SATU SURO (2019)
Rasyidharry
Februari 08, 2019
Alexandra Gottardo
,
Anggy Umbara
,
Citra Kirana
,
horror
,
Indonesian Film
,
Kurang
,
Nino Fernandez
,
REVIEW
,
Syamsul Hadi
10 komentar
Satu Suro—yang tidak berkaitan dengan Malam Satu Suro (1988) yang dibintangi Suzzanna—dibuat bak hanya
berdasarkan satu-dua gagasan adegan menarik. Jika diibaratkan, layaknya arsitek
yang memiliki beberapa perabotan berharga, kemudian ingin membangun rumah untuk
menyimpannya, namun tak mampu mendesain pondasi memadahi. Rumah tersebut pun runtuh,
mengubur perabotan berharga sang arsitek yang akhirnya terbuang sia-sia.
Saya cukup mengagumi sekelumit ide
yang sesekali mengisi. Salah satunya saat Adinda (Citra Kirana) muntah beberapa
kali, dan benda-benda yang keluar dari mulutnya semakin berbahaya dan aneh,
sebelum memuncak pada sebuah pemandangan over-the-top
sekaligus disturbing , tapi memuaskan.
Begitu pula selipan gore, yang
sayangnya hanya bertahan di paruh awal. Saya yakin ada lebih banyak lagi, tapi
terpaksa dihapus atas nama sensor (tulisan “REV” terpampang di bumper sensor filmnya).
Selain segelintir daya tarik di
atas, Satu Suro tak menawarkan hal
apa pun, termasuk plot yang seolah lenyap di alam gaib. Alkisah, sepasang suami
istri, Bayu (Nino Fernandez) dan Adinda baru saja pindah ke desa terpencil di
daerah pegunungan demi mencari ketenangan. Bayu membutuhkannya untuk menulis
buku terbaru, sementara Adinda mesti menjaga kondisi jelang kelahiran bayi
pertama mereka. Betapa sial, hari kelahiran yang dinanti justru tiba tepat di
malam satu suro yang banyak dipercaya sebagai “lebarannya para setan”.
Begitu proses persalinan mendekat,
Bayu membawa Adinda ke rumah sakit, yang lewat adegan pembukanya, kita ketahui
telah terbakar habis. Mereka tidak tahu bahwa dokter serta suster yang
menyambut sejatinya adalah arwah-arwah yang bangkit pada malam satu suro guna
mengincar si jabang bayi. That’s it.
Sepanjang bergulir selama 94 menit, praktis Satu
Suro cuma menampilkan dua orang mondar-mandir dalam ruangan (rumah atau
rumah sakit). Tapi daripada jalan keluar, malah deretan hantu yang muncul.
Padahal sungguh keras usaha Bayu
dan Adinda untuk saling menemukan. Begitu keras, keduanya menghabiskan nyaris
sepanjang film meneriakkan nama satu sama lain. Kalau anda memainkan drinking game, dan minum setiap mereka
saling memanggil, anda akan mabuk bahkan sebelum filmnya usai. Paling tidak,
serupa di Asih, Citra Kirana
melakukan usaha terbaiknya sebagai wanita yang mengalami teror bertubi-tubi,
tatala Nino Fernandez tampak kebingungan harus memasang ekspresi seperti apa.
Naskah buatan Anggy Umbara (3, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!)
dan Syamsul Hadi (Pencarian Terakhir,
Demi Cinta) gemar menerapkan repetisi sebagai trik pengisi durasi. Hal sama
terjadi berulang-ulang dalam tempo yang pergerakannya bagai diseret selama
mungkin. Ketimbang memperlambat demi membangun ketegangan, penanganan Anggy bagai
hanya bertujuan mengulur waktu. Dampaknya, kengerian pun sukar ditemukan. Saat Lastri
(Alexandra Gottardo) si hantu antagonis utama kemunculannya meninggalkan kesan
mengesalkan alih-alih mengerikan akibat efek teriakan yang cukup mengancam
kewarasan telinga penonton, pujian patut diberikan kepada beberapa hasil kerja tim
tata rias, khususnya untuk sebuah hantu (atau monster?) yang mengingatkan saya pada
makhluk dari Resident Evil atau Left 4 Dead.
Dibuka oleh narasi perihal satu
suro, eksplorasi mitologi film ini tidak pernah lebih dalam dari deskripsi “hari
rayanya makhluk halus”, karena kembali, Satu
Suro nyaris tanpa plot. Hal terdekat dengan plot yang filmnya miliki adalah
kehadiran twist, yang menggiring Satu Suro menuju ranah yang sudah
terlalu banyak dijelajahi suguhan horor lokal selepas Pengabdi Setan dua tahun lalu. Elemen familiar nan sederhana, yang
penuturannya sangat berbelit karena seperti biasa, Anggy terobsesi mengejutkan
penonton. Upaya tersebut gagal akibat: (1) Klise dan mudah ditebak, (2) Tidak
dibarengi plot layak agar penonton mempedulikan karakternya.
Satu Suro turut memaksakan diri menyelipkan sentuhan religi
berupa proses seorang skeptis menemukan lagi keimanan, namun tidak terdapat
cukup stimulus guna memancing respon perubahan tersebut. Mengalami peristiwa
mistis bukan berarti serta merta membuat seseorang menjadi religius. Kecuali,
ia melihat bagaimana kekuatan Tuhan berjasa memberi jalan keluar. Sedangkan di
sini, hantu-hantu ditumpas menggunakan “metode dukun”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Waah padahal udah digarap Anggy Umbara yg kmarins ukses dengan Suzanna yaa. BTW mas, menurut mas rasyid better mana horornya Anggy Umbara dengan Jose Poernomo/Rizal Mantovani? Saya sempat optimis lhoo waktu tahu anggy yang nyutradarain film ini, tapi setelah liat reviewnya jadi kepo-kepo gemes sama kapasitasnya hehe
Nah, nanti dulu. Apa iya Suzzanna itu filmnya Anggy? 😁
Tapi ini masih mending kok dari film-filmnya Jose/Rizal.
Mungkin mas anggy umbara lebih cocok bikin film komedi aksi ya mas. Saya paling suka film 5 cowok jagoan diantara semua film beliau. Lebih suka dari warkop reborn,komedinya gak kena di saya 😂
Setelah nonton ini jadi langsung mikir deh ke Suzanna berapa porsi Anggi dan berapa porsi yang digarap Rocky. Tapi emang kemaren saya nyesel banget ga kedapetan nonton Terlalu Tampan karena udah turun layar opsi terakhir ya satu suro ini. dan setelah nonton akhirnya terbayang bayang oleh si cambuk sakti itu.
Mas Rasyid,
Akhirnya hari ini nuntun Satu Suro (SS) dan Laudry Show.. wkwkwkwk..
Bener sih, SS separo film awal bagus.. tapi setelah Chiki masuk rumah sakit kok gw berasa capek yak nuntun'nya..
Apalagi "monster" yg di rumah sakit itu bener² langsung bikin ilfil sama filmnya.. bisa nggk sih si monster diganti suster ngesot, wkwkwkwk..
Ya bener ini. Karena bikin horor itu harus cinta dulu sama genrenya. Mau sutradara sekelas apa kalau belum cinta, bakal susah bikin horor oke.
Cuma bisa bilang "nggak banyak". Lebih dari itu jadi bakal ngebuka rahasia perusahaan 😂
Tapi ada satu sutradara dunia yang bisa buat semua genre mas Rashid, yaitu James Wan
Ya karena akar dia horor. Sutradara non-horor bagus belum tentu bisa bikin horor bagus, tapi sutradara horor bagus kemungkinan bisa bikin non-horor bagus. Kenapa? Karena pasti jago urusan timing & tension building. Contohnya ya James Wan sama Sam Raimi.
Video nya mana woyy
Posting Komentar