FOXTROT SIX (2019)
Rasyidharry
Februari 22, 2019
Action
,
Arifin Putra
,
Chicco Jerikho
,
Denny Rihardie
,
Edward Akbar
,
Indonesian Film
,
Julie Estelle
,
Mario Kassar
,
Mike Lewis
,
Oka Antara
,
Randy Korompis
,
REVIEW
,
Rio Dewanto
,
Verdi Solaiman
,
Very Tri Yulisman
24 komentar
Bermodalkan 70,5 miliar rupiah,
atau sekitar 5 juta dollar, yang mana sedikit di atas The Raid 2: Berandal (4,5 juta dollar), ditambah keterlibatan Mario
Kassar (First Blood, Total Recall,
Terminator 2: Judgment Day) selaku produser eksekutif, ekspektasi terhadap Foxtrot Six untuk menjadi “blockbuster Indonesia rasa Hollywood”
melambung tinggi. Dan bila salah satu pemakaian CGI tersolid di film lokal dan
aksi baku hantam brutal terdengar menggiurkan, maka debut penyutradaraan Randy
Korompis ini cocok untuk anda.
Berlatar tahun 2031 saat dunia
dilanda krisis pangan, dipimpin Presiden termudanya sepanjang sejarah,
Indonesia siap memimpin uluran bantuan. Belum sempat terlaksana sepenuhnya,
kudeta dilakukan oleh partai politik Piranas, yang akhirnya berkuasa dengan
semena-mena. Protagonis kita adalah Angga (Oka Antara), yang menariknya, bukan
sosok jagoan lurus, setidaknya di paruh awal. Sebagai anggota parlemen, sang
mantan marinir hidup bergelimang kemewahan sementara rakyat tenggelam dalam
kemiskinan.
Angga bahkan mengusulkan rencana
menumpas habis kelompok pemberontak bernama “Reformasi” kepada para pejabat
negara. Saya menyukai fakta bahwa jajaran pejabat tinggi itu terdiri atas empat
“rubah tua” yang haus harta dan kekuasaan. Kondisi tersebut mencerminkan
realita dunia masa kini, tatkala jajaran pemuda berambisi membawa perubahan dengan
melengserkan pemerintahan korup yang diisi generasi masa lalu.
Tapi akibat akal bulus Wisnu
(Edward Akbar), Angga justru dianggap berkhianat, membelot untuk memihak
Reformasi, dan masuk daftar atas buronan negara. Angga pun terpaksa benar-benar
bergabung bersama Reformasi, yang rupanya hasil bentukan Sari (Julie Estelle), sang
mantan kekasih yang ia pikir telah tiada. Tujuannya satu, merobohkan kekuasaan
Piranas.
Naskah buatan Randy Korompis sayangnya
lemah membangun pondasi, menghasilkan produk setengah matang yang enggan
repot-repot memupuk pemahaman dan kepedulian penonton. Contohnya saat Foxtrot Six buru-buru masuk ke tahap di
mana Angga mengumpulkan regu—yang terdiri atas rekan-rekan lamanya di militer,
yakni Tino (Arifin Putra), Oggi (Verdi Solaiman), Bara (Rio Dewanto), dan Ethan
(Mike Lewis), ditambah Spec (Chicco Jerikho) si rekan misterius Sari—hanya
sesaat setelah ia sadar sudah dikhianati pemerintahan tempatnya setia mengabdi.
Kita tidak diberi kesempatan melihat bagaimana Angga memproses peristiwa itu.
Pembangunan dunianya pun sama
lemahnya. Foxtrot Six mendefinisikan
dunianya sebagai tempat penuh kekacauan, sarat kemiskinan, juga minim harapan.
Namun di beberapa titik, semuanya terlihat normal, seolah kita hanya tengah
diajak berjalan-jalan mengelilingi Jakarta di hari-hari biasa. Pun sukar
menelan bulat-bulat pernyataan jika Reformasi merupakan ancaman besar seperti
yang Piranas khawatirkan, sebab tak sekalipun dijabarkan kekacauan macam apa
yang mereka picu.
Tapi bukankah kita datang untuk
melihat aksi? Di tatanan itu, Foxtrot Six
sebenarnya cukup memuaskan. Koreografi arahan Very Tri Yulisman (pemeran
Baseball Bat Boy di Berandal) hanya
setingkat di bawah para lulusan The Raid lain,
unsur gore yang kebanyakan melibatkan
aksi saling tebas dan tusuk terbukti ampuh memberi dampak, musik bombastis
gubahan Rob E Powers mampu menciptakan intensitas (bak berteriak “Ini blockbuster, Bung!”), pun jajaran
pemainnya bisa diandalkan melakoni aksi saling serang.
Oka Antara lincah menghajar
musuh-musuhnya lewat beragam gerakan kompleks, sementara Rio Dewanto sempurna
memerankan sosok jagoan laga macho yang baru sekarang ia perlihatkan. Bahkan perkenalan
karakter Bara merupakan salah satu momen favorit saya sepanjang film, ketika
naskahnya secara kreatif menyulap panjat pinang jadi aktivitas barbar nan
brutal. Satu kekecewaan hadir karena setelah penampilan badass di Berandal, Headshot,
dan The Night Comes for Us, Julie
Estelle tak diberi kesempatan unjuk gigi, hanya berakhir sebagai damsel in distress.
Kualitas CGI-nya mungkin masih
perlu perbaikan di sana-sini, namun pemakaian seperlunya membuat sumber daya
dapat dialokasikan secara tepat. Adegan “terjun bebas” dan sebuah penghormatan dari
Randy Korompis untuk momen ikonik Terminator
2: Judgment Day (andai tidak ada nama Mario Kassar mungkin saya bakal
menyebut Alien 3) merupakan beberapa highlight pemaksimalan teknologi efek visualnya.
Sayang, Foxtrot Six gagal mencapai potensi tertinggi kala sering
mempertontonkan kecanggungan akibat penyuntingan Denny Rihardie yang bagai
kurang daya, pula penyutradaraan Randy, yang meski mumpuni di banyak
kesempatan, tak jarang melewatkan ketepatan timing,
sudut kamera, atau mise en scène. Sedetik
saja melewatkan timing, maupun meleset
memposisikan kamera walau cuma beberapa derajat, apalagi jika terjadi dalam
momen vital (Bara menghabisi lawan memakai sikat gigi atau apa pun yang Angga
perbuat guna meledakkan atap), maka akibatnya fatal. Alhasil, biarpun
menghibur, Foxtrot Six urung menjadi “The Next The Raid” seperti harapan
banyak pihak.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
24 komentar :
Comment Page:Wkwkwk.... Komentarnya spoiler.
Ni film emang beresiko ngambil tema politik yg berat, agak susah menikmati suguhan aksinya ketika di saat yg sama terganggu dengan presentasi suasana politiknya yg serba canggung
Tolong jangan komen spoiler.
Btw, bagusan mana sama wiro sableng?
Sial nyesel gue scroll ke kolom komentar
Spoilernya hapus, hapus
gan @sandy fabregaz
kalau ada spoiler, tolong kasih tanda [SPOILER ALERT !] ya.
disini masih banyak yang belum nonton jadi harap dimengerti.
Hayoo masih baru rilis kemaren jangan komen sop iler dulu ya, pokoknya langsung hapus 😊
sesuai perkiraan, pasti bang rasyid bakal ngasih 3 bintang
Film ini katanya sih terinspirasi dari game Modern Combat, sayang banget kurang maksimal penggarapannya dibanding dengan Berandal yang jauh lebih absurd ceritanya malah jauh lebih bagus Berandal, secara keseluruhan not bad lah
Saya nggak menyangka ternyata ini film PKI. Keren dan berani. Walaupun ironis karena modalnya 70 milyar.
- CGI lebih solid dibanding Wiro Sableng.
- Acting lebih kuat dibanding Wiro Sableng.
- Cerita lebih menghibur dibanding Wiro Sableng.
- Action lebih seru dibanding Wiro Sableng.
- Soundtrack juga lebih enak dibanding Wiro Sableng.
Overall lebih memuaskan sih daripada Wiro Sableng.
Tapi kalau mau dibandingkan dengan The Raid ya kalah jauh. Lagipula saya pun ga berharap ini jadi "The Next The Raid" karena jelas beda visi. The Raid berkiblat ke film-film silat Hong Kong yang meminimalisir digital effects dan lebih menonjolkan keindahan koreografi fighting, Foxtrot Six berkiblat ke film-film action Hollywood yang mengusung tema konspirasi tingkat tinggi, cerita bombastis dengan bumbu-bumbu fiksi ilmiah dan penggunaan VFX/CGI secara masif (walau di Foxtrot Six ini ada juga bumbu-bumbu gore fighting ala The Raid, karena itu emang udah jadi trademark film Indonesia di mata dunia)
Cap "The Next The Raid" lebih cocok diterapkan pada film-film sejenis Headshot, The Night Comes for Us, dll...
Kekurangan utama Foxtrot Six ini sih masalah sinematografi yg lemah dan terlalu banyak adegan konyol yg bikin filmnya tampak bodoh di beberapa bagian (oh iya CGI jatuhnya Kodiak itu merupakan CGI terlemah di film ini). Tapi overall menghibur dan bahkan memuaskan melihat film Indonesia nekat mengeksekusi beberapa CGI dengan kesulitan tingkat tinggi namun hasilnya cukup decent.
Untuk kategori "film big-budget Indonesia yg ambisius dalam menerapkan VFX/CGI", menurut saya film ini merupakan yg paling bisa dinikmati dibanding Wiro Sableng, Garuda Superhero, Rafathar, 3 Alif Lam Mim, dll...
Sorry bang Rasyid, saya bikin review di dalam review hehe...
Oh maksudnya the next The Raid itu simply soal "action keren sekelas (atau malah di atas) Hollywood".
Well kalau saya sih mending nontom Wiro keempat kalinya daripada suruh nonton ini lagi 😂
makin ke ending makin menurun kualitasnya (dari segala segi), padahal di awal saya sempet terpukau melihat 'production value'-nya
well, kalo gue sih ogah dua-duanya mas haha Wiro gue ga tahan sama dialog + jokes yg cringe abis ditambah acting Vino yg awkward bgt, ditambah koreografi monoton, ditambah musik pemecah gendang telinga di adegan akhir, kalo Foxtrot gue berasa cape bgt ngikutin jalan ceritanya yg overstuffed dan penuh plot hole... entah kenapa rasanya Indonesia masih belum siap untuk membuat film kolosal sekelas hollywood *tapi bukan berarti harus berhenti mencoba (we'll see GUNDALA)
70 miliar harusnya dikasih ke Joko Anwar 😂
Wiro itu bukan koreografinya yang monoton, tapi cameraworknya belom terlalu fasih ngikutin. Sejauh ini, di seluruh dunia, emang baru Gareth dan tim yang tahu cara maksimalin skill silat & koreografi Iko, Yayan, Cecep. Gundala & Gatotkaca nanti bisa jadi pembuktian. Buat saya sih udah siap banget. Tinggal penontonnya siap nggal diajak berproses dan paham kalau jalan ke sana itu perlu setapak demi setapak :)
@Zoro, Yap. Dari segi penyutradaraan, Wiro Sableng emang lebih solid dan layak. Tapi sejujurnya Foxtrot agak lebih menghibur karena acting dan action yg lebih baik, banyak adegan yg berhasil bikin haru dan ketawa. Sementara di film Wiro banyak adegan yg gagal bikin haru dan ketawa karena acting dan script yang lemah, ditambah action yg kurang seru semakin membuat filmnya hambar dan datar
Aksen ingrisnya sampah banget 🙄🙄
Gatot kaca,siapa yg bikin ya ?
Next: bagaimana ekspektasi mas rasyid pada Gundala?
Charlez Ghozali. Test footage udah dirilis ke YouTube kok. Rencana 8 film: Gatotkaca, 5 Pandhawa, Srikandhi,Baratayuda, terus ditutup Kurukshetra.
Sutradara favorit kolaborasi sama aktor favorit, jelas ekspektasi tinggi. Mungkin bakal lebih condong ke street level superhero, at least sebelum klimaksnya.
Udah lihat teasernya,katanya habis satu milyar buat teaser doang.Tapi ko cuman gitu doang ya !'
Mungkin misenterpretasi. Itu teaser kan diambil dari short film yang dibikin buat presentasi & cari investor. Semilyar mungkin dana buat short film secara keseluruhan
Rio Dewanto bener² escape from comfort zone, pantes aja tante Ratna Terompet mau terima dia jadi menantu'nya, wkwkwkkwk..
Klo Mike Lewis salfok sama underwe*r nya, pantes aja mbak Lucinta Luna tergila gila, wkwkwkwk..
Overall, filmnya menghibur lah..
@Mas Rasyid,
As always, judul OST nya yang diakhir film judulnya apa? Siapa penyanyi'nya?
Posting Komentar