THE NIGHT EATS THE WORLD (2018)
Rasyidharry
Februari 25, 2019
Anders Danielsen Lie
,
Denis Lavant
,
Dominique Rocher
,
Drama
,
Guillaume Lemans
,
horror
,
Jérémie Guez
,
Kurang
,
REVIEW
,
Sigrid Bouaziz
1 komentar
The Night Eats the World dibuka oleh sebuah pesta, di mana
protagonis kita, Sam (Anders Danielsen Lie), datang untuk mengambil koleksi
kaset-kasetnya, yang terselip di antara tumpukan barang si mantan kekasih,
Fanny (Sigrid Bouaziz). Fanny yang kini telah menjalin hubungan bersama pria
lain, merupakan tuan rumah pesta tersebut. Dari raut wajahnya, tak sulit
menerka bahwa hati Sam belum sepenuhnya berpaling.
Pun beberapa menit adegan pembuka
itu turut menggambarkan Sam sebagai pria yang menolak keluar dari zona nyaman. “Have fun, meet new people”, demikian
ucap Fanny. Sam tak bergeming. Dia hanya menginginkan kaset-kasetnya. Sam
mengunci diri di ruang kerja Fanny, tertidur, dan setelah bangun di pagi hari
untuk menyadari wabah zombie telah menyebar (di area tersebut hanya tersisa ia
seorang), kalimat “Keluarlah dari zona nyamanmu” memiliki makna baru dalam
hidup Sam.
Walau mengusung premis dasar serupa
serta memiliki zombie yang berlari kencang, jangan mengharapkan horor oktan
tinggi macam 28 Days Later. The Night Eats the World, yang diadaptasi
dari novel berjudul sama karya Pit Agarman, cenderung bergerak ke arah drama
kontemplatif soal kenyamanan yang mengurung, pula proses seorang manusia
menyadari betapa dalam hidup, kita perlu melakukan mendobrak keluar untuk
menemukan kemungkinan tanpa batas.
Sutradara Dominique Rocher, yang
juga berkolaborasi menulis naskah bersama Jérémie Guez (The Bouncer, Yves Saint Laurent) dan Guillaume Lemans (Point Blank, The Next Three Days),
menuntun filmnya dalam tempo lambat. Semakin sunyi karena minimnya dialog, yang
mana masuk akal mengingat Sam jadi satu-satunya manusia. Serupa kisah-kisah survival lain, salah satu menu utamanya
adalah usaha tokoh utama menyesuaikan diri demi bertahan hidup. Sam meregulasi
stok makanan, memanfaatkan barang-barang di sekitarnya, sambil sesekali
menghibur diri dengan bermain musik memakai perkakas rumah tangga (satu dari
sedikit momen indah dan mempunyai rasa di film ini).
Bisa ditebak, film ini pun
menyinggung perihal kesendirian dan kesepian, yang semakin menguasai sentral
penceritaan begitu psikis Sam mulai terguncang. Biar bagaimanapun, manusia
memang makhluk sosial. Guna memuaskan hasrat sosialnya, Sam sempat berusaha
menangkap kucing liar, sebelum akhirnya memilih berteman dengan zombie bernama
Alfred (Denis Lavant) yang ia kurung di lift.
Masalah The Night Eats the World muncul kala naskahnya tak menyimpan cukup
trik untuk menjaga atensi penonton selama 94 menit yang terasa familiar
sekaligus bergulir pelan. Filmnya membungkus cerita mengenai perjuangan
bertahan hidup menggunakan gaya seperti halnya film-film pengusung tema serupa
lainnya. Elemen-elemen pengisinya pun tidak jauh beda, bahkan deretan subteks
yang dijabarkan di atas pun jauh dari kata “baru”.
Sejatinya banyak insiden berpeluang
menghembuskan nyawa lebih, khususnya beberapa situasi yang berpotensi tampi
menggelitik, namun Rocher tetap kukuh mempertahankan pendekatan “dingin”.
Alhasil, banyak poin tersia-siakan, termasuk talenta Denis Lavant, yang jelas
punya kapasitas lebih dari cukup untuk menghadirkan daya tarik sebagai zombie
yang lebih “manusiawi” melalui pendekatan akting ala monster Frankenstein.
Bahkan serangan-serangan zombie
milik The Night Eats the World pun
nyaris sama tak bernyawanya seperti zombie-zombie itu sendiri. Jadi saya
ingatkan, jangan mengharapkan film “zombie popcorn” selaku media hiburan. Dan
sebagai penuturan tentang proses individu menyadari keberadaan peluang tanpa
batas di balik bentangan horizon kota Paris, prentasinya tak begitu memuaskan.
Sebab, dilema batin Sam baru dipresentasikan jelang akhir. Andai muncul lebih
dini, mungkin dinamika emosi intens bakal terasa.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Bagi gua film ini lumayan lah... memang sih harus di aku adegan akhir agak aneh... tapi gua suka ama film yg bertemakan Survival. Mas ada film yg mirip ini nggak yg pur survival tanpa banyak aksi ?
Posting Komentar