THE GIRL IN THE SPIDER'S WEB (2018)
Rasyidharry
November 18, 2018
Claire Foy
,
Crime
,
Fede Alvarez
,
Jay Basu
,
Lakeith Stanfield
,
Lumayan
,
REVIEW
,
Steven Knight
,
Sverrir Gudnason
,
Thriller
8 komentar
Rencana sekuel bagi The Girl with the Dragon Tattoo (2011)
milik David Fincher dihapuskan, karena meski mengumpulkan lebih dari $232 juta
di seluruh dunia, membuat lanjutan untuk thriller
kriminal atmosferik bertempo lambat dengan durasi 158 menit dan biaya $90 juta
(belum termasuk promosi), dianggap berisiko oleh Sony, yang mana—walau
disayangkan—dapat dipahami. Fede Alvarez (Evil
Dead, Don’t Breathe) pun menggantikan Fincher menggarap sekuel/soft-reboot yang lebih mudah diakses
penonton umum, lebih singkat (117 menit), dan memakan biaya tak sampai separuh
film pertama ($43 juta).
Lisbeth Salander pun mengalami
perubahan. Dia bukan sekedar peretas andal yang kerap terlibat dalam
investigasi misteri. Kini Lisbeth bagai Ethan Hunt atau James Bond, yang harus menyelamatkan
dunia dari usaha sekelompok teroris mencuri kode peluncur nuklir, memaksanya
terlibat adu jotos, adu tembak, dan kebut-kebutan. Pun Claire Foy (dalam satu
lagi performa mumpuni setelah Unsane dan First
Man) adalah Lisbeth Salander yang tetap penyendiri namun lebih “bersahabat”,
lebih sensitif, tidak sedingin dan seeksentrik versi Rooney Mara.
Pendekatan tersebut tak diragukan
lebih mudah diterima penonton umum. Dikombinasikan dengan segelintir pemandangan
menyakitkan yang cukup membuat kita meringis nyeri seperti saat Lisbeth
merekatkan luka goresan peluru di punggungnya menggunakan lem atau—sebagaimana jamak
dipakai para jagoan aksi—stapler, pula penerapan tempo cepat oleh Alvarez, The Girl in the Spider’s Web merupakan thriller yang mampu terus mengikat
perhatian dan antusiasme penonton.
Mengadaptasi novel berjudul sama
karya David Lagercrantz selaku buku keempat di seri Millenium sekaligus judul
pertama di luar karangan Stieg Larsson yang meninggal pada 2004, anda bakal
mendapati familiaritas plotnya dengan setumpuk thriller-kriminal lain. Lisbeth diminta mencuri Firefall—program yang
memungkinkan pengguna mengakses kode nuklir di seluruh dunia—dari National
Security Agency (NSA) oleh pencipta programnya sendiri, Frans Balder (Stephen
Merchant). Frans merasa, menciptakan Firefall adalah kesalahan dan berniat
menghancurkannya.
Lisbeth pun harus menghadapi berbagai
pihak karena aksinya: Edwin Needham (Lakeith Stanfield), anggota NSA yang
berniat merebut Firefall kembali; Swedish Secret Service (SAPO) yang sudah lama
ingin menangkap Lisbeth; dan sindikat kriminal misterius bernama The Spiders.
Dengan pihak sebanyak itu, yang masing-masing menyimpan kepentingan berbeda,
belum termasuk kembalinya Mikael Blomkvist (Sverrir Gudnason) guna membantu
Lisbeth menggunakan kemampuan jurnalisme investigasinya (yang gagal film ini
manfaatkan) hingga eksplorasi masa lalu Lisbeth, The Girl in the Spider’s Web bisa saja terbelit dalam kerumitannya
sendiri, seperti banyak thriller-kriminal
lain yang berusaha tampak pintar nan rumit tanpa dibarengi kebolehan bercerita.
Beruntung, itu tidak terjadi. Trio
penulis naskahnya: Fede Alvarez, Jay Basu (The
Dinosaur Project, Monsters: Dark Continent), dan Steven Knight (Locke, Allied), mampu mempertahankan
kejelasan mengenai “siapa adalah siapa” dan “siapa melakukan apa”. Sebagai
sutradara, Alarez pun tahu kapan mesti berakselerasi, kapan mesti memperlambat
laju untuk eksposisi dan eksplorasi plot. Sewaktu berakselerasi, filmnya
sanggup memanfaatkan kecerdasan serta penguasaan teknologi karakter utamanya.
Benar bahwa terlampau banyak momen “pelacakan lokasi”, namun sekalinya tiba di
lokasi, kita disuguhi sekuen menegangkan yang bakal memancing senyum penuh
kepuasan, seperti saat Lisbeth menembus sistem keamanan bandara.
Memang pemakaian teknologinya
membuat The Girl in the Spider’s Web
lebih over-the-top ketimbang
pendahulunya, termasuk versi trilogi Swedia, yang mungkin membuat para puritan
kebakaran jenggot. Sementara pengagum Fincher pun rasanya takkan “terangsang” kala
mendapati atmosfer suramnya lenyap dan Stockholm tak lagi sedingin serta
sesunyi sebelumnya. Tapi sebagai gantinya, film ini amat menghibur. Saya tidak
keberatan duduk mengarungi beberapa aksi medioker berhiaskan quick cut memusingkan hanya untuk
melihat Lisbeth Salander melempar trik demi trik untuk mengakali
lawan-lawannya. Kalau bukan disebabkan sekuen aksi lemah dan pemakaian unsur
kebetulan bodoh sebagai resolusi, saya akan mencintai film ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:Film ini kalo dibadingin ama filmnya Fincher, bener2 jauh. Walau banyak action, tapi lebih seru yg film sebelumnya
Btw mas Rasyid udah nonton AHS Apocalypse belom? Seru! Menurut saya itu season terbaik AHS
Cukup kecewa, kenapa jd langsung ke novel ke empat, knp gk trusin yg punya fincher, yg mnurut saya adalah salah satu thriller terbaik yg prnah saya tonton dan saya jg lebih menyukai Rooney Mara ketimbang Noomi Rapace sebagai Lisbeth.
Fede Alvarez adalah salah satu sutradara yg punya talenta luar biasa, liat bagaimana dia me remake Evil Dead yg mana jd salah satu remake terbaik, Dont Breath jg luar biasa, itu yg membuat Alvarez dilirik produser jd sutradara film mainstream, dgn mnyutradai film trhiller bertempo cepat seperti ini sebenarnya mlah mnjadikanya terlupakan, karna sudah bnyak tipikal film seperti ini. Saya sangat berharap film selanjutnya lebih mnggambarkan Alvarez sebenarnya (semoga Evil Dead 2) :)
Alasan Sony Langsung ke novel keempat sih karena biar sepenuhnya baru, ambil cerita yang belum pernah diadaptasi film. Kalau gini kan cuma bakal dibandingin sama versi Fincher, kalau ambil novel kedua, bakal dibandingkn juga sama versi Swedia.
Well Evil Dead 2 sih kayaknya udah beneran "mati". Kecuali Bruce Campbell & Raimi mau balik
Kualitas Claire Foy memang tdk diragukan setelah diganjar piala Emmy dan Golden Globe untuk perannya sebagai ratu Elizabeth di serial The Crown.
Smoga ada waktu nonton ini dri begitu banyak film menarik yg rilis bulan ini .
Versi swedia triloginya bagus ngak ,
@nasrullah Oh, ini emang tahunnya Foy. Ada First Man, Unsane, sekarang ini. Semuanya dia main bagus.
@Unknwown Lebih suka versi Fincher, tapi bagus kok.
Sayang banget ya. Padahal perpaduan Fincher-Mara-Craig di Dragon Tattoo itu bener2 merangsang. Asliiikkkkk..btw, ini juga karna kangen banget sama film2nya Fincher. Dalam waktu dekat mau bikin film lagi nggak sih dia??
@Intun Sementara sih masih sibuk musim keduanya Mindhunters. Kalau film, Juni 2019 mulai syuting sekuel World War Z.
Posting Komentar