I WANT TO EAT YOUR PANCREAS (2018)
Rasyidharry
Desember 21, 2018
Animated
,
Cukup
,
Japanese Movie
,
Lynn
,
Mahiro Takasugi
,
REVIEW
,
Shin'ichiro Ushijima
4 komentar
Pembaca reguler blog ini pasti tahu
bahwa “kelemahan” saya adalah romansa bittersweet
dramatis (tahun ini sudah ada On Your
Wedding Day, The Hows of Us, Color Me True dan lain-lain). I Want to Eat Your Pancreas—selaku
adaptasi novel berjudul sama karya Yoru Sumino yang sebelumnya telah
diterjemahkan dalam format live action
lewat Let Me Eat Your Pancreas (2017)—bisa
tergabung dalam jajaran tontonan yang dengan senang hati saya tangisi, andai
saja filmnya bersedia menghilangkan, atau setidaknya mengurangi usaha memenuhi “mimpi
basah” pria-pria kesepian di paruh awal.
Protagonis kita adalah laki-laki
tanpa nama (Mahiro Takasugi), seorang antisosial yang menenggelamkan diri dalam
buku, mengaku lebih menikmati novel ketimbang dunia nyata, dan menjauh dari
teman-teman sekelas karena berasumsi, mereka takkan mau bergaul dengan orang
membosankan sepertinya. Bahkan matanya pun senantiasa sendu. Hingga Sakura
Yamauchi (Lynn) si gadis populer, cantik, ceria, dan blak-blakan, memasuki
hidupnya.
Keduanya bertemu di rumah sakit
saat protagonis kita (selanjutnya kita sebut saja “A”) menemukan buku harian
Sakura yang tertinggal. Tanpa basa-basi, Sakura memberitahu bahwa hidupnya
takkan lama lagi akibat kanker yang menggerogoti pankreasnya. Tapi tidak
seperti orang lain yang langsung bersikap luar biasa baik karena kasihan, A
merespon dengan dingin. Bagi Sakura, itu justru bentuk kejujuran, yang
membuatnya tertarik pada A, bahkan meminta si pria penyendiri menghabiskan
waktu bersamanya, mendatangi tempat-tempat yang ingin ia kunjungi sebelum mati.
Sakura merupakan karakter menarik
yang secara santai mengucapkan kata “mati” seolah itu tak berarti apa pun.
Karena memang demikian adanya. I Want to
Eat Your Pancreas membawa pesan mengenai kematian sebagai sebuah kepastian.
Manusia bisa mati kapan saja. Seperti kata Sakura, orang yang sehat bisa saja meninggal
lebih dulu daripada dia, dan mengetahui bahwa kanker kelak akan membunuhnya,
tidak membuat Sakura merasa kondisinya spesial.
Melalui hubungan kedua tokoh utama
(yang cenderung ke arah platonik), sutradara sekaligus penulis naskah Shin'ichirô
Ushijima membawa kita untuk mengobservasi dampak dari rasa cinta, yang dapat
mendorong seseorang berubah jadi lebih baik. Bukan atas dasar permintaan sang
pujaan hati, melainkan karena seseorang mengalami suatu pembelajaran, yang
membuatnya yakin jika perubahan tersebut perlu terjadi demi kebaikannya
sendiri.
Benturan dua pribadi yang bertolak
belakang kerap menghadirkan situasi menggelitik, namun seperti telah disinggung
di atas, paruh pertamanya memunculkan kesan berbeda. Pendekatan aktif Sakura
terhadap A bukan gambaran sosok yang mengagungkan hidup bebas, penuh semangat, dan
tanpa rasa takut, tapi sebatas perversion
terselubung. Saya bagai melihat fantasi pria yang bermimpi didatangi gadis
cantik, yang menganggap sikap sinis dan kesendiriannya menarik. Beruntung hanya
ada satu gadis. Jika lebih, I Want to Eat
Your Pancreas bisa masuk kategori harem.
Ketidaknyamanan memuncak sewaktu
filmnya mulai menyentuh tensi sensual di antara A dan Sakura. Berulang kali
saya coba menampik pemikiran negatif itu, namun ketika melihat A melakukan hal kelewat
batas yang begitu mudah Sakura maafkan (bahkan mempererat hubungan mereka), pemenuhan
fantasi film ini tidak lagi bisa diterima. Saya sempat ingin keluar dari
studio. Untungnya niat itu dibatalkan, sebab setelah melintasi separuh jalan, I Want to Eat Your Pancreas mulai
berevolusi ke arah presentasi manis, bahkan indah, mengenai takdir, dengan
taburan bumbu romansa.
Dibungkus goresan warna lembut, seiring
A yang lebih terbuka dan belajar banyak hal dari Sakura, kehangatan mulai
menyebar. Sampai tiba-tiba, dada ini rasanya seperti ditusuk-tusuk tatkala I Want to Eat Your Pancreas mengungkap
kejutannya, yang masih menyinggung perihal misteri takdir. Narasinya cerdik
mempermainkan ekspektasi penonton. Walau ditutup oleh epilog yang bergulir agak
terlalu lama, konklusinya efektif mengaduk-aduk perasaan, sembari memberi
resolusi memuaskan bagi perjalanan (salah satu) karakternya. Di luar babak awal
yang “sakit”, I Want to Eat Your Pancreas
tetap sebuah cerita bermakna yang layak dicoba.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Lebih bagus mana kalau dibandingkan versi Live Action nya, bang..?
Wah malah belum nonton versi live action
sempet surprise di endingnya
Barusan nonton film ini. Ada 2 perasaan yang muncul. Perasaan nyesel,knapa harus nonton ni anime yang bikin melowwww abis. Perasaan selanjutnya yg muncul,perasaan langsung pengen ngechat orang yang tercinta...karena hidup itu berharga...eyaaa
Posting Komentar