ARCTIC (2018)
Rasyidharry
Maret 30, 2019
Bagus
,
Drama
,
Joe Penna
,
Mads Mikkelsen
,
REVIEW
,
Ryan Morrison
,
Thriller
Tidak ada komentar
Meski bukan yang pertama
melakukannya, Arctic tetap patut
mendapat tempat spesial di jajaran film survival
terkait tuturannya yang bukan cuma berkutat soal “every man for himself”, melainkan tentang usaha mempertahankan hati
nurani dan sisi kemanusiaan, bahkan tatkala insting dasar manusia untuk
bertahan hidup mengambil alih, di tengah situasi kritis saat maut mulai
mengintip.
Film dibuka dengan memperlihatkan Overgård
(Mads Mikkelsen) tengah menggali salju. Begitu telaten ia melakukan itu
termasuk memindahkan batu yang menghalangi jalan, wajar jika mengira Overgård
adalah tukang gali salju. Sampai terungkap jika rupanya ia sedang membuat
tulisan “SOS” besar di sebuah tempat antah berantah di Lingkar Arktik setelah
pesawatnya jatuh.
Overgård sendirian, meski tersirat
bahwa pesawatnnya mengangkut penumpang lain saat dia mendatangi suatu tumpukan
batu yang nampak seperti nisan. Tapi satu hal pasti, Overgård harus berjuang
bertahan hidup seorang diri. Kesehariannya selalu sama: mengecek apakah
umpannya berhasil memancing ikan, lalu memancarkan sinyal marabahaya, berharap
memperoleh respon. Setelah beberapa lama, alarm jam tangannya berbunyi,
pertanda Overgård mesti berpindah ke aktivitas berikutnya.
Semua hal di atas merupakan elemen
standar film survival, yang bertujuan
memberi penonton pemahaman bagaimana karakternya mengakali keterbatasan demi
bertahan hidup. Sudah berulang kali menyaksikan pemandanga serupa, saya tetap
mendapat kepuasan, sebab sekuen semacam itu selalu melibatkan kreativitas
protagonisnya menyusun rencana yang tak jarang penuh keunikan.
Pada mayoritas kesempatan, Arctic memang mengikuti pola genrenya.
Berarti, anda harus bersiap melihat gambar-gambar menyakitkan berisi luka-luka
yang Overgård alami. Pun bisa saja Arctic
terus bertahan di jalur formulaik, mengingat masih terdapat daya tarik kala
menanti bagaimana cara Overgård keluar dari ragam permasalahan, khususnya
setelah ia menyadari ada beruang kutub yang menjadi “tetangganya”.
Tapi formula tersebut mempunyai batasan,
dan para penulis naskah yang terdiri atas duet Ryan Morrison bersama sang
sutradara, Joe Penna, memahami betul batasan itu, sehingga mereka memberikan
titik balik di alurnya. Saya tak bisa mengungap insiden pastinya, tapi setelah
itu, Overgård tidak lagi sendirian. Ditinjau dari sudut pandang penceritaan,
insiden itu memberi bobot emosi sekaligus tujuan bagi narasinya. Sekarang ada
tujuan jelas yang mesti dicapai daripada “cuma” usaha bertahan hidup.
Didorong alasan logis, Arctic pun menjadi film minim dialog,
dan itu melahirkan tantangan lebih bagi Joe Penna selaku pencerita. Beruntung,
sang sutradara adalah pencerita visual yang bertalenta. Penna memakai dua jenis
shot guna menjabarkan detail, supaya
penonton bisa memahami segalanya, termasuk isi pikiran si protagonis. Dua shot tersebut yaitu penggambaran lingkungan
sekitar dan ekspresi Mikkelsen, yang muncul silih berganti. Kamera yang kerap
menangkap reaksi Overgård berfungsi menggiring penonton masuk ke dalam
pikirannya, mengira-ira apa yang dipikirkannya.
Berkat kepiawaian Mikkelsen bicara
bannyak melalui mata maupun ekspresi wajah membuat segalanya jelas. Kemudian,
begitu situasi semakin genting, sang aktor pun semakin habis-habisan
menghidupkan kondisi tatkala luka fisik pula psikis mendorongnya menuju
ketidakberdayaan dan keputusasaan yang menyakitkan. Bertambah sukar bagi psikis
Overgård, sebab ia pun terjebak dalam ujian terhadap nuraninya.
Overgård bisa saja bersikap egois,
memilih mengambil jalan yang lebih aman nan mudah tanpa perlu bersusah payah
menantang maut. Tidak ada yang akan menyalahkannya, karena demikianlah insting
bertahan hidup manusia. Di sebuah kesempatan, Overgård sempat terdoronng untuk
mengikuti insting itu, hingga alam “menghukumnya”, membuatnya menyadari kalau
tak semestinya ia meninggalkan peri kemanusiaannya di bentangan salju Arktik.
Biarpun cuma bergulir sepanjang 97
menit, keterbatasan materi di naskahnya semakin lama semakin kentara, dan
memproduksi beberapa penurunan intensitas. Sementara keputusan Penna menghindari
pendekatan dramatis bagi konklusinya (yang diharapkan menghadirkan penebusan emosional)
harus diakui berpotensi mengecewakan beberapa kalangan. Tapi sejatinya, pilihan
tersebut sesuai dengan kesunyiann serta kesubtilan sepanjang film. Penna hanya
berusaha menjaga supaya Arctic tidak
tersasar keluar jalur.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar