FANNEY KHAN (2018)
Rasyidharry
Agustus 07, 2018
Aishwarya Rai
,
Anil Kapoor
,
Atul Manjrekar
,
Hindi Movie
,
Lumayan
,
Musical
,
Rajkummar Rao
,
REVIEW
Tidak ada komentar
Banyak anak (termasuk saya dulu),
berpikir bahwa orang tua, atau dalam konteks di sini ayah, tidak mengerti
mereka dengan segala impian dan kemauannya. Ayah bak sosok menyebalkan yang
gemar melemparkan pertanyaan yang menurut sang anak tidak penting. Mereka tak
tahu, jika berkebalikan dengan persepsi negatif tersebut, satu-satunya yang
ayah inginkan tak lain memenuhi kemauan sang anak. Perbedaan zaman menciptakan jurangkultural
sehingga ayah-anak sering berjarak kala berkomunikasi, dan
pertanyaan-pertanyaan tidak penting itu sejatinya adalah usaha memahami untuk
memangkas jarak tersebut.
Para ayah bekerja luar biasa keras,
namun enggan memamerkan kesulitan-kesulitan di tiap langkahnya, karena
terpenting baginya, si anak memperoleh apa yang diinginkan, bila perlu, tanpa bersusah-susah
dahulu. Kondisi itu sebagaimana penampil tidak mengutarakan proses jatuh-bangun
di belakang panggung kepada penonton, yang tidak butuh dan/atau tidak mau tahu.
Walau pengetahuan akan fase itu niscaya
membuat mereka lebih mengapresiasi sang penampil. Fanney Khan, selaku remake
dari Everybody’s Famous! (2000) yang berhasil
meraih nominasi Best Foreign Language Film
sebagai perwakilan Belgia di ajang Oscar tahun 2000, mengajak kita mengintip suasana
di belakang panggung.
Prashant Sharma (Anil Kapoor)
merupakan vokalis grup orkestra kelas kampung. Memakai nama panggung “Fanney
Khan”, ia bermimpi menjadi penyanyi tenar, sampai realita memaksanya menjejak
bumi. Tapi mimpinya tak pernah kandas. Fanney berharap sang puter kelak dapat meneruskan
impian itu, namun ia bukan ayah yang melampiaskan kegagalannya dengan memaksa
puterinya meneruskan jejaknya. Sebab Lata (Pihu Sand) pun memiliki hasrat
serupa. Sayang, tubuh tambun menghalangi cita-citanya, akibat tiap beraksi di
atas panggung, caci maki penonton perihal bentuk tubuhnya selalu terdengar.
Lata merupakan korban ketidakadilan
standar kecantikan, tetapi Fanney Khan
tidak berusaha mengeruk simpati dari situ. Sebaliknya, Lata digambarkan sebagai
tokoh yang kurang simpatik. Siapnya terhadap Fanney seringkali kasar. Misal saat
Fanney begitu bersemangat memperdengarkan lagu yang khusus ia ciptakan bagi Lata,
namun Lata justru mengenakan earphone. Menyebalkan,
tapi sikap kebanyakan anak di masa remaja memang demikian. Apabila anda merasa
kesal melihatnya, mari berkaca sejenak, apakah kita pun bertindak begitu terhadap
orang tua?
Skenario garapan Atul Manjrekar
(juga sutradara), Hussain Dalal, dan Abbas Dalal mengusung formula tearjerker tradisional, bahkan lebih
konvensional ketimbang kebanyakan drama mengharu biru buatan arus utama Bollywood
belakangan. Berbagai momen penghinaan terhadap Lata disajikan berlebihan,
terkesan manipulatif, dan berpotensi mengalineasi penonton yang telah lelah
dengan formula demikian. Maka hadirlah Anil Kapoor, yang melalui performanya,
memastikan penonton dari kelompok mana pun, bakal tersentuh oleh perjuangan
Fanney Khan.
Raut wajah Anil memancarkan
kemurnian, cenderung mengarah pada kepolosan. Sewaktu terlibat pertengkaran
dengan Lata, Fanney tak memahami kesalahannya. Wajahnya, memperlihatkan
kebingungan sekaligus kesedihan. Hatinya terluka. Tapi elemen paling menyentuh
adalah setiap Fanney melihat mimpi puterinya sedikit demi sedikit mendekati
kenyataan. Mata Anil bersinar, senyumnya mengembang lebar, menunjukkan seperti
apa perwujudan kasih sayang tulus seorang ayah. Kepolosannya, ditambah
keputusasaan yang dipicu kesulitan uang dan ambisi memenuhi mimpi sang puteri,
menjadikan segala keputusan bodoh atau langkah gila yang Fanney ambil dapat
dipercaya. Tidak bisa dibenarkan, namun bisa dipahami.
Langkah gila di atas berupa aksinya
menculik Baby Singh (Aishwarya Rai), megabintang sekaligus idola Lata. Apa yang
Fanney minta selaku tebusan takkan saya sebut, sebab merupakan pondasi konflik
kompleks serta puncak emosi di paruh akhir. Tapi saya bisa menyebutkan betapa
memesona Aishwarya, dengan rambut merah, mata hijau, kepercayaan diri setinggi
langit, ia jelas mendefinisikan “Megabintang”, status yang juga ia sandang di
kehidupan nyata. Dia pun bersinar dalam momen komedik. Seluruh adegan yang
melibatkan interaksi konyol nan canggung antara Fanney dan Adhir (Rajkummar
Rao) si penculik amatir dengan korbannya yang jauh lebih cerdik adalah komedi
brilian. Bertugas sebagai “perespon”, sang aktris tidak pasif, merespon lewat
kelucuan yang mengeskalasi kualitas humornya.
Keputusan Fanney menculi Baby jelas
elemen problematik dalam naskahnya, yang berbeda dari film sumber inspirasinya,
bukan berwujud satir. Penonton terang-terangan diajak membenarkan kegilaan
Fanney. Belum lagi keterlibatan unsur Stockholm
Syndrome di penculikan tersebut. Fanney
Khan memilih menyederhanakan semuanya, termasuk caranya menutup konflik
yang melibatkan kriminalitas serta skandal berskala nasional. Film ini memang
sederhana, formulaik, layaknya lagu pop yang mengalun mengikuti pola sarat
nada-nada kegemaran pasar yang gampang dimainkan pula diingat plus refrain uplifting. Namun bukankah lagu seperti itu yang mudah
tertinggal di perasaan? Fanney Khan jelas
demikian.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar