkisah, mereka bertujuh, sebagai remaja gaul masa kini yang
terobsesi untuk jadi yang terdepan, merasa iri dengan kesuksesan kanal YouTube berkonten
reality show horror milik The Jackal,
yang sukses mengumpulkan jutaan penonton dalam waktu singkat. The Jackal
sendiri terdiri dari sepasang kekasih, Joy (Achmad Megantara yang akhirnya
layak tonton pasca debut remuk redam di El)
dan Klara (Mikha Tambayong), mantan kekasih Rama. Demi menyaingi The Jackal,
mereka bertujuh pun nekat pergi membuat vlog
ke Pulau Ayunan, tempat terjadinya pembantaian 13 bulan lalu.
Apabila terdengar seperti formula klasik “sekelompok remaja
pergi ke tempat terpencil lalu diteror hantu yang ingin merenggut nyawa mereka”,
itu karena 13: The Haunted memang mengedepankan
kisah klise “sekelompok remaja pergi ke tempat terpencil lalu diteror hantu
yang ingin merenggut nyawa mereka”. Satu hal yang saya sayangkan, walau tak
mengejutkan, adalah kegagalan naskah buatan pasangan suami istri Demas Garin dan
Talitha Tan (The Secret: Suster Ngesot
Urban Legend) membangun persahabatan kuat antara tokoh-tokohnya. Mereka
berpesta bersama, jalan-jalan bersama, selalu menghabiskan waktu bersama, namun
tanpa tanda-tanda ikatan solid, sebab interaksi yang terhampar pun tak cukup
menarik untuk membuat kita peduli.
Untungnya, 13: The
Haunted bukan horor nihil kisah yang menyamakan rentetan jump scare tanpa
konteks dengan alur, lalu mengumpulkannya sebanyak mungkin guna mengisi slot
durasi. Bahkan, kuantitas jump scare film
produksi ketiga RA Pictures ini ada di taraf normal alias secukupnya. Second act-nya dipakai menelusuri
misteri yang tersimpan di Pulau Ayunan. Bukan misteri yang digarap apik, tapi
keberadaannya berhasil dimanfaatkan Rudi Soedjarwo guna unjuk gigi kapasitas
bertutur melalui tempo yang nyaman diikuti. Ketika ada karakter menyelidiki
sebuah keanehan dalam film horor, sudah jadi “kewajiban” sang sutradara melambatkan
tempo untuk memunculkan ketegangan. Rudi melakukannya, tapi tahu kapan mesti
mengakhiri itu supaya tidak berlarut-larut sehingga kehilangan momentum.
Soal menakut-nakuti, trik Rudi medioker. Hantu sekedar muncul
tiba-tiba di layar, diam, berpose, sambil diiringi musik buatan Andi Rianto (Arisan!, Kartini, Critical Eleven), yang
untungnya lebih variatif ketimbang asal berisik sebagaimana kerap dijumpai
dalam horor kelas teri negeri ini. Musik Andi pun efektif memancing ketegangan
pada third act yang kembali,
membuktikan kebolehan Rudi memainkan tempo. Bergerak cepat namun tidak
terburu-buru, klimaksnya terbukti menyenangkan, apalagi ditambah riasan menarik
garapan Cherry Wirawan dan Eba Sheba bagi hantu-hantunya. Anda bisa berargumen
hantu-hantu itu terlihat bak cosplay
monster Kamen Rider, tapi jelas jauh lebih niat dan imajinatif dibanding jajaran
setan muka bubur basi yang kerap menjadi favorit sineas horor bangsa ini. Andai
mitologi sarat misteri di balik angka 13 jadi poros utama, seperti saat “13
Cara Melihat Hantu” menyokong klimaksnya. Bodoh, tapi menyenangkan. Setidaknya
memancing keingintahuan terhadap hasilnya. Semoga 13: The Return mampu melakukannya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
9 komentar :
Comment Page:Filmnya bersambung. Jadi inget filmnya Rudy yang bersambung juga In The Name of Love. Sampe sekarang nggak tau sambungannya yang mana.
Kocak baca akting si Al dibilang kaku sekaku batang kayu. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari film ini memang. Semoga Rudy Soedjarwo bisa mendapat materi yang lebih baik ke depannya.
Bang, kira" ada rencana gak nonton film kafir
@Kim Ya kalo PH sih selama duitnya ada ya lancar-lancar aja bikin film kapan pun :D
@Heru Waktu itu kebentur Roy Marten yang kena kasus, terus ilang deh. Faktor duit juga kayaknya.
Performa aktingny atta hlilintar gmn mas bro? 😂
@Taufik "Sok Hip Hop", cuma bisa bilang itu :D
Jadi ini masih layak tonton ga min?
Terus terang saya suka banget sama 3 film horor buatan Rudy Sujarwo
Pocong 2, 40 hari bangkitnya pocong, dan Hantu rumah ampera.
Ketiga film tersebut mempunyai adegan horor memorable.
@Jackman Better than many recent horror movies, tapi kalau dibandingin 3 horor Rudi sebelumnya jauh sih.
Posting Komentar