EXTREME JOB (2019)

16 komentar
Extreme Job menjadi fenomena berkat berbagai keberhasilan memecahkan rekor yang menuntunnya sebagai film Korea Selatan terlaris kedua sepanjang masa dengan lebih dari 14 juta penonton (masih terus bertambah), tepat di bawah The Admiral: Roaring Currents. Karya terbaru Lee Byeong-heon (Twenty, What a Man Wants) ini sebenarnya diisi elemen-elemen familiar di tatanan aksi-komedi, serta wajah familiar, yakni Ryu Seung-ryong selaku aktor pertama yang muncul dalam empat film di atas 10 juta penonton.

Familiaritas itulah alasan kesuksesan Extreme Job. Ini adalah tontonan formulaik yang digarap apik. Bahkan sebelum membuktikan langsung kualitasnya, premisnya sudah demikian mengundang: Apa jadinya jika para polisi justru meraup keuntungan melimpah dari pekerjaan samaran mereka?

Selepas aksi penangkapan berujung kekacauan, karir lima polisi bagian narkotika: Kapten Go (Ryu Seung-ryong), Jang (Lee Hanee), Young-ho (Lee Dong-hwi), Ma (Jin Seon-kyu), dan Jae-hoon (Gong Myung), berada di ujung tanduk. Tim tersebut terancam dibubarkan, yang makin memperkeruh kondisi sang kapten, yang pangkatnya mulai dilewati para junior. Harapan terakhir terletak pada misi penyergapan kartel narkoba milik Lee Moo-bae (Shin Ha-kyun), yang bermarkas tepat di depan restoran ayam goreng. Demi memudahkan pengintaian, restoran itu pun mereka ambil alih.

Keputusan gila tersebut diambil berdasarkan fakta bahwa pemilik sebelumnya gulung tikar akibat ketiadaan pengunjung. Tapi begitu bisnis samaran dijalankan, konsumen justru bermunculan, bahkan membeludak setelah Ma menyuguhkan resep saos ciptaan orang tuanya. Restoran mereka mendadak viral, bahkan stasiun televisi menyatakan ketertarikan mengadakan liputan.

Jangankan menangkap bandar narkoba, sekadar pengintaian sederhana pun kini tak sempat dilakukan. Tatkala karir makin menukik, bisnis ayam goreng justru melejit, memberi kelimanya uang dengan jumlah yang tak pernah terbayangkan. Bagi Kapten Go, kondisi ini dilematis. Sekarang ia bisa membelikan sang istri tas Gucci, berpeluang menghabiskan lebih banyak waktu bersama puterinya (yang pernah bercita-cita jadi penjahat agar bisa sering bertemu Go), juga tak lagi harus bertaruh nyawa, sebuah risiko profesi polisi yang diam-diam dikhawatirkan sang istri.

Ryu, sebagaimana kita saksikan di film-film macam Miracle in Cell No. 7 (2013), jago menghembuskan rasa dalam peran. Tapi jangan mengharapkan drama keluarga mengharu biru, sebab sepanjang 111 menit perjalanannya, naskah buatan penulis debutan Bae Se-young tak seberapa jauh menjamah ranah dramatik, dan sebatas menjadikannya faktor tambahan agar penonton tahu (tidak sampai merasakan) bahwa godaan kesuksesan bisnis ayam goreng begitu besar untuk protagonisnya.

Exteme Job sesungguhnya cuma mengandalkan running gag seputar premis absurdnya, yang tak pernah melelahkan, repetitif, apalagi membosankan, sebab humor dan jajaran pemain mampu saling mendukung.

Kalau sering menonton komedi Korea Selatan, khususnya yang bersifat high profile blockbuster, anda semestinya bisa menduga lelucon seperti apa yang menanti. Berbeda dengan Hollywood yang cenderung mengandalkan kegamblangan komikal, urusan komedi fisik (sebut saja aksi saling tendang antar tokoh), sineas Korea Selatan memilih menampilkan pukulan maupun tendangannya senyata mungkin. Semakin terasa menyakitkan, semakin lucu.

Dikemas lewat tempo cepat oleh Byeong-heon, Extreme Job enggan berlama-lama menetap di satu momen komedi. Alhasil, andai sebuah usaha melucu berujung kegagalan, dinamika senantiasa terjaga, sebab filmnya segera beralih ke titik berikutnya. Jajaran pemain pun melontarkan kekonyolan—yang seringkali bertambah lucu karena hadir di kesempatan maupun cara tak terduga—dalam antusiasme tinggi, agar tatkala humornya meleset pun, kita setidaknya dapat tersenyum. Lee Hanee mencuri perhatian di sini. Pemegang gelar 3rd Runner-up Miss Universe 2007 ini tanpa cela memerankan polisi slebor yang jago melontarkan kata-kata pedas, dengan ekspresi yang bisa membuat anda merasa seperti sampah tidak berguna.

Sekuen puncaknya akhirnya memberikan deretan laga, yang setelah menanti beberapa lama, rupanya sama sekali tak mengecewakan. Ditemani geberan musik rock bertenaga garapan Kim Tae-seong (War of the Arrows, The Admiral: Roaring Currents, My Annoying Brother), lima polisi payah itu berubah jadi petarung-petarung keren. Perubahan itu tak sepenuhnya dipaksakan, sebab meski tak sering, kemampuan tersembunyi mereka sudah disiratkan sepanjang durasi. Dan saat akhirnya kelima jagoan kita unjuk kebolehan, lengkap sudah hiburan menyenangkan yang ditawarkan Extreme Job.

16 komentar :

Comment Page:
Vsf mengatakan...

Korea saja yg penduduknya tak sebanyak di Indonesia, pencapaian filmnya bisa sampai 14juta penonton. Sedangkan Indonesia yg penduduknya 260jt, film yg paling banyak di tonton cuma 6,5juta saja. Apa yg melatar belakangi hal tersebut? Ketersediaan bioskop kah? Kualitas film Indonesia kah? Atau justru Ketertarikan Penduduk Indonesia dlm menonton film di bioskop?

SALEMBAY mengatakan...

Ketersediaan bioskop bray... skŕrt.. 😉

Jackman mengatakan...

Sandy Fabregaz: Bukan masalah kwalitas film. Lha wong film bagus aja banyak yg ga laku. Film Hollywood aja paling banyak ditonton di Indonesia cuma 8 juta orang.
Kayanya masalah ketertarikan penduduk dalam menonton film di bioskop dan tentu saja ketersediaan bioskop juga.

Extreme Job sayang ya ga tayang di jaringan 21/XXI

Rasyidharry mengatakan...

Kombinasi antara jumlah layar yang masih jauh dari cukup dan skeptisme ke film lokal bawaan era kekuasaan baginda KKD yang masih tersisa.

Rasyidharry mengatakan...

Film Asia begini emang mayoritas dibawa sama CBI Pictures sih, jadi nggak masuk 21. Berharap layar CGV & Cinemaxx terus naik

Rafli mengatakan...

Doktrin agama konservatif yang menyatakan menonton film itu haram masih berlaku kuat di negeri kita ini, kalau dibilang masalah penghasilan india pun lebih miskin dari indonesia tapi penduduknya sangat loyal kalau masalah film! Agama konservatif menginginkan seperti negara arab yang anti bioskop dan film jadi pengikutnya sudah terdoktrin kalau menonton film dibioskop itu bakal masuk neraka

Rasyidharry mengatakan...

Oh jelas, di India superstar udah macam dewa. Makin banyak film makin bahagia. Di sini, Reza Rahadian 2-3 film tiap tahun dibilang "dia lagi dia lagi"

Voxtra mengatakan...

@die rafel: WTF gue malah baru denger ada yg nganggap nonton film itu haram. Kalo yg bilang nonton konser musik haram sih ada walau sedikit, tp yg bilang nonton film haram rasanya baru denger.

Voxtra mengatakan...

Budaya nonton bajakan di Indo masih kental coy, masih pd mikir utk apa nonton di bioskop cuma 1x bayar 50rb, mending download gratis nonton berkali2, website LayarKaca21 traffic-nya berapa puluh juta visitor tuh per bulan, daripada beli tiket masih mending nonton bajakan kualitas CAM, begitulah mental indo, gue nonton film baru di bioskop aja langsung dicap "orang kaya" sama temen2, buset dah apa temen gue yg gembel semua

Voxtra mengatakan...

Sepertinya middle-class di Indonesia banyak yg masih segan datang ke bioskop, masih nganggap bioskop hal mewah yg cuma utk upper-class, masih nyaman nonton bajakan

Rafli mengatakan...

@voxta, banyak qo dan emang kenyataannya seperti itu, semakin anak muda milenial mempelajari agamanya (paham konservatif bukan moderat) semakin pula dia membenci yang namanya bioskop. Kalo punya teman berpaham konservatif coba sekali2 tanya masalah bioskop, gw aja pernah sampe di senyum sinis gara2 ngajak nonton ke bioskop

Unknown mengatakan...

@Sandy : Jumlah layar bioskop di indonesia ga nyampe 2000, bandingin sama di korea dengan rasio Jumlah penduduk:layar yang jauh banget beda

Yolana mengatakan...

Sekeren itu ya bang rasyid? Tadi ragu antara extreme job Dan Lego movie, akhirnya pilih yg terakhir...

Rasyidharry mengatakan...

Kalau pilihannya 2 itu mana pun boleh. Asyik semua 😁

Hugo mengatakan...

Kalau menurut gw sih lebih ke faktor kualitas, film Indonesia yang berkualitas itu bisa dihitung dengan jari dan rata2 film Indonesia yang berkualitas hanya di satu genre yaitu drama dan yang paling parah adalah di film horror

Rasyidharry mengatakan...

@Ariyadi Kualitas pasti ada pengaruhnya, tapi nggak sebesar jumlah layar yang kurang. Lebih tepatnya ke kepercayaan penonton sebagai konsumen ke film lokal sebagai produk yang dikonsumsi. Karena kalau semata-mata kualitas, Pengabdi Setan (1. Horor, genre populer 2. Bagus) harusnya lebih dari "cuma" 4 juta penonton.