THE HOWS OF US (2018)
Rasyidharry
November 19, 2018
Bagus
,
Cathy Garcia-Molina
,
Comedy
,
Daniel Padilla
,
Jessie Lasaten
,
Kathryn Bernard
,
Noel Teehankee
,
Philippine Movie
,
REVIEW
,
Romance
,
Susan Africa
4 komentar
The Hows of Us—yang kini resmi menjadi film Filipina terlaris sepanjang
masa dengan ₱810 juta atau sekitar $15 juta—mengajak kita mempercayai suratan
takdir, terus melangkah maju bersamanya, meski di awal terasa menyakitkan dan
destruktif. Karena seperti matahari, takdir bakal menenggelamkan hidup kita, meninggalkannya
di kegelapan untuk sementara waktu, sebelum terbit kembali sembari memancarkan
cahaya luar biasa benderang.
Filmnya dibuka melalui time-lapse yang memperlihatkan satu demi
satu perabotan mengisi sebuah rumah kosong, sementara perbincangan dua tokoh
utama, yang menggambarkan progres hubungan mereka, terdengar di belakang.
Sebagaimana romansa menjadi lengkap saat sepasang kekasih saling mengisi, kondisi
serupa berlaku untuk rumah beserta barang-barang di dalamnya. Tapi ketika
terlalu banyak barang tergeletak tanpa ditata rapi, kita hanya akan menemui
ruang penuh sesak, kacau, dan berantakan.
Primo (Daniel Padilla) dan George (Kathryn
Bernard) adalah pasangan yang akan kita ikuti perjalanannya. Mereka bertemu semasa
kuliah di sebuah kompetisi debat mengenai peran gender, yang berujung konklusi kalau
perbedaan pria dan wanita bukan masalah sebab keduanya ditakdirkan untuk saling
melengkapi. Kesetaraan gender bukan topik utama filmnya, tapi saya suka fakta bahwa
terdapat dua momen terpisah saat mereka saling terpesona oleh tubuh
masing-masing. Terpikat pada fisik lawan jenis bukan eksklusif milik pria
semata, dan selama tak ada tindakan kelewatan yang mengikuti, itu merupakan
suatu kewajaran.
Keduanya jatuh cinta, lalu tinggal
bersama di rumah mendiang nenek George, Tita Lola (Susan Africa), yang berpesan
agar merawat rumah tersebut. George ingin menjadi dokter, Primo terus mengejar
ambisinya sebagai musisi. Tapi seiring bergulirnya hidup, mereka semakin
menjauh dari mimpi-mimpi itu, juga satu sama lain.
Tidak diragukan lagi, ini kesalahan
Primo. Kesuksesan yang ia janjikan tak kunjung datang, dan mereka pun kesusahan
membayar tagihan. Tapi ia enggan menyerah. Saat Primo sibuk berusaha terbang,
ia tak menyadari jika George susah payah menahan permukaan tempatnya berpijak
agar tidak runtuh. George rela banting tulang membagi brosur di pinggir jalan,
bahkan melewatkan National Medical
Admission Test (NMAT) demi menjemput Primo yang terlalu mabuk bahkan untuk
berdiri.
George merasa menyia-nyiakan
hidupnya, sedangkan Primo lupa kalau mereka mesti berjuang bersama. Sampai pada
suatu malam gelap di bawah guyuran hujan
lebat, George tiba di batas ketahanannya, mengusir Primo, yang akhirnya pergi,
tak pernah kembali atau sekedar memberi kabar.....hingga dua tahun berselang,
sewaktu George telah mulai menata lagi hidupnya dan berniat menjual rumah
peninggalan Tita Lola.
The Hows of Us memaparkan perjalanan panjang tanpa coba melakukan
simplifikasi. Seluruh proses diperlihatkan, seluruh usaha yang menyatukan,
seluruh pertengkaran yang memisahkan. Hasilnya, tiap perasaan karakternya mudah
dimengerti, dan timbul bukan tanpa alasan. Naskah yang ditulis empat orang
termasuk sang sutradara, Cathy Garcia-Molina (Seven Sundays, You Changed My Life, A Very Special Love), enggan
buru-buru guna memaksa penonton menangis secepat mungkin, melainkan perlahan membangun
momen demi momen, yang walau tampil sedikit terlampau panjang ketika beberapa
situasi terus bergulir meski tujuan eksistensinya telah dicapai, menghasilkan
penebusan sepadan berupa puncak emosi. Tapi betul, film ini tidak perlu
berjalan selama 117 menit.
Musik gubahan Jessie Lasaten (Unexpectedly Yours, Seven Sundays) nyaris
tak pernah absen, konsisten mengalunkan nada melankolis yang urung terdengar
manipulatif. Sebelum waktunya tiba, musiknya sebatas latar, ketika Cathy
Garcia-Molina membiarkan makna di balik tiap momen serta performa dua pemeran
utama mengarahkan jalan. Pasca kembalinya Primo, sebagai komedi-romantis, The Hows of Us mulai menyuguhi kita
bagian komedinya, yang tampil lucu sekaligus manis berkat pesona di balik
kengototan Daniel Padilla untuk memenangkan kembali pujaan hatinya, juga gaya “malu-malu-mau”
dari Kathryn Bernardo yang bakal merekahkan senyum di bibir anda.
Di satu titik, lokasinya berpindah
ke Amsterdam. Dalam sebuah adegan yang tersaji indah dari balik lensa kamera
sinematografer Noel Teehankee (My Perfect
You, Fangirl Fanboy), kedua karakternnya mengarungi taman bunga bersama, di
bawah siraman cahaya matahari senja, mengingat masa lalu, memori-memori yang
tersimpan, berkontemplasi, kemudian bertanya, “Apa jadinya jika hari itu mereka
tak berpisah? Apakah itu jaminan hubungan mereka bakal awet? Apakah mereka
dapat belajar menjadi orang yang lebih baik dan dewasa seperti sekarang?”.
Tidak ada yang tahu, tapi mungkin ungkapan “Indah pada waktunya” bukan cuma
omong kosong.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:nonton dimana bang rasyid?
Review istimewa bang
@maulanatomm Di bioskop. Memang terbatas sih, cuma di beberapa kota.
@Nino Filmnya istimewa soalnya :)
bang review film coen brother sama alfonso cuaron yg netflix nggak?
Posting Komentar