ONE CUT OF THE DEAD (2018)

7 komentar
Ketika saya menghabiskan sekitar tujuh tahun menggeluti dunia teater mahasiswa, satu wejangan yang sering ditekankan adalah “Show must go on” (kelak jadi slogan komunitas kami), bahwa walau terjadi kesalahan sekalipun, semua harus (seolah) tetap berjalan lancar. Penonton tidak tahu naskahnya, sehingga kesalahan takkan jadi kesalahan kecuali penonton menyadarinya akibat tingkah kebingungan para penampil.

Sebagai ode bagi sinema One Cut of the Dead melangkah ke ranah yang jarang, atau bahkan belum dijamah “surat cinta” lain. Dibuat dengan jajaran aktor tanpa nama pasca sutradara Shinichiro Ueda (Tamae no su pa harawata) mengikuti seminar, One Cut of the Dead bukan coba menjustifikasi film buruk, melainkan mengajak kita lebih mengapresiasi  dengan menyelami proses pembuatannya, sembari menghantarkan narasi luar biasa segar guna menciptakan salah satu zombie flick terbaik sekaligus komedi terlucu dalam beberapa tahun belakangan.

Seperti banyak dari anda sudah ketahui, 37 menit awal film ini dibuat dengan teknik single take, mengisahkan jajaran pemain dan kru film zombie murah yang diserang zombie sungguhan. Dan sungguh sebuah 37 menit buruk yang memperlihatkan “don’ts” perihal pembuatan film single take. Terlalu banyak momen penting, khususnya adegan kematian, terjadi di luar layar, belum lagi deretan kecanggungan filmmaking lain yang melucuti esensi teknik rumit tersebut, yakni menyerap penonton ke dalam realita film.

Tapi sungguh saya telah berprasangka buruk. Empat puluh menit berlalu, filmnya banting setir menuju jalur yang sejatinya tak seberapa mengejutkan, namun terkesan segar karena tujuan yang hendak dicapai. Naskah buatan Ueda amat memperhatikan detail. Segala keburukan paruh awal rupanya disengaja. Ueda mengorbankan lebih dari setengah jam durasi demi payoff komedi yang turut berperan selaku eksplorasi menggelitik mengenai alasan terciptanya film jelek.

Seperti disinggung sebelumnya, One Cut of the Dead bukan membenarkan karya berkualitas buruk, tapi menunjukkan, betapa dalam pembuatan film, tidak peduli seberapa matang perencanaan dilakukan, kesulitan tak terduga berujung kesalahan bakal senantiasa datang. Film ini menggarisbawahi pentingnya kreativitas untuk mengakali masalah dalam penciptaan karya seni melalui cara yang luar biasa efektif memancing gelak tawa. Entah sudah berapa lama saya tak tertawa sekeras ini di bioskop.

Ini akan menjadi review yang amat singkat, sebab semakin sedikit anda tahu, semakin besar kepuasan yang didapat. Film ini tidak butuh ulasan (kecuali esai panjang mempresentasikan cerita soal proses pengambilan gambar) dan bakal bicara dengan sendirinya. Setidaknya saya bisa menyebut jika One Cut of the Dead menampilkan definisi “magic of cinema”, yang melibatkan “seni transformasi”, baik dari perspektif teknis maupun sumber daya manusianya (terkhusus akting).

Secara mengejutkan, Ueda masih menyisakan ruang bagi paparan drama menyentuh, di mana film berperan sebagai media penghubung antara anggota keluarga, menambah satu lagi elemen surat cintanya. Perencanaan panjang tokoh-tokoh filmnya mungkin gagal berjalan lancar, tetapi perencanaan orang-orang nekat penuh semangat juga kecintaan akan sinema di balik film ini jelas berhasil. Anda merasa review ini kurang menjabarkan filmnya? Well, because you don’t need one. Just go see this damn masterpiece!

7 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Sayangnya cinemaxx dikendari gk dpt layar,, lebih milih tayangin film sampah macam nyai / wengi anak mayit😤

Ilham Ramadhan mengatakan...

baru saja nonton ini di cinemaxx yang baru buka di Batam dan puas :D

memang bagi yang belum baca sinopsis atau review, bakalan bingung di 30 menit awal.
tiba2 kok malah habis. ditambah akting2nya juga kok kaku gitu hhe.
setelah after credit, barulah filmnya mulai nge gas.

mereka tidak berniat melucu, namun jatuhnya lucu. puas terbahak2 nontonnya :D

Iris Herga Agustina mengatakan...

Bang Rasyid, berminat review CAM (2018) ?

Heru Santoso mengatakan...

Puas nontonnyo udah lama g nonton yg bikin ngakak kayak gini thanks info dan reviewny bang

Badminton Battlezone mengatakan...

Baru aja liat kmrn. stuju banget ma mas Rasyid,film ini ga perlu direview terlalu banyak. Karena akan mengurangi kesenangan itu sendiri.

Ga nyangka film low budget dan sesederhana itu, bisa dieksekusi sebagus itu. Saluttt

Hugo mengatakan...

Hahaha ini film bener bener ngepunch komedinya dan ternyata gak gampang ya buat film itu, apalagi kalau ngebuat film Yang temanya gore atau slasher

Unknown mengatakan...

Sperti ironi ganda.kameramennya banyak banget.