THE SPY WHO DUMPED ME (2018)

6 komentar
The Spy Who Dumped Me adalah 2 hal: 1) Film dengan materi sangat lemah sehingga sepenuhnya bergantung pada penampilan cast, dan 2) Aktris dengan talenta luar biasa sehingga mampu mengangkat kualitas film, melakukan yang terbaik supaya filmnya dapat bekerja  di materi terlemah sekalipun. Sambutlah Kate McKinnon, salah satu anggota terlucu Saturday Night Live (SNL) masa kini yang masih mencari breakthrough movie pasca reboot Ghostbusters (2016) remuk di pasaran. McKinnon amat memikat, bisa jadi anda terkekeh hanya karena melihat ekspresinya, bahkan dalam lelucon yang tidak lucu.

McKinnon memerankan Morgan (nama belakangnya bakal jadi amunisi humor nantinya), wanita dengan perilaku eksentrik yang juga sahabat Audrey (Mila Kunis), yang dalam buddy comedy ini berperan sebagai “si normal”. Dialah gadis yang dicampakkan oleh seorang mata-mata, yakni agen CIA bernama Drew (Justin Theroux), yang suatu hari mendadak hilang dari kehidupan Audrey. Drew kembali bersama serombongan pembunuh, juga jajaran MI6, yang semuanya mengincar flash drive yang disembunyikan Drew. Bisa ditebak, flash drive itu jatuh ke tangan Audrey, dan membawanya bersama Morgan terlibat kucing-kucingan berskala internasional, sebagaimana James Bond selalu lakukan.

Tentu flash drive itu sebatas MacGuffin dengan satu-satunya fungsi yaitu membawa kedua tokoh utama menuju petualangan gila di beragam lokasi. Penulis naskahnya, Susanna Fogel (juga sebagai sutradara) dan David Iserson pun tak berusaha menyamarkan peran tersebut. Kita hanya tahu, isi flash drive tersebut dapat membobol jaringan internet di seluruh dunia lewat “pintu belakang”. Cara pastinya, pembuatnya, serta segala detail lain seutuhnya dikesampingkan. Terpenting, Audrey dan Morgan tak boleh membiarkannya jatuh ke tangan musuh, agar alurnya sendiri bisa terus bergerak menuju tempat-tempat berikutnya. Apa yang terjadi setelah tiba di destinasi tidak penting, bukan mustahil, sepanjang petualangan, anda akan melupakan eksistensi flash drive itu.

Menu utama petualangannya adalah kebodohan. Hampir semua tokoh film ini punya kebodohan. Dari agen CIA yang selalu membanggakan status sebagai alumni Harvard, sampai si pembunuh berdarah dingin yang (nyaris) selalu tanpa ekspresi turut memperoleh porsi humor. Tapi materinya lemah, takkan memberi dampak walau sekedar sebersit senyum andai tidak ada McKinnon yang memberi dorongan daya. Serupa komedian-komedian terbaik di luar sana, McKinnon tahu bagaimana menjadikan tiap bagian dirinya aset kelucuan, lalu mengerahkan segalanya, mulai mata, senyum, sampai gerakan-gerakan eksentrik sebagai wanita yang bersikap bak cuma didasari intuisi gila. Saya pun yakin kalau beberapa momen terbaik merupkan hasil dari improvisasinya. Sementara Kunis cukup sukses mengimbangi agar tak tenggelam di balik pesona lawan mainnya.

Bahkan setelah menerima injeksi energi dari McKinnon, pula chemistry solidnya bersama Kunis, The Spy Who Dumped Me hanya berhenti di taraf “layak tonton”. Filmnya malah lupa melucu kala mengeksekusi porsi aksi, yang secara mengejutkan tampil brutal dan kental kekerasan. Pria yang terlontar dari sepeda motor, wanita paruh baya yang tangannya tertusuk pisau dapur, menjadi beberapa contoh usaha Susanna Fogel (Life Partners) membuktikan bahwa komedi-aksi dengan wanita selaku pemeran utama tidak kalah “gahar” dibanding yang menampilkan aktor pria. Sedikit berlawanan dengan tujuan menciptakan hiburan ringan, keberhasilan penyutradaraan Fogel merangkai aksi high octane membuatnya tak lagi jadi masalah.

Tingkat kekerasan itu sejatinya sudah cukup menghadirkan pesan subtil, tapi Fogel dan Iserson bagai kurang puas kalau belum berpesan melalui alurnya. Audrey digambarkan tidak pernah menyelesaikan apa pun yang ia mulai. Apa tepatnya? Kita tak pernah melihat Audrey enggan menyelesaikan sesuatu. She even finished so many lives with her gun and driving skil. Sedangkan Morgan terganggu atas cap “aneh” yang disematkan padanya dan ingin membuktikan anggapan itu keliru. Tapi The Spy Who Dumped Me jelas memanfaatkan, mengeksploitasi keanehan itu, sengaja menjadikannya seabsurd mungkin. Film ini rupanya juga bermuka dua, seperti beberapa tokohnya yang menyimpan identitas rahasia guna melangsungkan pengkhianatan. Begitu usai, mayoritas kontennya akan terlupakan kecuali McKinnon yang sepadan dengan harga tiketnya.

6 komentar :

Comment Page:
tegar mengatakan...

so...kalau butuh hiburan ketawa ketiwi, mending nonton spy atau titans??

Rasyidharry mengatakan...

Kalau demen komedi meta, self-refference ala Deadpool & The Lego Batman, pilih Teen Titans.

Ryan Valent mengatakan...

kalau mau belajar soal kritik film dimana yah bang?. apakah ada referensi atau website untuk belajar basicnya. kayak kata MacGuffin,exposition gitu

Rasyidharry mengatakan...

@Ryan Cukup banyakin baca review & artikel film yang penulisnya bagus aja. Personally, dari dulu selalu baca tulisan Roger Ebert, sampai sekarang setelah dia meninggal pun masih rutin baca.

Dana Saidana mengatakan...

Jadi filmnya ini lucu gak Bang..

Ozz mengatakan...

Emang agak garing sih