THE NIGHT EATS THE WORLD (2018)

1 komentar
The Night Eats the World dibuka oleh sebuah pesta, di mana protagonis kita, Sam (Anders Danielsen Lie), datang untuk mengambil koleksi kaset-kasetnya, yang terselip di antara tumpukan barang si mantan kekasih, Fanny (Sigrid Bouaziz). Fanny yang kini telah menjalin hubungan bersama pria lain, merupakan tuan rumah pesta tersebut. Dari raut wajahnya, tak sulit menerka bahwa hati Sam belum sepenuhnya berpaling.

Pun beberapa menit adegan pembuka itu turut menggambarkan Sam sebagai pria yang menolak keluar dari zona nyaman. “Have fun, meet new people”, demikian ucap Fanny. Sam tak bergeming. Dia hanya menginginkan kaset-kasetnya. Sam mengunci diri di ruang kerja Fanny, tertidur, dan setelah bangun di pagi hari untuk menyadari wabah zombie telah menyebar (di area tersebut hanya tersisa ia seorang), kalimat “Keluarlah dari zona nyamanmu” memiliki makna baru dalam hidup Sam.

Walau mengusung premis dasar serupa serta memiliki zombie yang berlari kencang, jangan mengharapkan horor oktan tinggi macam 28 Days Later. The Night Eats the World, yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Pit Agarman, cenderung bergerak ke arah drama kontemplatif soal kenyamanan yang mengurung, pula proses seorang manusia menyadari betapa dalam hidup, kita perlu melakukan mendobrak keluar untuk menemukan kemungkinan tanpa batas.

Sutradara Dominique Rocher, yang juga berkolaborasi menulis naskah bersama Jérémie Guez (The Bouncer, Yves Saint Laurent) dan Guillaume Lemans (Point Blank, The Next Three Days), menuntun filmnya dalam tempo lambat. Semakin sunyi karena minimnya dialog, yang mana masuk akal mengingat Sam jadi satu-satunya manusia. Serupa kisah-kisah survival lain, salah satu menu utamanya adalah usaha tokoh utama menyesuaikan diri demi bertahan hidup. Sam meregulasi stok makanan, memanfaatkan barang-barang di sekitarnya, sambil sesekali menghibur diri dengan bermain musik memakai perkakas rumah tangga (satu dari sedikit momen indah dan mempunyai rasa di film ini).

Bisa ditebak, film ini pun menyinggung perihal kesendirian dan kesepian, yang semakin menguasai sentral penceritaan begitu psikis Sam mulai terguncang. Biar bagaimanapun, manusia memang makhluk sosial. Guna memuaskan hasrat sosialnya, Sam sempat berusaha menangkap kucing liar, sebelum akhirnya memilih berteman dengan zombie bernama Alfred (Denis Lavant) yang ia kurung di lift.

Masalah The Night Eats the World muncul kala naskahnya tak menyimpan cukup trik untuk menjaga atensi penonton selama 94 menit yang terasa familiar sekaligus bergulir pelan. Filmnya membungkus cerita mengenai perjuangan bertahan hidup menggunakan gaya seperti halnya film-film pengusung tema serupa lainnya. Elemen-elemen pengisinya pun tidak jauh beda, bahkan deretan subteks yang dijabarkan di atas pun jauh dari kata “baru”.

Sejatinya banyak insiden berpeluang menghembuskan nyawa lebih, khususnya beberapa situasi yang berpotensi tampi menggelitik, namun Rocher tetap kukuh mempertahankan pendekatan “dingin”. Alhasil, banyak poin tersia-siakan, termasuk talenta Denis Lavant, yang jelas punya kapasitas lebih dari cukup untuk menghadirkan daya tarik sebagai zombie yang lebih “manusiawi” melalui pendekatan akting ala monster Frankenstein.

Bahkan serangan-serangan zombie milik The Night Eats the World pun nyaris sama tak bernyawanya seperti zombie-zombie itu sendiri. Jadi saya ingatkan, jangan mengharapkan film “zombie popcorn” selaku media hiburan. Dan sebagai penuturan tentang proses individu menyadari keberadaan peluang tanpa batas di balik bentangan horizon kota Paris, prentasinya tak begitu memuaskan. Sebab, dilema batin Sam baru dipresentasikan jelang akhir. Andai muncul lebih dini, mungkin dinamika emosi intens bakal terasa.

1 komentar :

Comment Page:
Masban mengatakan...

Bagi gua film ini lumayan lah... memang sih harus di aku adegan akhir agak aneh... tapi gua suka ama film yg bertemakan Survival. Mas ada film yg mirip ini nggak yg pur survival tanpa banyak aksi ?