JAFF 2018 - KUCUMBU TUBUH INDAHKU (2018)
Rasyidharry
Desember 05, 2018
Bagus
,
Drama
,
Garin Nugroho
,
Indonesian Film
,
Mondo Gascaro
,
Muhammad Khan
,
Raditya Evandra
,
Randy Pangalila
,
REVIEW
,
Rianto
,
Sujiwo Tejo
,
Teoh Gay Hian
3 komentar
Alasan saya menyukai banyak karya
Garin Nugroho (Opera Jawa, Under the
Tree, Aach...Aku Jatuh Cinta) adalah karena keahliannya mengambil satu
gagasan, lalu mengembangkannya menjadi cerita berskala luas tanpa harus
kehilangan fokus, dengan ragam simbolisme kecil tersebar guna memperkaya kisah
juga karakter. Demikian pula Kucumbu
Tubuh Indahku, sebuah perayaan akan “tubuh”—manusia dan alam—yang tak lain
merupakan sumber keindahan sekaligus kehidupan.
Film berjudul internasional Memories of My Body yang telah lalu
lalang di banyak festival luar negeri ini berangkat dari satu konsep: Tari
lengger. Seperti diucapkan seorang guru tari (Sujiwo Tejo), “lengger”—setidaknya
menurut pemaknaan Garin—berasal dari perpaduan kata leng (goa, lubang) dengan ngger
(anak laki-laki, atau di sini juga bermaksud kelelakian). Kombinasi keduanya
menghasilkan kehidupan, tapi apabila urung disikapi secara bijak, dapat
memunculkan peperangan serta kehancuran, baik antara manusia atau dalam tatanan
batin seseorang.
Perang pun meletus dalam hati
protagonis kita, Wahyu Juno (Muhammad Khan), yang harus belajar mencintai
tubuhnya walau pahitnya realita senantiasa menghalangi. Sejak kecil (Juno kecil
diperankan Raditya Evandra), ia terus menyaksikan kehancuran: penis salah satu
penari yang dihantam hingga hancur, wanita yang diusir dari kampung karena
memperbolehkan Juno menyentuh dadanya (Oedipus
Complex bagai pola wajib karya Garin, baik esensial atau tidak, dan entah bentuk exploration atau sebatas pervertion),
bahkan romansa Juno dengan seorang petinju—yang diperankan Randy Pangalila
dalam penampilan yang berpotensi menghembuskan napas baru untuk karirnya—pun berujung
kehancuran tubuh.
Darah terus mengikutinya, sehingga
Juno enggan “mencumbu” tubuhnya, bahkan melukai diri dengan tusukan jarum,
bentuk hukuman yang telah ia terima sedari kecil. Dan sepanjang durasi, entah
melalui dialog subtil, gambar-gambar, sampai aspek etnografi, kita bakal selalu
mempelajari hal baru tentang apa saja yang Garin ingin sampaikan. Setiap momen
punya makna, tujuan, dan tak sedikitpun terbuang sia-sia. Di antaranya, turut
tampil Rianto, penari yang kehidupannya menginspirasi penulisan naskah Garin.
Ibarat seorang narator orang pertama, ia bermonolog, mendeskripsikan perjalanan
Juno lewat bahasa verbal maupun tarian.
Kemunculan Rianto adalah pilihan
artistik menarik, meski sebagaimana di mayoritas film (realis) miliknya, ketimbang
berfokus merias pernak-pernik, Garin butuh memberi perhatian lebih terhadap
aliran penceritaan. Di sini, progresi alur liar (kalau tak mau dibilang kacau)
yang seringkali membingungkan akibat ketiadaan pembentukan sebelum konflik
dipaparkan, yang mana kerap terjadi sejak Cinta
dalam Sepotong Roti (1990), masih sesekali mengganggu walau tidak dalam
kuantitas berlebih.
Tapi jika anda mencari penyatuan
kesenian, Kucumbu Tubuh Indahku
merupakan karya Garin paling memuaskan sejak Opera Jawa (2006). Tari-tarian (lengger, reog), iringan musik Mondo
Gascaro (Berbagi Suami, Pintu Terlarang,
Modus Anomali), plus sinematografi garapan Teoh Gay Hian (Opera Jawa, Soegija, Setan Jawa) yang
mampu menjabarkan keindahan mistis, melebur apik, entah selaku alat tutur atau
ekspresi seni yang cantik.
Seperti biasa, Garin menyuntikkan
kritik politik, di mana para politikus film ini membentang dari sosok penguasa
kejam haus kekuatan hingga badut-badut yang berulang kali menyebut “Ini zaman
bebas’ sembari melakukan perbuatan konyol guna membantu mereka (atau pejabat di
atas mereka) bertahta. Namun ketimbang distraksi, elemen tersebut justru
memperkaya aspek sosial-masyarakat filmnya, menjadi salah satu bagian tubuh
negara, bahkan semesta.
Pada skala lebih kecil, Kucumbu Tubuh Indahku tetap kisah soal
Wahyu Juno, pria lembut (fisik dan hati) bermasalah yang namanya berasal dari
Arjuna si pahlawan dari dunia pewayangan, yang berbeda dibanding penggambaran
pahlawan negeri Barat, Arjuna adalah sosok bertubuh indah nan lembut. Ketika
maskulinitas dan feminitas melebur seperti kala sang penari lengger dan petinju
berdiri bersama di arena, maka terciptalah kesempurnaan harmoni.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:Selalu dapat pengalaman baru setiap menikmati kartakakary mas Garin. Tapi untuk yang satu ini gk sempat nonton. Pasti pas nonton di JAFF ya mas?
Iya, lha itu di judul ada keterangannya😅
You don't say hihihi
Posting Komentar