RAMPANT (2018)
Rasyidharry
November 20, 2018
Action
,
horror
,
Hwang Jo-yoon
,
Hyun bin
,
Kim Sung-hoon
,
Kim Tae-woo
,
Korean Movie
,
Kurang
,
REVIEW
3 komentar
Rampant membuktikan jika semakin tinggi suatu konsep, semakin sulit
pula pengembangannya. Saya langsung kepincut begitu mendengar premis soal
serbuan zombie pada era Dinasti Joseon. Bayangkan bagaimana orang-orang di masa
itu bereaksi. Bayangkan cara pihak kerajaan menerapkan strategi perang untuk
membasmi monster-monster haus darah itu. Bayangkan pula betapa menyegarkan
gambar-gambar di dalamnya, setelah selama ini kita terbiasa menyaksikan zombie
berkeliaran di masa modern, di antara bangunan modern dan masyarakat
berpenampilan modern.
Lalu bayangkan, betapa
mengecewakannya saat film garapan sutradara Kim Sung-hoon (Confidential Assignment) ini rupanya minim perbedaan dengan film
zombie kebanyakan. Rampant adalah
satu lagi ide brilian yang berhenti di ranah premis, tatkala pembuatnya
kekurangan akal guna mengembangkannya menjadi suatu sajian baru. Tidak semua
film mesti menyajikan hal baru, namun Rampant
jelas mengincar pencapaian tersebut dan gagal total.
Pasca adegan pembuka yang
memperlihatkan seorang pria berubah menjadi zombie dan memakan warga desa termasuk
anaknya yang masih balita, Rampant
bergerak tak terkontrol, menuturkan kisah berbelit soal pemberontakan dan
perebutan kekuasaan di kerajaan. Saya tersesat, sebab naskah buatan Hwang
Jo-yoon (Masquerade, Oldboy) enggan
repot-repot memperkenalkan dahulu identitas karakter serta garis besar gambaran
situasi. Seolah filmnya sendiri tidak sabar untuk melenggang ke poin
berikutnya, di mana sang protagonis akhirnya memasuki sentral cerita. Dia adalah
Pangeran Lee Chung (Hyun Bin) yang baru kembali ke Joseon setelah sekian lama
tinggal di Qing. Lee Chung kembali atas wasiat kakaknya, Putera Mahkota Lee
Young (Kim Tae-woo), yang bunuh diri sebagai bentuk penebusan dosa karena menyulut
api pemberontakan.
Lee Chung adalah sosok membingungkan.
Terkadang ia Pangeran menyebalkan yang cuma memedulikan wanita dan enggan
mengemban tanggung jawab, namun kadang kala menyimpan kepedulian, hanya saja
berlagak menyebalkan karena gengsi. Di lain waktu dia murni seorang pria dengan
kebaikan hati. Inkonsistensi penokohannya menghasilkan kesan seolah sedang
menyaksikan beberapa orang berbeda.
Sewaktu Lee Chung tiba, ia mendapati
desa telah hancur lebur. Ketika ia mengira tengah terjadi perang atau wabah
penyakit (banyak mayat gosong bergelimpangan), sesosok zombie, atau yang mereka
panggil “Iblis Malam”, menyerang. Beruntung, beberapa anggota kelompok pemberontak
memberi pertolongan. Sebagai gantinya, mereka meminta Lee Chung membujuk Raja
supaya mengirim pasukan untuk membasmi zombie-zombie itu.
Bagi warga, situasi semakin genting
kala stok makanan dan air bersih menipis. Kita digiring agar peduli akan
penderitaan serta perjuangan mereka, sehingga saat ada yang meregang nyawa,
diharapkan emosi kita tercabik-cabik. Tapi tidak. Saya tidak cukup mengenal
karakternya untuk bisa meluangkan simpati, tidak pula mengetahui hubungan
antara mereka, bahkan tidak tahu bahwa ada kakak-beradik di antaranya, kalau
bukan karena panggilan “kakak” yang diucapkan. Atau panggilan itu bukan merujuk
pada saudara kandung? Bagaimana saya bisa menangisi karakternya kalau filmnya
sendiri gagal menjabarkan penokohan?
Bukan karakterisasi saja yang tidak
jelas, pula pembangunan dunianya. Seolah ada banyak keping puzzle menghilang.
Keping-keping yang menjelaskan detail situasi Joseon hingga peristiwa-peristiwa
penting sebelum dan selama serbuan zombie, yang penting diketahui guna memahami
gambaran utuh kondisinya. Sedangkan elemen aksinya tidak buruk, meski tak juga
luar biasa, hanya mengandalkan tebasan-tebasan pedang tanpa koreografi
menonjol, yang dibungkus penyutradaraan minim gaya. Praktis, Rampant sekedar mengandalkan gore berdosis medium. Biar bagaimana,
melihat zombie-zombie ditusuk, disayat, lalu dipenggal, memang cukup menyenangkan.
Tapi sungguh sulit menahan
pertanyaan, “Lalu apa perbedaan Rampant
dengan film zombie kebanyakan?”. Didominasi serbuan zombie cepat di malam hari
(seperti vampir, sinar matahari membakar tubuh mereka), desain lokasi serta
kostum yang mestinya mampu memberi warna baru urung dimanfaatkan. Pun akhirnya,
karakternya menerapkan rencana pemusnahan zombie paling klise. Rencana yang
kalau dipikir lebih jauh, sejatinya tidak efektif, memiliki probabilitas
kesuksesan tak seberapa tinggi. Rampant
gagal memadukan elemen teror zombie dan film period bertema kerajaan, yang seharunya identik dengan adu taktik
cerdik dalam medan pertempuran.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:nanti akan ada series kingdom juga netflix
tentang zombie di era kerajaan juga
mudah mudahan itu lebih bagus sih
biasanya series pembangunan karakternya lbh bagus
Lebih tepatnya karena punya lebih banyak durasi buat storytelling ditambah bujet lebih kecil, jadi mau nggak mau, mesti pakai pendekatan character-driven.
zombie di era kerajaan jd kesannya unik
macam game of thrones
Posting Komentar