URI: THE SURGICAL STRIKE (2019)
Rasyidharry
Februari 06, 2019
Action
,
Aditya Dhar
,
Akashdeep Arora
,
Hindi Movie
,
Lumayan
,
Mohit Raina
,
Paresh Rawal
,
REVIEW
,
Vicky Kaushal
,
Yami Gautam
Tidak ada komentar
Uri: The Surgical Strike bisa menjadi satu lagi propaganda
militer biasa berbentuk tontonan nasionalisme buta, andai tidak dibarengi
sentuhan motivasi personal di balik keputusan karakter utamanya terjun dalam
misi memberantas gembong teroris. Naskah garapan Aditya Dhar yang juga menjalani
debut penyutradaraan mungkin masih tampak hitam-putih, di mana India adalah
sekumpulan manusia heroik sedangkan Pakistan diisi sosok-sosok licik dan
teledor, namun ada cukup rasa supaya kita setia mendukung si tokoh utama.
Filmnya mendramatisasi peristiwa
penyerangan terhadap pangkalan militer India di Uri tahun 2016 yang menelan 19 nyawa
prajurit. Tapi, dalam film yang membagi kisahnya menjadi lima babak ini,
serangan tersebut baru dipaparkan di babak ketiga. Sebelumnya, Uri: The Surgical Strike berkonsentrasi
membangun karakter Mayor Vihaan (Vicky Kaushal) si pemimpin terpercaya yang
selalu menyelesaikan misi tanpa korban jiwa, pula sosok anak berbakti.
Buktinya, di tengah karir moncernya, Vihaan memilih pindah ke New Delhi,
mengambil pekerjaan di balik meja demi merawat sang ibu yang menderita
alzheimer.
Singkatnya, Vihaan merupakan
prajurit sejati yang mencintai ibu kandung dan ibu pertiwi sama besar. Melalui
dua babak awal, kita pun melihat betapa bahagia keluarga Vihaan. Sang adik
(Manasi Parekh Gohil) yang menikahi rekan Vihaan, Mayor Karan (Mohit Raina),
baru saja mengandung anak kedua. Walau pemahaman dasar berhasil didapat, sukar
dipungkiri, fase sebelum penyerangan hadir bak prolog yang terlampau panjang
sekaligus penuh, terlebih saat pembangunan karakter untuk Pallavi Sharma (Yami Gautam),
intelijen yang diutus berperan sebagai suster guna merawat ibunda Vihaan, coba
dilakukan. Tapi, bahkan setelah penyerbuan ke jatung pertahanan teroris
dilakukan, peran Pallavi tak pernah terasa signifikan, pun dapat digantikan
oleh siapa saja.
Babak ketiga (diberi judul Bleed India With a Thousand Cuts) adalah
titik balik. Serangan empat militan bersenjata lengkap kepada basis militer
India dieksekusi begitu solid dalam sebuah sekuen intens yang menunjukkan
kapasitas Mohit Raina selaku jagoan aksi. Dia menerjang dengan gagah berani,
tak gentar meski dihadang desing peluru maupun ledakan. Ditutup lewat kejutan, deretan
ketegangan itu disusul oleh pemandangan haru berupa proses pemakaman para
korban. Di situ, Vihaan susah payah menahan tangisnya tumpah, tak kuasa
menyelesaikan teriakan penghormatan.
Sejak titik ini, saya tidak lagi
peduli pada status Uri: The Surgical
Strike sebagai propaganda kehebatan militer India. Saya hanya ingin Vihaan berkesempatan
menuntaskan hasrat balas dendam. Didukung kebolehan Aditya Dhar mengemas momen “membara”
pula kemampuan Vicky Kaushal menghantarkan letupan orasi pembakar semangat,
wajar jika banyak penonton berhasil dibuat tersulut. Kalimat “How’s the Josh?!” pun sempat viral bukan
tanpa alasan.
Mengambil tajuk Naya Hindustan alias New India, babak keempatnya diisi
paparan menarik perihal perencanaan serangan balasan ke markas-markas teroris
di beberapa titik di Pakistan. Naskahnya padat, nyaris tidak menyisakan ruang
bagi kekosongan berkat beragam intrik, dari pengaturan siasat, penggalian
informasi, hingga adu taktik antara India dengan Pakistan. Salah satu titik
paling uplifting hadir ketika Govind
Bhardwaj (Paresh Rawal) selaku penasehat keamanan negara, menyadari kunci
kemenangan India bisa saja terletak di alat buatan Ishaan (Akashdeep Arora),
seorang pegawai magang DRDO (Defence
Research and Development Organisation). Kalimat klise “You might just win us the war” terbukti masih ampuh menyulut
antusiasme bila pemakaiannya tepat.
Peperangan di klimaks sayangnya tak
sekuat harapan. Sebagai misi rahasia yang dilangsungkan sewaktu dinihari,
kegelapan pun menyelimuti. Tapi dalam debutnya, sang sutradara belum cukup
handal mengakali situasi tersebut. Menerapkan shaky cam plus penyuntingan cepat, makin sulit memahami apa yang
terjadi di layar. Beruntung, seperti sebelumnya, Aditya masih cakap
menghantarkan momen uplifting yang
lagi-lagi datang memberikan pertolongan. Saya pun bersorak begitu Vihaan
membuka senjata rahasia terakhir militer India, dibarengi lagu Jagga Jiteya yang sempurna mendukung
suasana.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar