COLD PURSUIT (2019)
Rasyidharry
Februari 17, 2019
Action
,
Comedy
,
Cukup
,
Frank Baldwin
,
George Fenton
,
Hans Petter Moland
,
Laura Dern
,
Liam Neeson
,
REVIEW
,
Thriller
,
Tom Bateman
,
Tom Jackson
3 komentar
Liam Neeson membantai puluhan
penjahat seorang diri demi membalas kematian sosok tercintanya. Baik premis,
trailer, maupun posternya mengesankan bahwa Cold
Pursuit merupakan satu lagi installment
dalam seri tak resmi “Liam Neeson’s One
Man Army Revenge Action Flick”. Dan bagaimana filmnya bermula makin
menguatkan kesan tersebut.
Nelson Coxman (Liam Neeson) adalah
pembersih salju di sebuah kota resor ski fiktif, Kehoe, yang menjalani hidup
bahagia bersama sang istri, Grace (Laura Dern), dan anaknya, Kyle (Micheál
Richardson). Kebahagiaan itu makin lengkap kala Nelson dianugerahi gelar “Citizen of the Year”. Hingga suatu
malam, beberapa orang menculik Kyle lalu menyuntikkan heroin ke tubuhnya. Pagi
harinya Kyle ditemukan tewas overdosis.
Peristiwa itu terdengar seperti “tragedi
sempurna” selaku pemicu bangkitnya insting membunuh karakter peranan Liam
Neeson, yang biasa kita saksikan di fase karirnya pasca Taken (2008). Sampai adegan di ruang jenazah terjadi, saat tim
forensik kesulitan menunjukkan tubuh Kyle kepada orang tuanya. Di situlah saya,
yang menonton tanpa membaca ulasan atau menonton film aslinya (Cold Pursuit merupakan remake film Norwegia In Order of Disappearance yang juga
disutradarai Hans Petter Moland) sadar, Cold
Pursuit berbeda dengan ekspektasi saya dan banyak penonton lainnya.
Ini adalah komedi hitam yang lebih
dekat ke arah karya-karya Coen Brothers ketimbang thriller-aksi khas Liam Neeson. Bahkan salah satu adegan
menampilkan obrolan dalam mobil antara dua mafia tentang trik menyetubuhi
pelayan motel di sela-sela misi penculikan yang mereka emban. Situasi tersebut
mengingatkan pada adegan legendaris dari Pulp
Fiction-nya Quentin Tarantino.
Jumlah korban yang berjatuhan masih
tinggi, pun berkat metode brutal Nelson banyak dari mereka tewas mengenaskan,
yang sayangnya kerap meninggalkan transisi jumpy
sebagai dampak penyensoran (Walau saya mencurigai penyuntingan film ini memang
buruk di beberapa titik). Selepas masing-masing kematian, kita akan
diperlihatkan layar hitam berisi nama korban, yang kebanyakan memiliki
panggilan unik sepeti Speedo, Wingman, dan lain-lain. Gaya tersebut kerap
menghasilkan tawa, khususnya memasuki klimaks sewaktu banyak nyawa melayang di
satu waktu.
Alurnya pun tidak sesederhana
kelihatannya. Karena Viking (Tom Bateman), bos mafia yang Nelson bantai,
mengira anak buahnya tewas di tangan sang rival, gembong narkoba Indian yang dipimpin
White Bull (Tom Jackson). Kedua pihak sempat terlibat perjanjian pembagian
wilayah kekuasaan, sehingga mereka (juga para polisi) mengira seluruh kematian
ini berkaitan dengan perang memperebutkan teritori. Terciptalah pertikaian
sarat kekacauan selaku pondasi memadahi bagi terciptanya suguhan komedi hitam.
Beberapa karakter, khsusunya anak
buah Viking, meski mayoritas diberi screentime
minim, cukup meninggalkan kesan berkat ciri beragam yang disematkan naskah
buatan Frank Baldwin, entah berbentuk sikap tidak biasa, cerita yang mereka
sampaikan, atau rahasia yang mereka pendam.
Tidak semua humornya efetktif, dan
banyak di antaranya akan segera terlupakan, entah karena di berbagai kesempatan
Hans Petter Moland belum begitu piawai melukiskan situasi komedi gelap memorable, atau murni disebabkan
penulisan humor yang tak cukup tajam. Konflik seputar kesalahpahaman pun
sejatinya bukan merupakan intrik inovatif yang mampu secara konsisten menjaga
momentum, terlebih saat Moland gemar menggerakkan filmnya dalam tempo lambat.
Tapi sungguh saya berbohong bila
menyatakan bahwa absurditas Cold Pursuit kurang
menyenangkan, dan melihat Liam Neeson, yang masih tampil setangguh biasanya,
ditempatkan di tengah situasi aneh semacam ini, tatkala alih-alih dentuman
ritmis klise khas thriller-aksi
justru musik bernuansa Eropa gubahan George Fenton (Gandhi, The Fisher King) yang terdengar, tidak terasa menyegarkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:pas nonton, serasa fargo ama lock stock n 2 smoking barrel. Susah siy, secara cinta mati ama aki liam, apapun, nntn nya asiiik
Kalimat opening ulasan ini bener2 menggambarkan bagaimana saya terkecoh melihat poster (tanpa melihat trailer sama skali).
Btw Hans Petter ini apakah muridnya Tarantino ya bang? Karena jokes,cinematic komikal,dan dialognya sedikit mendekati Tarantino.
banyak scene di cut jg scara kasar,saya sampe curiga apakah ini jg bagian dari jokes hahaha
Bukan murid, emang gaya black comedy Eropa banyak yang gitu. Hans & Quentin ini seangkatan kok. Tapi kalo kemudian sedikit terinspirasi ya bisa aja.
Itu bukan bagian jokes, emang banyak cut kasar karena sensor.
Posting Komentar