GLASS (2019)
Rasyidharry
Januari 17, 2019
Bruce Willis
,
James McAvoy
,
Kurang
,
M. Night Shyamalan
,
REVIEW
,
Samuel L. Jackson
,
Thriller
15 komentar
Unbreakable (2000) dan Split
(2016) sukses berkat kemampuan menyembunyikan jati diri sebagai kisah asal
muasal jagoan dan penjahat super, sehingga kejutan khas M. Night Shyamalan pun
berhasil menghentak. Keduanya menyimpan “senjata” lain. Ketika Unbreakable adalah character-driven thriller sedangkan Split merambah area horor psikologis dengan pendekatan b-movie, Glass total berusaha menjadi “film pahlawan super bernuansa
realistis yang unik”. Setidaknya unik menurut sang sutradara.
Di sini Shyamalan bagai pria yang
tinggal di basemen rumah orang tuanya, berpikir dirinya seorang jenius yang
melakukan gebrakan, tanpa tahu bahwa ide briliannya telah dianggap familiar
oleh dunia luar. Glass adalah film
yang terlambat dirilis satu dekade. Sekadar mengingatkan, konsep pahlawan super
membumi, crossover, dan sentuhan meta
kini sudah umum, wahai Mr. Night.
Setelah David Dunn (Bruce Willis)
muncul di penghujung Split, akhirnya
kita berkesempatan melihatnya bertemu Kevin (James McAvoy) si lelaki dengan 24
kepribadian, termasuk The Beast yang brutal. Pertemuan itu terjadi kala David—sekarang
dipanggil The Overseer—tengah menyelidiki berbagai kasus penculikan gadis
remaja. Tapi penantian akan konforntasi perdana mereka berujung mengecewakan,
karena seperti telah kita saksikan dalam The
Last Airbender (2010) dan After Earth
(2013), Shyamalan bukan ahlinya menangani adegan laga.
Dia pun menyadari itu, dan segera
membawa Glass menuju teritori
kekuasaannya, tatkala David dan Kevin ditangkap, lalu dijebloskan ke rumah
sakit jiwa yang dikepalai oleh Dr. Ellie Stape (Sarah Paulson). Tempat itu juga
jadi kurungan bagi Elijah Prince alias Mr. Glass (Samuel L. Jackson). Sang
dokter percaya bahwa mereka mengidap delusions
of grandeur, atau dengan kata lain, segala kekuatan yang ketiganya punya
bukanlah kenyataan.
Disusun menggunakan tempo lambat
khas Shyamalan, babak keduanya berpotensi menghasilkan psikoterapi penuh
intrik, namun Shyamalan kentara tak menyimpan cukup ide guna menghasilkan
naskah yang layak bagi film berdurasi lebih dari 2 jam. Setidaknya ada satu
momen menarik, kala Dr. Ellie mengumpulkan tiga pasiennya, lalu menyampaikan
hipotesis-hipotesis meyakinkan, selaku penjelas mengapa segala aksi superhero itu hanya fantasi.
Tapi itu saja. Mayoritas babak
keduanya sebatas selingan agar Shyamalan bisa memasukkan adegan provokatif di
atas. Sisanya lemah. Kita sudah melihat cukup banyak eksplorasi bagi karakter
David dan Mr. Glass di Unbreakable,
demikian pula Kevin dalam Split. Apa
yang Glass berikan cuma tambahan
detail-detail minor. Dan sebagai suguhan berjudul “Glass”, film ini urung menyediakan porsi memadahi bagi sang dalang
kejahatan tituler.
Sewaktu Bruce Willis lagi-lagi “tidur
berjalan” sepanjang durasi alih-alih menampilkan akting subtil kuat serupa di Unbreakable karena memang sudah tak
tersisa banyak kisah tentang David untuk diceritakan, James McAvoy menonjol
sebagai elemen terbaik filmnya. Melihatnya beralih karakter sekejap mata
sungguh memuaskan, terlebih saat McAvoy menaruh perhatian hingga ke detail
kecil dalam bahasa tubuhnya. Kita bisa menyadari pergantian kepribadian Kevin
hanya lewat perubahan tempo pernapasan McAvoy (Patricia will always be his best, though).
Babak akhirnya merupakan kompilasi twist khas Shyamalan dengan showdown antara para manusia super yang
dikemas ala kadarnya mengisi di sela-sela. Terdapat satu twist apik, yang—sebagaimana deretan referensi yang ditebar
sepanjang film—agar bisa dirasakan dampaknya, anda harus menonton dua film
sebelumnya. Sisanya mengecewakan. Shyamalan meluangkan banyak waktu menyiratkan
bahwa sebuah kejutan besar bakal datang, hanya untuk memberikan sesuatu yang
tak lagi spesial pada masa ketika film superhero
setia mengisi layar lebar hampir dua bulan sekali.
Dia berlagak bak ahli “aturan” buku
komik, memperlakukan penonton layaknya orang bodoh, dan mempersembahkan konklusi
payah yang ia pikir merupakan bentuk world-building
dramatis nan cerdas. Ketika elemen pahlawan super dan komiknya gagal, maka
demikian pula keseluruhan filmnya. Karena sekali lagi, Glass tak memiliki kamuflase layaknya dua pendahulunya. Ini adalah
usaha menciptakan film pahlawan super segar, namun berujung memancing penonton
berujar, “That’s it???”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
15 komentar :
Comment Page:Waduh.. paling di tunggu di Januari malah dapet bintang 2+separo.masih recomend bwt di tonton gak bang.. expetasi saya cukup tinggi di film ini. Mw melangkah mlm ini jd ragu. Udh lemes duluan.
Sama ni ekspektasi udah tinggi bgt padahal, terus baca"review nya hampir semua nge complain ending nya yang absurd, se mengganggu nya kah ending nya mas tapi masi enak ditonton kan krena ada yg bilang teknik ngambil film nya beda
sebelum twist terungkap saya berpikir "hah,gini doang?" (saya ga tau akan ada twist padahal seharusnya saya sadar,seperti biasa, Shyamalan selalu menghadirkan twist brillian pada hampir setiap filmnya).Setelah twist dihadirkan saya dalam hati langsung merasa saya perlu mencintai film ini.Tapi ya begitu,menurut saya film ini hanya "menjual" twist, sisanya sih biasa aja.
Menurut saya film ini masih bisa disebut layak tonton,apalagi penonton macam saya yang paling seneng kalo dikasih twist begini.
Rating dari saya : 3.5/5
Sama bro, udah penasaran banget kalau 3 orang itu dijadiin satu dalam film, malah dapet review jelek dari bang rasyid but you never know if you not try siapa tau berbeda pandangan(meskipun ujungnya ternyata asem kie film'e)
@Janus Yah, sayang banget. Salah satu film paling ditunggu tahun ini. Tapi siapa tahu dengan ekspektasi lebih rendah jadi bisa enjoy.
@Anonim Ending Shyamalan kan selalu absurd, dan Glass ini malah termasuk yang normal. Makanya begitu disiratkan kayak ada sesuatu yang besar, begitu diungkap, "Halah, gitu doang".
@Manusia Kalau di last shot dilihatin seabrek superhero, langsung naik ini rating :D
@Ariyadi Haha yes. Itu paling bener. Review mah cuma jadi bahan pertimbangan. Akhirnya, ya kudu buktikan sendiri
bakal keren sih kalo last shot nya begitu.Tapi lebih baik jangan,nanti malah ada franchise lanjutannya dan malah bakal makin ancur wkwk
Sumpah saya tersesat nntn film ini please..twist nya yg mna ya? Apa saya ga nyadar ada twist?? Pdah konsen bngt loh nntn film ini
Dah nonton film ini. Ceritanya biasa aja :p. Tapi hasrat saya puas karena ada bruce willis. DILF :)
Saya berharap Shyamalan setidaknya memberikan adegan penutup yang boom. Buat nyelametin plot yang bertele2 di paruh awal, kenyataan nya itu tak pernah terjadi , Ia hanya ngasih twist yang “ lah kok gini doang” ? Benar kata mas Rasyid , ia lemah dalam mengeksekusi adegan laga.. Temanya aja The Real super hero.. terus super powernya dimana????
Ada 2 hal yang paling mengecewakan buat saya di film Glass ini Bang.
1. Latar atau backgroundnya yg asal2an. Masa RS segede gaban gitu cuma ada pegawai 1-2 orang aja. Pasien, dokter, perawat lain pada kemana?
Dr. Ellie jg kasihan Bang, gak punya asisten :-D
2. Setiap satu adegan ke adegan lainnya berasa estafet Bang. Gak mengalir.
Lg berantem, berhenti dulu, lawan polisi dulu, nonton yg berantem dulu, terus datang SWAT, nembak dulu, nolongin dulu, dst.
Mungkin ini bisa jadi genre film baru namanya genre estafet Bang :-D
Film Hollywood terburuk yg pernah saya tonton di bioskop. GJ abis dan membosankan. Ceritanya maksa banget, dan endingnya pun bodoh, mana mungkin semudah itu orang percaya sama video manusia super di zaman sekarang???? Pasti bakal pada bilang editan lah.
Ini film datar dan acak-acakannya mirip Batman v Superman. Premisnya juga hampir mirip. Tapi lebih buruk. Bayangkan Batman v Superman tanpa Batman, tanpa Superman, tanpa Wonder Woman, tanpa Doomsday, intinya tanpa karakter2 ikonik dan tanpa adegan action menghibur. CUKUP GANTI LEX LUTHOR JADI SEORANG NEGRO.
Tambahan, James McAvoy yg tampil memukau di film Split pun justru malah tampak konyol di film ini karena cerita yg lemah, dia lebih tampak seperti orang kesurupan dalam channel Jurnal Risa daripada orang berkepribadian ganda.
Menurut bang rasyid apa si Shyamalan harus fokus garap film thriller? Soalnya kalo murni blockbuster hasilnya ancur😂. Btw menurut bang rasyid nih film gak se jelek filmnya shyamalan yang judulnya gak usah saya sebutin?
Tetep thriller. Jelas dia kurang oke garap action (termasuk di Glass). Film terjelek Shyamalah mah 3: The Happening (1/3 awal keren tapi), Last Airbender, After Earth.
Untung saya udah baca"review jadi menurunkan ekspektasi dan tahu kelemahannya, jadi ketika menonton sangat menghibur dan menurut gua si aga fresh soalnya premis beda sama superhero lain sama tema nya digali lumayan dalem tapi shyamalan kek keteteran aja gitu nyediainnya, meskipun twist nya aga plot hole (3 di ending tetep suka karena udah jarang skarang film blockbuster yg make twist make build up, *cuma aga mengganggu itu kelompok muncul tiba"* dan temen perempuan saya pun bisa dibuat nangis karena peduli sama nasib tokohnya di ending poin plus buat filmnya si itu
Posting Komentar