JAFF 2018 - KUCUMBU TUBUH INDAHKU (2018)

3 komentar
Alasan saya menyukai banyak karya Garin Nugroho (Opera Jawa, Under the Tree, Aach...Aku Jatuh Cinta) adalah karena keahliannya mengambil satu gagasan, lalu mengembangkannya menjadi cerita berskala luas tanpa harus kehilangan fokus, dengan ragam simbolisme kecil tersebar guna memperkaya kisah juga karakter. Demikian pula Kucumbu Tubuh Indahku, sebuah perayaan akan “tubuh”—manusia dan alam—yang tak lain merupakan sumber keindahan sekaligus kehidupan.

Film berjudul internasional Memories of My Body yang telah lalu lalang di banyak festival luar negeri ini berangkat dari satu konsep: Tari lengger. Seperti diucapkan seorang guru tari (Sujiwo Tejo), “lengger”—setidaknya menurut pemaknaan Garin—berasal dari perpaduan kata leng (goa, lubang) dengan ngger (anak laki-laki, atau di sini juga bermaksud kelelakian). Kombinasi keduanya menghasilkan kehidupan, tapi apabila urung disikapi secara bijak, dapat memunculkan peperangan serta kehancuran, baik antara manusia atau dalam tatanan batin seseorang.

Perang pun meletus dalam hati protagonis kita, Wahyu Juno (Muhammad Khan), yang harus belajar mencintai tubuhnya walau pahitnya realita senantiasa menghalangi. Sejak kecil (Juno kecil diperankan Raditya Evandra), ia terus menyaksikan kehancuran: penis salah satu penari yang dihantam hingga hancur, wanita yang diusir dari kampung karena memperbolehkan Juno menyentuh dadanya (Oedipus Complex bagai pola wajib karya Garin, baik esensial atau tidak,  dan entah bentuk exploration atau sebatas pervertion), bahkan romansa Juno dengan seorang petinju—yang diperankan Randy Pangalila dalam penampilan yang berpotensi menghembuskan napas baru untuk karirnya—pun berujung kehancuran tubuh.

Darah terus mengikutinya, sehingga Juno enggan “mencumbu” tubuhnya, bahkan melukai diri dengan tusukan jarum, bentuk hukuman yang telah ia terima sedari kecil. Dan sepanjang durasi, entah melalui dialog subtil, gambar-gambar, sampai aspek etnografi, kita bakal selalu mempelajari hal baru tentang apa saja yang Garin ingin sampaikan. Setiap momen punya makna, tujuan, dan tak sedikitpun terbuang sia-sia. Di antaranya, turut tampil Rianto, penari yang kehidupannya menginspirasi penulisan naskah Garin. Ibarat seorang narator orang pertama, ia bermonolog, mendeskripsikan perjalanan Juno lewat bahasa verbal maupun tarian.

Kemunculan Rianto adalah pilihan artistik menarik, meski sebagaimana di mayoritas film (realis) miliknya, ketimbang berfokus merias pernak-pernik, Garin butuh memberi perhatian lebih terhadap aliran penceritaan. Di sini, progresi alur liar (kalau tak mau dibilang kacau) yang seringkali membingungkan akibat ketiadaan pembentukan sebelum konflik dipaparkan, yang mana kerap terjadi sejak Cinta dalam Sepotong Roti (1990), masih sesekali mengganggu walau tidak dalam kuantitas berlebih.

Tapi jika anda mencari penyatuan kesenian, Kucumbu Tubuh Indahku merupakan karya Garin paling memuaskan sejak Opera Jawa (2006). Tari-tarian (lengger, reog), iringan musik Mondo Gascaro (Berbagi Suami, Pintu Terlarang, Modus Anomali), plus sinematografi garapan Teoh Gay Hian (Opera Jawa, Soegija, Setan Jawa) yang mampu menjabarkan keindahan mistis, melebur apik, entah selaku alat tutur atau ekspresi seni yang cantik.

Seperti biasa, Garin menyuntikkan kritik politik, di mana para politikus film ini membentang dari sosok penguasa kejam haus kekuatan hingga badut-badut yang berulang kali menyebut “Ini zaman bebas’ sembari melakukan perbuatan konyol guna membantu mereka (atau pejabat di atas mereka) bertahta. Namun ketimbang distraksi, elemen tersebut justru memperkaya aspek sosial-masyarakat filmnya, menjadi salah satu bagian tubuh negara, bahkan semesta.

Pada skala lebih kecil, Kucumbu Tubuh Indahku tetap kisah soal Wahyu Juno, pria lembut (fisik dan hati) bermasalah yang namanya berasal dari Arjuna si pahlawan dari dunia pewayangan, yang berbeda dibanding penggambaran pahlawan negeri Barat, Arjuna adalah sosok bertubuh indah nan lembut. Ketika maskulinitas dan feminitas melebur seperti kala sang penari lengger dan petinju berdiri bersama di arena, maka terciptalah kesempurnaan harmoni.

3 komentar :

Comment Page:
Eko Jay mengatakan...

Selalu dapat pengalaman baru setiap menikmati kartakakary mas Garin. Tapi untuk yang satu ini gk sempat nonton. Pasti pas nonton di JAFF ya mas?

Rasyidharry mengatakan...

Iya, lha itu di judul ada keterangannya😅

Anonim mengatakan...

You don't say hihihi