MATIANAK (2019)
Rasyidharry
Maret 29, 2019
Cinta Laura Kiehl
,
Cukup
,
Derby Romero
,
Fatih Unru
,
horror
,
Indonesian Film
,
Jovarel Callum
,
REVIEW
,
Wendy Chandra
,
William Chandra
,
Yayu AW Unru
6 komentar
Sesungguhnya MatiAnak memiliki karakteristik serupa horor lokal kelas menengah
ke bawah yang rutin dirilis tiap minggu, seperti pondasi cerita lemah yang memaksakan
diri menutup kisahnya lewat twist dan
sepenuhnya mengandalkan jump scare
untuk menakut-nakuti. Tapi saat mayoritas film tersebut hanya berujung
menghasilkan sakit kepala, setidaknya MatiAnak
cukup menyenangkan berkat keberhasilan satu aspek: timing.
Berlatar tahun 90-an di panti
asuhan yang dikelola oleh tangan besi Pak Rosman (Yayu Unru), yang tak segan
menerapkan hukuman fisik bagi anak-anak. Beruntung, mereka memiliki Ina (Cinta
Laura Kiehl), si pengurus berhati lembut. Hinngga suatu hari, datang anak baru
bernama Andi (Jovarel Callum) yang pendiam, aneh, dan tanpa mereka ketahui,
telah secara brutal membantai keluarganya sebagaimana kita saksikan pada adegan
pembuka.
Sejak kedatangan Andi, hal-hal
misterius mulai menimpa para penghuni panti asuhan, dan tentu saja semua itu
cuma terjadi pada malam hari. Naskah garapan William Chandra (3Sum) dan Wendy Chandra memang mengikuti
pendekatan formulaik, di mana malam merupakan fase teror, sementara di siang
hari, tiba saatnya melambatkan laju guna memberi kesempatan pengembangan cerita
dan karakter untuk bergulir. Hampir seluruh horor arus utama menerapkan metode
tersebut, namun di MatiAnak, pembagian
waktu itu begitu kentara, dan setelah beberapa saat, semakin terasa melelahkan
akibat repetisi.
Setidaknya, berbeda dengan
kompatriotnya sesama horor lokal dengan formula setipe, tiap matahari terbit, MatiAnak bukanlah snoozefest. Ikatan kebersamaan antara penghuni panti mampu
dibangun, sebagai sekumpulan individu yang tak lagi memiliki siapa pun kecuali
satu sama lain. Terpenting, karakternya tampil layaknya manusia semestinya.
Cinta bermain solid, sementara Yayu Unru kembali membuktikan jangkauan akting
luasnya lewat variasi gestur dan penghantaran kalimat, tapi narasi soal kebersamaan
itu takkan berhasil andai jajaran penampil cilik yang digawangi Fatih Unru
gagal menciptakan dinamika.
Bicara soal hubungan Ina dan para
bocah, interaksi mereka menyimpan cukup nyawa guna membangun intensitas,
seperti saat banjir darah mulai menggenangi panti asuhan. Saya menyukai momen
saat Ina mengikuti jejak darah di lantai, sedangkan beberapa anak berteriak,
tapi bukan teriakan omong kosong, melainkan teriakan kekhawatiran supaya kakak
asuh mereka berhati-hati. Sebuah sentuhan kecil yang sekilas terkesan remeh,
namun menciptakan sense of urgency,
aroma ketakutan, dan menggambarkan betapa karakternya saling peduli.
Eksekusi terornya sendiri
sebenarnya memakai metode konservatif, yakni jump scare tanpa inovasi berisi kemunculan tiba-tiba hantu ditambah
musik menggelegar. Pun tak jarang, penyuntingan adegannya terlalu cepat
sehingga sulit memastikan apa yang nampak di layar. Dentuman musiknya yang
memberitahu bahwa tengah terjadi peristiwa mengerikan. Tapi sekali lagi, poin
terpenting terletak di timing.
Melalui debut penyutradaraannya,
Derby Romero (rumor has it that’s not the
case, but for now let’s stick with the official credit) membungkus
penampakan pasukan makhluk halusnya dengan ketepatan timing. Seolah ia tahu kapan penonton berekspektasi hantu bakal
menyerang, lalu secara cerdik mempermainkan ekspektasi itu. Sehinngga tanpa hal
baru atau kreativitas luar biasa pun, MatiAnak
cukup sukses memancing teriakan penonton. Selain jump scare, film ini juga memfasilitasi para pecinta gore lewat kekerasan, banjir darah, atau
kondisi kematian yang mengerikan.
Sayang, klimaksnya terlalu jinak.
Padahal lewat eksekusi lebih eksplisit, efek dari konklusinya yang suram nan
tragis bisa lebih menusuk. Kalau alasannya demi menghindari gunting sensor,
kenapa repot-repot mempertahankan konsep itu? Bukankah lebih bijak mencari
alternatif yang tak membutuhkan sadisme untuk menciptakan dampak? Ditambah
paparan twist dengan pondasi lemah
yang tampil kacau dan malah menghasilkan kerumitan tak perlu, paruh akhir MatiAnak memang nyaris mematikan
keunggulan filmnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:setuju, paruh akhirnya yg bikin hadeuuuh
tapi pertengahan seru ketika yayu unru ditemukan diujung darah
horor terbaik sementara sepanjang 2019 ya berarti.. baiklah senin depan otw pemanasan sebelum Shazam!
Mas rasyid, bisa bikin list 7 film horror terbaik di dekade ini ga? Soalnya saya pengen ngelakuin moviemarathon dan tau ga kapan kemungkinan pet sematary rilis d indo, makasih��
Hmmm kurang rela juga sih bilang "terbaik". Kayaknya "paling mending" lebih pas
Urut alfabet:
Hereditary
Honeymoon
Under the Shadow
Unfriended
The Cabin in the Woods
The Conjuring
The Witch
Pet Sematary rilis Jumat besok
Th 2019 terbaik ya dreadoutlah
Posting Komentar