MARY POPPINS RETURNS (2018)
Rasyidharry
Desember 22, 2018
Ben Whishaw
,
Cukup
,
David Magee
,
Dick Van Dyke
,
Emily Blunt
,
Emily Mortimer
,
Joel Dawson
,
Lin-Manuel Miranda
,
Marc Shaiman
,
Meryl Streep
,
Musical
,
Nathanael Saleh
,
Pixie Davis
,
REVIEW
,
Rob Marshall
7 komentar
Sebagai musikal, Mary Poppins Returns adalah throwback lengkap bagi musikal oldskul
Hollywood, khususnya judul-judul dari dapur Disney. Musik ceria, lirik lugu,
hingga tarian di dalam studio yang mereka ulang sudut-sudut kota jadi beberapa
contoh karakterisasi. Mungkin takkan sepenuhnya memuaskan selera penonton
sekarang, tapi mereka yang familiar
pasti bakal mengapresiasi pencapaian Rob Marshall (Chicago, Memoirs of Geisha, Into the Woods) dan timnya. Tapi sebagai kisah soal hubungan
ayah-anak beserta proses belajar masing-masing pihak, naskah karya David Magee
(Finding Neverland, Life of Pi) kurang
cermat dalam mengawinkan narasi dengan lagu. Alhasil, Mary Poppins Returns tak sampai memancing saya berujar, “Supercalifragilisticexpialidocious”.
Mengambil latar 25 tahun pasca film
pertama, Jane (Emily Mortimer) dan Michael (Ben Whishaw) kini telah dewasa.
Michael bahkan mempunyai tiga anak: Georgie (Joel Dawson), Annabel (Pixie
Davis), dan John (Nathanael Saleh). Michael mesti merawat ketiganya sendiri
pasca kematian sang istri yang amat memukulnya, memperbesar tekanan di tengah era
Great Depression. Puncaknya ketika ia
gagal melunasi hutang kepada bank dan terancam kehilangan rumah apabila tidak
membayar dalam lima hari.
Saat itulah Mary Poppins (Emily
Blunt) kembali guna “menawarkan” jasa mengasuh ketiga anak Michael, menarik
mereka menuju proses pembelajaran tentang aspek-aspek kehidupan melalui
lagu-lagu dan petualangan ajaib, sembari membantu sang ayah memenangkan
rumahnya lagi.Turut serta pula Jack (Lin-Manuel Miranda), seorang lamplighter yang serupa Bert (Dick Van
Dyke) di film pertama, merupakan sosok yang memahami kejaiban Mary Poppins.
Bila Bert memiliki aura
misterius nan ajaib seperti Mary Poppins—yang ditunjukkan oleh beragam
identitasnya sepanjang film—Jack sedikit membingungkan. Dia dapat muncul
tiba-tiba di berbagai lokasi, namun sosoknya tak sebegitu “out-of-this-world”, khususnya saat film ini memberinya subplot
romansa dengan Jane, yang urung memberi dampak kepada plot utama. Beruntung,
Mary Poppins masih sosok yang sama: pengasuh tegas yang selalu tersenyum,
mengagumkan dan gemar mengagumi diri sendiri melalui cermin serta lagu. Bisa
dipahami, sebab memang mudah untuk kagum terhadapnya berkat Emily Blunt yang bagai
menuangkan sihir ke dalam penampilannya.
Sebagai sutradara musikal veteran,
Rob Marshall paham mesti berbuat apa. Beberapa sekuen fantasi akan membuatmu
terpana berkat pengadeganan imajinatif plus keceriaan efek visual. Pada latar lebih
“realistis”, Marshall tahu cara mengkreasi nuansa musikal klasik, sembari
menyelipkan rujukan untuk film pertama. Hal serupa dilakukan Marc Shaiman (When Harry Met Sally...,Sleepless in
Seatlle, Hairspray) dalam musik buatannya. Referensi terhadap lagu-lagu
macam A Spoonful of Sugar dan Let’s Go Fly a Kite bisa didengar, meski
hasil akhirnya, baik soal komposisi nada atau lirik, masih berada di bawah
bayang-bayang kejayaan berbagai nomor ikonik tersebut, pun dengan daya bunuh
tak seberapa kuat.
Tapi adegan musikalnya tak semudah
itu menggerakkan perasaan akibat ketidakmampuan naskahnya bercerita lewat lagu.
Mata saya terpuaskan, tapi hati ini, seringkali tetap dingin. Dalam musikal
yang baik, lagu digunakan untuk mewakili proses memecahkan persoalan. Tapi
dalam Mary Poppins Returns, persoalan
yang perlu dipecahkan tampak buram. Sulit memahami konflik apa yang terjadi
sebelum lagunya menyuguhkan jalan keluar. Rasanya bak mendengarkan seseorang memberi
solusi panjang lebar untuk masalah yang kita sendiri tidak tahu sedang kita
hadapi.
Setidaknya sebagai sajian selama masa
liburan, Mary Poppins Returns tetap
mengasyikkan dinikmati. Visual ceria, akting lovable Emily Blunt yang berpeluang memberi sang aktris nominasi
Oscar perdana (andai mampu mengalahkan Yalitza Aparicio di Roma dalam perebutan sisa slot nominasi), juga kemunculan singkat
namun menghibur dari Meryl Streep dengan tingkah eksentrik dan aksen Eropa
Timurnya, cukup untuk melunasi waktu dan uang yang anda luangkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:Kapan nontonnya bang?
Ini belum serentak rilis ya Mas?
Btw, nunggu review Zero dari Mas Rasyid, yang sejauh ini sih mix review...hehe
@rowyah Kemaren malem di media screening.
@Ungki Kalau nggak salah Selasa. Yep,baru nonton hari ini, kemaren duluin Mary Poppins.
Emily Blunt sebagus itu yang bang? Sampe bisa masuk nominasi gloden globe sama sag 2019
Oh jelas. Akting yang bikin penonto bisa tenggelam ke dunia magical filmnya.
" A cover is not a book" yg bilang kalau orang bisa kelihatan baik tapi bisa saja jahat. Seorang raja bisa saja jahat. berkaitan dengan srigala saat mereka di dunia mangkuk, dan pemimpin bank sementara yang bertingkah sangat baik kepada si ayah anak anak tapi ternyata ada niat licik dan jahat.
"The Place Where Lost Things Go" untuk keluarga yg kehilangan ibu. bahwa sesuatu yg pergi bukan artinya hilang selamanya. hanya bukan di tempatnya biasa. karena ibu mereka hadir di paras dan sikap si anak anak. ibu mereka selamanya ada di hati dan pikiran mereka semua.
"Turning Turtle" untuk memberikan pelajaran bahwa setiap masalah harus dilihat dr sudut pandang berbeda. agar keluarga yg sdg hampir kehilangan rumah, tidak lantas ber putus asa.
dan track lain di album soundtrack ini sangat mewakili plot film nya..
this movie is wonderful in every way. dan pantas atas 4 nominasi Golden Globe 2019, termasuk Best Picture musical/comedy
oh iya satu lagi, scene saat track "conversation" dan "The place where thing lost things go" berhasil buat aku memproduksi air mata dengan instant hehehe
Posting Komentar